Home Gaya Hidup Memotret Islam Urban dari Sudut Pandang Etnografi Indrawi

Memotret Islam Urban dari Sudut Pandang Etnografi Indrawi

Jakarta, Gatra.com - Sutradara Film dan Antropolog, Aryo Danusiri memproduksi dua film yang menggambarkan kehidupan Islam Urban yaitu On Broadway dan The Flaneurs #3. Kedua film ini digarap menggunakan perspektif Etnografi Indrawi (Sensory Ethnography). Hal ini terungkap dalam Madani Film Screening: On Broadway & The Flaneurs #3 yang diadakan di @america, Pacific Place, Jakarta, Jumat (21/6).

Aryo mengungkapkan Etnografi Indrawi menekankan pada pengalaman untuk bertemu dengan subyek-subyek dalam film, sehingga penonton harus aktif melihat, mendengar, dan merasakan. “Dalam sensory ethnography, anda harus aktif terlibat sensory ethnography terlibat dengan apa yang ada pada film,” ujarnya.

Kemudian, Ia menambahkan etnografi indrawi merupakan turunan dari seni dan antropologi. Hal ini berbeda dengan film dokumenter konvensional yang merupakan turunan dari jurnalisme.

Film On Broadway menggambarkan proses pelaksanakan salat Jumat di sebuah basement bangunan di Broadway, New York. Terlihat pengambilan gambar yang dilakukan secara statis untuk mengamati seluruh proses kegiatan.

Adegan dimulai ketika para marbot masjid mulai menyiapkan basement (bawah tanah) gedung Asia Center menjadi tempat salat dengan menggelar terpal berwarna biru. Lalu, jamaah mulai berdatangan hingga azan berkumandang. Pelaksanaan salat Jumat mulai dari khutbah mengenai ‘halloween’ hingga salat berjamaah ditampilkan dalam film.

Film diakhiri ketika para marbot masjid membereskan terpal yang digunakan sebagai alas salat dan dipindahkan ke ruang bawah tanah.

Sementara itu, film The Flaneurs menggambarkan acara pengajian di mana para habib berada di atas panggung dan para jamaah di bawahnya berebut ingin bertemu dan menyalami para habib dalam suatu majelis pengajian keliling.

Setelah pemutaran film selesai, Aryo menjelaskan bahwa dirinya ingin menempatkan ruang sebagai subyek yang memperlihatkan kegiatan orang-orang di dalamnya. “Saya tertarik mengenai bagaimana ruang menjadi subyek,” ujarnya.

Peneliti Kajian Media Universitas Paramadina, Putut Widjanarko mengungkapkan bahwa ada evolusi ruang reproduksi keagamaan dalam kedua film tersebut. “Dalam kesementaraan (fungsi ruang menjadi masjid), Islam sebagai ummatan wahidan (umat yang satu) terjadi,” terang Produser Film Mizan Productions tersebut.

Bedanya dalam film On Broadway sebuah ruang bawah tanah berubah menjadi masjid sementara, sedangkan dalam film The Flaneurs #3 sebuah lapangan di Ibu Kota diubah menjadi lokasi pengajian.

Selanjutnya, Aryo menjelaskan kedua film tersebut dapat menginisiasi suatu imajinasi mengenai kegiatan di dalamnya. “Urban religion selalu dianggap orang beragama karena alienasi perkotaan, tapi tidak melihat sebetulnya bagaimana semangat beragama di perkotaan karena adanya kompetisi ruang,” tuturnya.

 

530