Home Gaya Hidup Ketum PP Muhammadiyah: Medsos Bisa Picu Perang Dunia Ketiga

Ketum PP Muhammadiyah: Medsos Bisa Picu Perang Dunia Ketiga

Yogyakarta, Gatra.com – Paham pasca-kebenaran (post-truth) yang berkembang melalui media sosial dianggap berpeluang memicu perang dunia ketiga. Narasi alternatif dan literasi media pun sangat dibutuhkan di medsos.

Pandangan ini disampaikan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir saat berbuka bersama dengan wartawan di Kantor PP Muhammadiyah, Kota Yogyakarta, Kamis (30/5) petang.

“Medsos sekarang menjadi arena terbuka dan keras. Di sana peluang menyuarakan tentang apa dan mengenai siapa terbuka lebar. Berbeda dengan pers yang memiliki kontrol redaksi,” ujarnya.

Kondisi medsos yang tanpa kontrol ini memicu berbagai manipulasi opini dan hoaks melalui potongan video dan berita yang bisa direkayasa. Menurut Haedar, era pasca-kebenaran di medsos melahirkan simulakra.

Mengacu pemikiran Jean Baudrillard, Haedar mengatakan simulakra adalah bentuk realitas tiruan yang tidak lagi mengacu pada realitas sesungguhnya.

“Realitas sesungguhnya sudah dibelokkan dan benar-benar ditutup dari acuannya. Kemudian realitas ini dianggap sebagai realitas yang sesungguhnya. Pembiaran kondisi ini menjadikan medsos berpeluang memicu perang dunia ketiga,” katanya.

Apalagi ketika realitas tiruan ini dianggap sebagai representasi kebenaran oleh tokoh agama partisan. Hal ini bisa mengerakkan masyarakat awam yang daya seleksi dan literasinya rendah.

Untuk melawan ini, menurut Haedar, medsos butuh berbagai narasi alternatif yang mengandung nilai moral dan spiritual bangsa Indonesia. Dunia medsos membutuhkan pencerdasan terus-menerus, salah satunya melalui literasi data. Tahap awal literasi di medsos ini bisa dilakukan di lembaga pendidikan formal.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Effendi yang turut hadir di acara ini menyatakan literasi data dan media memang sangat dibutuhkan.

“Kita sudah memiliki program literasi data dan media di sekolah-sekolah. Namun perkembangannya terkendala akselarasi medsos yang sangat cepat. Dibutuhkan peran keluarga, masyarakat, dan media massa,” jelasnya.

Meski literasi media dan data sangat dibutuhkan, Muhajir melihat perilaku bermedsos kalangan milenial jauh lebih bijak dan terarah dalam menyampaikan pendapat. Hal itu berbeda dengan golongan tua yang perilakunya di medsos justru menyimpang norma sosial dan agama.

Muhajir lantas mencontohkan ribuan komentar kepada dirinya di medsos soal pelaksanaan ujian nasional. Meskipun sama-sama menyampaikan kritik, kritik genarasi milenial lebih arif, cerdas, dan sopan.

“Bahkan saya anggap komentar mereka lucu-lucu. Salah satunya seperti ‘sesekali Pak Menteri ikut UN agar tahu susahnya soal’. Ini kan bentuk kritik yang lucu namun mengena,” katanya.

 

 

 

563