Home Milenial Mengembangkan Wirausaha Sosial ala ‘Amalan’ dan ‘Bantu’

Mengembangkan Wirausaha Sosial ala ‘Amalan’ dan ‘Bantu’

Yogyakarta, Gatra.com - Bisnis bisa dibangun untuk mengatasi persoalan sosial. Alasan ini melatari perkembangan sociopreneurship atau kewirausahaan sosial belakangan ini. Sociopreneur acapkali tumbuh dari kegelisahan terhadap permasalahan sekitar.

Hal ini yang mengemuka dalam diskusi “Sociopreneurship dan Startup di Era Industri 4.0” di BLOCK71 Innovation Factory, Terban Yogyakarta, pada Rabu (22/5) sore.

Acara ini digelar oleh dua wahana inkubasi usaha rintisan, BLOCK71 dan Creative Hub (CHub), inkubator milik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

Di kegiatan ini, CHub mengundang usaha rintisan Amalan dan Bantu membagikan pengalaman masing-masing dalam mengembangkan bisnis berorientasi sosial. Amalan dan Bantu adalah dua usaha rintisan yang dikembangkan dengan misi sosial.

Bantu adalah platform jejaring sosial yang dikembangkan mahasiswa UGM. Ghilman Nafadza, salah satu pendiri Bantu, mengatakan bahwa platform ini diciptakan untuk menghubungkan orang yang membutuhkan bantuan (user) dengan pemberi bantuan atau solusi (hero).

Saat ini, pengembangan Bantu dibimbing oleh Kepala Pusat Keamanan, Keselamatan, Kesehatan Kerja, dan Lingkungan UGM Arif Nurcahyo. Bantu memanfaatkan teknologi untuk mengatasi kelemahan layanan panggilan darurat yang belum mampu menandai lokasi korban.

Sayangnya, teknologi yang digunakan Bantu mensyaratkan penggunaan smartphone dan keberadaan sinyal internet. Ghilman mengakui, Bantu baru bisa mengatasi masalah di perkotaan.

Menurut Ghilman, Bantu menjadi proyek percontohan yang akan dikembangkan di berbagai universitas lain di Indonesia. “Harapannya dapat berkolaborasi dengan pemerintah,” kata Ghilman.

Serupa dengan Bantu, Amalan juga merupakan social enterprise berbasis teknologi. Akan tetapi, Amalan telah lebih profesional. Training and Quality Manager Amalan, Genta Mahardhika, mengatakan Amalan menawarkan jasa negosiasi pelunasan utang.

“Pemberi pinjaman atau bank biasanya tidak mempertimbangkan keadaan ekonomi yang dihadapi peminjam,” ujar Genta. Klien Amalan seringkali memiliki beban utang, tetapi menghadapi masalah finansial seperti kehilangan pekerjaan atau bangkrut.

Amalan menjembatani kondisi ekonomi klien dan bank. Amalan menegosiasikan kemampuan pembayaran klien dengan beban pinjaman dari bank.

Pendiri sekaligus CEO Amalan Arne Hartmann, menjelaskan pembayaran utang mandek selalu terjadi. Namun, bank tidak punya proses, teknologi, dan integritas yang bisa mengatasi hal tersebut, sehingga justru menyulitkan peminjam.

Oleh karena itu, Amalan menjadi penengah atas persoalan itu. Pada prosesnya, Amalan berupaya menegosiasikan potongan utang dengan jumlah yang adil bagi kedua belah pihak.

“Nantinya, Amalan menerima pembayaran dari peminjam, jika kesepakatan sudah dicapai antara peminjam dan pemberi pinjaman atau bank,” ujar Hartmann.

Genta berpendapat, sociopreneur bisa dikembangkan dengan menggabungkan kepedulian dan konsep bisnis. “Jika bisnis biasa punya corporate social responsibility (CSR), seluruh bisnis sociopreneur justru adalah kepedulian itu sendiri,” kata Genta.

Reporter: Abilawa Ihsan

645