Home Gaya Hidup Berkunjung ke Masjid Saka Tunggal, Masjid Tertua Indonesia

Berkunjung ke Masjid Saka Tunggal, Masjid Tertua Indonesia

Banyumas, Gatra.com – Masjid Saka Tunggal dipercaya sebagai masjid tertua Indonesia, atau setidaknya salah satu yang tertua. Masjid ini berada di lembah yang dikelilingi pegunungan Wangon, Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Dari Jalan raya Wangon-Ajibarang, Banyumas, lokasi masjid masuk ke jalan desa sekitar dua kilometer. Jarak dari Kota Purwokerto sekitar 35 kilometer ke arah barat. Masjid Saka Tunggal dikelilingi hutan pinus yang sejuk.

Dipercaya, Masjid Saka Tunggal dibangun oleh Kiai Mustolih atau Kiai Tolih pada tahun 1288 atau 1522 Masehi. Dua angka itu terletak di sisi depan dan samping dengan huruf Arab dan latin. Satu tiang penyangga berukuran 40 x 40 centimeter dengan tinggi sekitar lima meter membuat masjid tegak berdiri menyangga langit-langit atau wuwungan masjid. Tiangnya yang hijau dipenuhi ukiran bunga dan tanaman serta dilindungi kaca.

Soal awal berdirinya masjid ini, Juru Kunci ke-12 Masjid Saka Tunggal, Sulam tak bisa memastikan. Akan tetapi, dari informasi yang diwariskan juru kunci terdahulu ke juru kunci berikutnya, masjid ini dibangun sebelum Kesultanan Demak berdiri. “Tahunnya saya tidak tahu pasti. Tapi kalau dari cerita turun temurun dari orang tua saya, kakek saya, buyut saya, masjid dibangun sebelum Demak Bintoro berdiri,” ucapnya.

Dia memperkirakan masjid ini dibangun saat budaya Hindu-Budha sangat dominan. Kemungkinan, pada masa Kerajaan Majapahit. Buktinya, hingga saat ini beberapa adat kebiasaan itu masih terjaga. Tuanya peradaban masjid ini adalah karakteristik masyarakat di sekitar Masjid Saka Tunggal. Mereka masih melestarikan tradisi Islam yang kental bernuansa Jawa tradisional.

Mayoritas warga di Desa Cikakak adalah penganut Islam Aboge, atau umat Islam yang menggunakan kalender Alif Rebo Wage. “Jumlah penduduk 3.700 orang, kira-kira. Rata-rata Aboge. Memang ada juga yang menggunakan kalender nasional,” jelasnya.

Sulam adalah generasi ke-12 juru kunci. Ayahnya, Sopyani (77 th) juga merupakan juru kunci ke-11 yang kini telah pensiun. Bersama dengan sulam, masih ada dua kunci lainnya, yakni Subagyo dan Sudirman. “Pak Dirman sudah meninggal dunia, tapi sekarang belum mengangkat penggantinya,” ucapnya.

Salah satu tradisi yang masih kental dan terus dilestarikan oleh masyarakat sekitar Masjid Saka Tunggal adalah tradisi penjarohan atau jaroh yaitu ziarah dengan tujuan menghormati leluhur, dan biasa digelar setiap tanggal 26 Rajab dan mencapai puncaknya pada Sya’ban. Dalam kegiatan tersebut biasanya warga bergotong-royong mengganti pagar bambu yang mengelilingi masjid dan juga makam sekitar masjid.

Secara umum, tata peribadatan jemaah penganut Islam Aboge tak jauh berbeda dengan umat muslim lainnya. Yang membedakan adalah kalendernya. Ini membuat hari-hari besar Islam Aboge tiba di hari berbeda dengan umat Islam lainnya. Ada pula yang unik dengan peribadatan di Masjid Saka Tunggal. Masjid ini hanya digunakan untuk tiga kali salat berjamaah, yakni Magrib, Isya dan Subuh, serta Salat Jumat. Tak ada salat jamaah Dzuhur dan Ashar di masjid ini.

Juru kunci generasi ke-11, Sopyani mengatakan kebiasaan ini dipengaruhi oleh pekerjaan masyarakat sekitar yang kebanyakan berprofesi sebagai petani. Siang dan sore hari, sebagian besar warga masih berada di ladang atau di hutan. Keunikan lainnya, masjid ini tidak menggunakan pengeras suara kecuali untuk Salat Idul Fitri dan Salat Idul Adha. Azan dan Iqomat di hari-hari biasa tidak pernah menggunakan pengeras suara. Untuk menandakan masuk waktu salat, pengurus masjid akan membunyikan kentong dan bedug.

“Mau dikeras-kerasin pakai pengeras suara kalau tidak mau ya tetap tidak mau. Tapi hanya dengan bedug dan kentong kalau memang ada panggilan hati ya cepat-cepat ke masjid,” Sopyani menerangkan.

3799