Home Ilmu Pengetahuan Guru Besar UIN Yogyakarta: Ilmuwan Kita Dibelenggu Birokrasi

Guru Besar UIN Yogyakarta: Ilmuwan Kita Dibelenggu Birokrasi

 

Yogyakarta, Gatra.com- Ilmuwan Indonesia minim menghasilkan karya intelektual secara kuantitas dan kualitas. Apalagi berkelas dunia, karena terbelenggu administrasi dan birokrasi. Perlu solusi skala nasional.

Hal itu menjadi intisari pidato pengukuhan guru besar dalam ilmu filsafat Prof Dr-Phil Al Makin di hadapan rapat senat terbuka Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (8/11). Al Makin membawakan pidato berjudul “Bisakah Menjadi Ilmuwan di Indonesia? Keilmuan, Birokrasi dan Globalisasi”.

Menurut dia, aturan dan regulasi di Indonesia yang berjibun juga dialami di dunia kampus. Sejumlah aturan yang menyibukkan dosen antara lain finger print , beban kerja dosen, lakip, laporan renumerasi, surat izin, surat tugas, penilaian kerja, dan kenaikan pangkat.

“Kampus disamakan dengan kantor kecamatan, desa atau pemda. Hampir semua aturan dipahami dengan orientasi lokal dan administratif, bukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan yang lebih esensial,” kata dosen Fakultas Ushuluddin da Pemikiran Islam di UIN Sunan Kalijaga ini dalam pidatonya.

Ia menguraikan semua penelitian harus dan mementingkan administrasi, terutama laporan detail keuangan, tetapi yang dituntut publikasi internasional kurang tersentuh.

“Riset dilakukan kalau mendapat dana yang tak seberapa.itupun akan diperiksa secara ketat dari segi kuitansi, stempel, surat izin, bukan publikasi dan manfaat itu sendiri,” ujar Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UIN Sunana Kalijaga ini.

Alhasil, publikasi karya ilmiah Indonesia di dunia rendah. Merujuk peringkat di Scimagojr.com, pada 2018 Indonesia urutan 52. Posisi ini di bawah Tunisia, Chile, dan Kolombia.

Jika Indonesia baru menyadari pentingnya publikasi ilmiah dunia baru-baru ini, Malaysia sudah sejak 1990-an. Tahun ini, kita punya 52 jurnal terindeks Scopus, sedangkan negeri jiran itu 80 jurnal.

Pemerintah bukannya tak mendorong riset ilmuwan. Tahun 2017, Kementerian Agama menghibahkan Rp130 miliar untuk riset untuk dibagi seluruh PTKI kecuali 20% di pusat. UIN Sunan Kalijaga misalnya, mendapat Rp9 miliar.
Namun langkah itu belum diiringi gairah untuk meneliti secara sungguh-sunguh apalagi meneruskannya ke publikasi, apalagi di tingkat dunia.

“Tidak semua artikel di jurnal tersebut bisa dikatakan berkualitas riset yang baik dan memuat tesis ilmiah berdasar literature memadai. Tulisan banyak hanya hanya ringkasan mata kuliah, proposal, kumpulan hadis, dan banyak khotbah moral,” ungkap pria asal Bojonegoro yang meraih gelar master di Kanada dan doctor Jerman ini.

Selama ini, para pemikir ilmiah top Indonesia lahir secara alami. Nah, atas kondisi paceklik intelektual di kampus saat ini, proses alamiah itu tak bisa lagi diandalkan.

“Semua perlu diciptakan denga lingkungan yang kondusif, didukung fasilitas, dan dijadikan program dan prioritas skala nasional. Ilmu pengetahuan dan penelitian harus diciptakan dalam kondisi yang tidak membelnggu tapi membebaskan,” katanya.


Reporter: Arif Koeshernawan
Editor: Birny Birdieni

371

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR