Home Politik Karhutla Masih Terjadi, BRG Dinilai Gagal Restorasi Gambut

Karhutla Masih Terjadi, BRG Dinilai Gagal Restorasi Gambut

Jakara, Gatra.com - Sejumlah Organisasi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Koalisi Eye on the Forest (EoF) menilai Badan Restorasi Gambut (BRG) gagal melakukan restorasi gambut sehingga kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) masih kerap terjadi.

"Kita melihat secara luas restorasi ini , capaian restorasi yang dikoordinasi oleh BRG masih sangat rendah di lapangan yang sudah direstorasi baru 8% dari target, padahal sudah tahun ke-4," ujar Deputi Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Okto Yugo, dalam konferensi pers di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (30/8).

Jika merujuk Peraturan Presiden (Perpres) nlNomor 1 tahun 2016 tentang BRG, di tahun pertama BRG seharusnya mampu merestorasi lahan gambut seluas 30% dan mencapai 70%-90% di tahun keempat.

Akibat restorasi optimal, Okto menyebut karhutla belakangan terjadi di Riau yang mengakibatkan sekitar 22.000 orang terkena Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

"35 ribu hektare kembali terbakar, dampak dari restorasi gambut yang tidak dilakukan dengan serius dan banyak melanggar aturan, dan tidak sesuai dengan semangat di tahun 2015," tegas Okto.

Sejauh ini, penanganan karhutla oleh pemerintah masih mengandalkan konteks pemadaman di lapangan. Dimana dalam upaya pemadaman membutuhkan air yang banyak di lahan gambut, sementara air tidak tersedia.

"Jadi kemarin asap hilang bukan karena penanganan kebakaran, tapi karena adanya hujan," tandas Okto.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Riau mengkritisi kinerja BRG yang hanya fokus semata pada lahan non konsesi, sementara lahan konsesi yang dikelola korporasi terabaikan.

"Bicara gambut tidak hanya konsesi dan non konsesi tapi landscape secara keseluruhan, itupun di daerah non konsesi ditahan airnya, akhrinya gambut di lahan konsesi kembali ditanami akasia," ujar Riko.

Kembali ditanaminya lahan gambut yang seharusnya direstorasi, menurut Riko akibat Peraturan Menteri LHK No.10 tahun 2019 tentang Penentuan, Penetapan dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut, yang merupakan kemunduran dalam komitmen untuk melaksanakan pemulihan Iahan gambut paska kebakaran 2015.

Permen 10 tahun 2019 jelas-jelas sebuah kemunduran. Kehadiran peraturan menteri ini sungguh mengagetkan. Kebijakan ini memberikan peluang korporasi untuk kembali beroperasi seperti biasa layaknya sebelum tahun 2015, ujar Riko.

Anggota EoF yang terdiri dari Jikalahari, WALHI dan WWF Indonesia meminta Presiden untuk mencabut Permen 10 tahun 2019 serta mengevaluasi kinerja BRG yang akan habis masa tugasnya tahun depan.

"Dalam konteks riau target restorasi pemulihan tidak sampai 10% dalam empat tahun, wajar kebakaran 2019, itu membuktikan gambut belum pulih dan masih kering," pungkas Riko.

 

587