Home Ekonomi Cara Ini Dianggap Bisa Meminimalisir Karhutla

Cara Ini Dianggap Bisa Meminimalisir Karhutla

Pekanbaru, Gatra.com - Ketua DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Ir. Gulat Medali Emas Manurung, MP mengatakan, inventarisasi lahan bisa menjadi salah satu solusi untuk mengurangi kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Sebab dengan inventarisasi tadi kata Gulat, akan ketahuan siapa pemilik lahan itu. Kalau kita tengok konsekuensi hukum soal pembakaran lahan sudah sangat tegas. Tapi persoalan yang muncul justru, banyak kebun tidak tahu siapa tuannya. "Gimana pula mau menerapkan hukum kalau pemilik kebun itu kita enggak tahu. Jadi, kalau pendataan sudah dilakukan, akan ketahuan siapa pemiliknya, terdata di pemerintah dan tentu akan mudah meminta pertanggungjawaban pemilik lahan kalau terjadi karhutla," ujar auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini saat berbincang dengan Gatra.com, Rabu (11/9).

Khusus bagi Apkasindo sendiri kata Gulat, inventarisasi lahan tidak hanya sekadar untuk bisa mengetahui siapa pemilik lahan, lebih dari itu, inventarisasi tadi sengaja dilakukan untuk memperjelas status lahan petani. Apakah di dalam klaim kawasan hutan, atau di luar kawasan hutan.

Nah, persoalan inilah kata Gulat yang sampai sekarang belum jelas juntrungannya. Padahal kata Gulat, kalaulah ego sektoral tidak dikedepankan, kebun para petani ini justru sangat mumpuni untuk menjadi sumber pendapatan asli daerah.

"Ini kan enggak. Yang ditonjolkan justru ego sektoral tadi. Orang kehutanan keukeu dengan klaim kawasan hutannnya. Keukeuh dengan luasan kawasan di atas kertas, sementara kondisi eksisting dari luasan klaim kawasan hutan itu, enggak menjadi pertimbangan," rutuknya.

Coba kalau ego sektoral tadi dihilangkan kata Gulat. Inventarisasi lahan tadi akan menjadi solusi meningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Caranya, melegalkan lahan kebun tadi yang pada akhirnya akan menjadi objek pajak.

"Coba bayangkan, sudah berapa pajak yang bisa didapatkan oleh Negara dari jutaan hektar kebun sawit yang di klaim di kawasan hutan itu, apabila sudah dilegalkan. Tak hanya dapat duit dari pajak, asing yang selalu ngeyel dengan urusan di dalam Negeri ini, tak akan lagi berkoar-koar. Sebab semua kebun tadi sudah punya legalitas yang jelas," katanya.

"Perlu dicatat, Apkasindo tidak akan melakukan advokasi bagi lahan kebun yang ada di kawasan konservasi. Tapi di luar itu, kita upayakan," tambah Gulat.

Riyadi Mustofa, Tenaga Ahli Pusat Studi Lingkungan LPPM Universitas Riau ini mengamini apa yang dikatakan Gulat. Sebab jika dikaitkan dengan Peraturan Pemerintah nomor 104 tahun 2015, tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, Riau masih punya 10 persen dari luasan lahan yang bisa diputihkan.

"Artinya, kalau syarat 30 persen kawasan hutan diterapkan, maka Riau masih punya potensi untuk mengeluarkan sekitar 800 ribu hektar lahan untuk diputihkan," ujar Tim Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) RTRW Provinsi Riau ini.

Di sisi lain, pakar hukum perhutanan, DR Sadino mengatakan, kalau asal-usul 30 persen tadi sebenarnya enggak jelas. Kajian ilmiahnya enggak jelas.

"Kalau misalnya kita ambil contoh di Riau, secara ruang masih ada kawasan hutan 40 persen. Nah pertanyaannya, yang 40 persen itu apa saja?," kata Sadino.

Terkait klaim kawasan hutan yang dikatakan Gulat tadi, semestinya kata Sadino, Kementerian Kehutanan legowo dengan kesalahan yang terjadi di masa lalu. Bahwa sebetulnya, hingga saat ini yang disebut dengan kawasan hutan di Riau itu, belum jelas. Sebab itu tadi, hingga saat ini belum ada pengukuhan kawasan hutan. Yang ada masih hanya klaim kawasan hutan.

"Ini kan enggak fair namanya. Memaksakan sesuatu yang tidak jelas dasar hukumnya. Di Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang kehutanan sendiri sudah disebutkan bahwa kawasan hutan harus dikukuhkan untuk mendapatkan kepastian hukum. Dan pengukuhan kawasan hutan itu dilakukan dengan tahapan; penunjukan, pemetaan, penataan batas, penetapan. Jadi kawasan hutan yang benar itu adalah hamparan tutupan hutan yang ditetapkan. Tentu dengan cara-cara yang benar, sesuai dengan aturan penataan batas. Sebab tata batas itu adalah memisahkan antara hak negara dan masyarakat," katanya.

513