Home Politik Menyoal Program Riau Hijau

Menyoal Program Riau Hijau

Pekanbaru, Gatra.com - Dayun hanya satu dari belasan kecamatan yang ada di Kabupaten Siak Provinsi Riau. Di bidang lingkungan, kecamatan ini cukup sering dibanggakan Gubernur Riau, Syamsuar saat masih menjadi Bupati Kabupaten Siak. 

Sebab sejumlah desa --- Pemkab Siak menyebut Kampung --- di sana untuk beberapa saat berhasil terbebas dari kebakaran lahan. Inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan Syamsuar mengumbar Kecamatan Dayun sebagai salah satu keberhasilan program Siak Hijau yang dia gaungkan. 

Pada tahun 2019, persis saat Syamsuar naik kelas menjadi Gubenur Riau, nama Dayun tetap masih sering dia lontarkan. sebagai keberhasilan menerapkan Siak Hijau. Capaian yang kemudian dia anggap pintu masuk untuk mendengungkan program Riau Hijau.

Namun pada Agustus 2019, kecamatan yang dibanggakan Syamsuar tadi akhirnya menanggalkan keberhasilanya sebagai kawasan bebas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) setelah tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mampir ke daerah itu untuk menyegel dua lahan konsesi; PT RAPP (RGE Group) dan PT Arara Abadi (Sinarmas Forestry-APP Group). 

Selain menyegel dua lahan konsesi tadi, KLHK juga melakukan aksi serupa untuk konsesi PT SRL dan PT GSM.

Penyegelan tadi sontak meruntuhkan torehan Syamsuar selama menjadi Bupati Siak. Kebakaran hutan dan lahan  (Karhutla) di kecamatan lain di Riau menyusul membikin slogan Riau Hijau yang kini sedang disuarakan sang gubenur, meredup. 

Sebelumnya, aktivis lingkungan hidup Riau, Rawa El Almady telah menaksir kesulitan yang bakal melanda program Riau Hijau besutan Syamsuar. 

Kepada Gatra.com, Rawa mengatakan luasnya wilayah "hijau" yang bakal diperjuangkan Syamsuar tidak selaras dengan pengalaman Syamsuar sebelumnya. 

"Sah-sah saja pengalaman di Siak dijadikan pijakan untuk membikin program di tingkat provinsi. Tapi juga harus diingat, skala provinsi jauh lebih luas dibanding kabupaten. Di level provinsi, Syamsuar mesti berurusan dengan seluruh wilayah kabupaten. Sedangkan saat di Siak hanya mengelolah satu wilayah. Singkat kata jauh lebih banyak area konsesi yang bakal diurus di tingkat provinsi, sehingga keberhasilan di tingkat kabupaten tak menjamin kesuksesan di level pemda," katanya.

Kini, karhutla di Riau telah menghanguskan lahan hingga ribuan hektare. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut, sejak Januari hingga September, areal yang terbakar di Riau mencapai 49.266 hektar. 

Angka ini menjadi yang terluas di Sumatera. Yang menyedihkan lagi, karhutla itu dominan terjadi di areal gambut (40.553 hektar), sisanya tanah mineral 8.713 hektar. 

Realita ini dengan sendirinya memercik rasa pesimis terhadap program Riau Hijau sang gubenur.

Rawa pun berharap agar Pemprov Riau melalui gubenur melakukan perumusan ulang terkait Riau Hijau agar tak disebut gagal. 
Sebab kalau program Riau Hijau hanya dikhususkan untuk masalah lahan hutan, ini tentu akan cukup berat lantaran menumpuknya persoalan lingkungan kehutanan atau perkebunan di Riau. 

Rawa mencontohkan persoalan konflik lahan. Untuk persoalan ini saja, dari kurun waktu 2016-2018 sudah mencapai 185 kasus dengan luas lahan sengketa sekitar 283.277 hektar. 

Disisi lain kerusakan hutan di Riau juga kian membengkak. Sebagai gambaran, jika pada tahun 2013 kerusakan hutan di Riau mencapai 1.536.633,99  hektar, tahun 2017 kerusakan hutan itu melonjak menjadi 4.804.120,30 hektar.

Green (hijau) di bidang lingkungan itu maknanya luas, tidak hanya berkutat pada upaya mencegah karhutla. Menghemat listrik, mengurangi pemakaian plastik dan kertas atau menjaga kebersihan daerah aliran sungai, itu juga bagian dari Green. Kita ingin ada kerangka besar soal Riau Hijau ini, bukan sekadar urusan zonasi seperti di Siak Hijau. Harus ada konsep yang jelas soal ini," pinta pimpinan Sustainable Social Development Partnership (Scale UP) Riau itu.

Solusi lain kemudian diutarakan Kordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Made Ali. Made meyakini jika persoalan lingkungan hutan di Riau hanya dibebankan kepada Pemerintah Daerah saja, maka hal itu tidak akan optimal. 

Apalagi belarutnya persoalan kebakaran lahan di Riau juga dilatari oleh status korporasi yang memiliki koneksi politik.
Jika ingin membuat korporasi lebih peka pada urusan lingkungan hidup, itu bisa dilakukan dengan berhenti membeli produk dari korporasi yang punya rekam jejak bermasalah dengan hutan. 

"Atau dengan melakukan boikot. Bisa juga dengan melakukan kampanye mendesak lembaga financial menghentikan aliran modal," katanya.

Sekarang, Dayun dan beberapa daerah lainya di Riau sedang menanti tindakan pasti dari pemangku kepentingan untuk menyelamatkan lingkungan mereka, baik itu dalam kerangka Siak Hijau maupun Riau Hijau. 

Tanpa adanya peta penyelesaian persoalan yang konkrit, maka akan sangat sulit bagi warga Riau terbebas dari persoalan menahun; asap.

377