Home Politik Doxing, Tren Kekerasan Baru Melalui Medsos Jadi Ancaman Kerja Jurnalis

Doxing, Tren Kekerasan Baru Melalui Medsos Jadi Ancaman Kerja Jurnalis

Jakarta, Gatra.com - Sepanjang 2018, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyoroti kebebasan pers di Indonesia yang masih memprihatinkan. 

Menurut data statistik Bidang Advokasi AJI Indonesia, sedikitnya ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Berdasarkan keterangan tertulis AJI Indonesia kepada Gatra.com, peristiwa yang dikategorikan sebagai kekerasan itu meliputi pengusiran, kekerasan fisik, hingga pemidanaan terkait karya jurnalistik. 

Jumlah ini tercatat lebih banyak dari tahun 2017 sebanyak 60 kasus.

Tahun lalu, AJI justru mencatat jenis kasus kekerasan baru yang berpotensi menjadi tren mengkhawatirkan ke depan, yaitu pelacakan dan pembongkaran identitas jurnalis yang menulis berita atau komentar yang tak sesuai dengan aspirasi politik individu atau kelompok tertentu.

Individu atau kelompok yang tidak terima dengan sebuah pemberitaan kemudian membongkar identitas penulis, lalu menyebarkannya ke media sosial untuk tujuan-tujuan negatif. 

AJI mengategorikan tindakan seperti ini sebagai doxing atau persekusi daring (dalam jaringan).

Kasus doxing biasanya berujung pada persekusi. Fenomena ini mengkhawatirkan karena cuitan di media sosial yang semestinya dilihat sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, seharusnya tidak disikapi dengan cara berlebihan, yang merusak jati diri seseorang. Bahkan berujung pada perburuan dan kekerasan, sampai pemidanaan.

Ketua AJI Indonesia Abdul Manan menjelaskan, tren tersebut memang sulit dihindari namun setidaknya bisa dilakukan pencegahan dengan mengamankan diri di dunia digital.

Caranya, lanjut Manan, dengan tidak mengunggah informasi pribadi secara berlebihan. Sebab untuk jurnalis, terlebih yang menulis berita kritis, sangat rentan diserang.

Tidak menampilkan informasi yang sangat personal. 

“Kalau kita unggah foto di media sosial, tidak menampilkan aktivitas yang biasa misalnya (memaerkan) rumah, afiliasi politik kita seperti apa. Peluang dibully jadi lebih kecil," jelas Manan saat ditemui di kantor AJI Jakarta, Kalibata, Jakarta Selatan, Rabu (1/5).

Manan memberikan alternatif lain, yakni dengan mengganti identitas di media sosial, jika tetap ingin membagikan kehidupan pribadinya. 

"Kalau kita bukan wartawan, tidak terlalu (berdampak). Tapi itu bisa jadi risiko kalau informasi itu dipakai buat melacak," papar Manan.

Sebagai informasi, persekusi daring banyak menimpa warga sipil dan AJI bersama sejumlah organisasi masyarakat, juga bisa memberikan advokasi melalui Koalisi Antipersekusi. 

768