Home Hukum Kasus Karhutla, Dikejar Sampai Ke Pemegang Saham

Kasus Karhutla, Dikejar Sampai Ke Pemegang Saham

Jakarta, Gatra.com - Kejaksaan Tinggi Riau, pada Selasa 12 November lalu, menyatakan berkas kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang menyeret PT SSS telah lengkap atau P21. Itu artinya, tak lama lagi kasus karhutla yang sempat menjadi perhatian publik ini bakal segera bergulir ke meja hijau. Dalam kasus karhutla ini ada tiga tersangka, yaitu korporasi (PT. SSS), direktur utama PT tersebut sebagai pelaku fungsional, dan manajer operasional sebagai pelaku pembakar lahan.

Penetapan korporasi sebagai tersangka kasus karhutla di Riau mendapat sorotan dari pengamat hukum pidana korporasi Ari Yusuf Amir. Ari mengungkapkan pada berbagai kasus tindak pidana korporasi di Indonesia, termasuk kasus Karhutla, jajaran direksi sering menjadi pihak yang rentan ditetapkan sebagai tersangka. Jarang sampai menyentuh ke level pemegang saham. “Alasan utamanya karena kesulitan pembuktian keterlibatan pemegang saham,” kata Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII), itu kepada Gatra.com, Jumat (15/11) di Jakarta.

Ari menjelaskan, penyidik masih berpedoman pada Pasal 3 ayat (1) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Dalam pasal tersebut, pemegang saham dinyatakan hanya bertanggung jawab sebatas saham korporasi yang dimilikinya. Keterbatasan tanggung jawab pemegang saham tersebut memiliki dua makna. Pertama, pemegang saham tidak mungkin melakukan tindak pidana korporasi karena hanya menanamkan modal, dan tidak terlibat dalam kegiatan operasional. Kedua, tanggung jawab pemegang saham hanya terbatas besar-kecilnya perolehan deviden atas sahamnya.

Diungkapkan Ari, berulang-ulangnya kasus karhutla di wilayah konsesi korporasi tertentu, patut diduga tindak pidana tersebut merupakan kebijakan korporasi. Disebut kebijakan korporasi, karena Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) memerlukan waktu yang lama dan biaya mahal. “Karena tujuan korporasi adalah memperoleh laba sebesar-besarnya, maka dipilihlah alternatif yang mudah, cepat dan hemat, yaitu menggunakan teknik pembakaran lahan,” ujar Ari.

Sementara untuk membuktikan ada-tidaknya pengaruh pemegang saham, menurut Ari dapat dilakukan pembuktiannya melalui beberapa tahap. Tahap pertama, perlu diselidiki apakah direksi merupakan orang yang ditempatkan oleh pemegang saham pengendali? Para pemegang saham sering menggunakan modalnya untuk memengaruhi direksi dan komisaris dalam mengambil kebijakan yang menguntungkannya.

Bentuk penggunaan pengaruh modal oleh pemegang saham biasanya berupa penunjukan direksi dan komisaris. Bila direksi merupakan orang yang ditunjuk oleh pemegang saham pengendali, maka, dalam konteks pidana, pemegang saham dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindakan buruk direksi yang dia pilih.

Tahap kedua, untuk membuktikan keterlibatan pemegang saham dalam kasus Karhutla adalah dengan melihat dokumen Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dalam dokumen RUPS dapat dibaca rencana tindakan korporasi untuk mematuhi persyaratan yang diatur dalam undang-undang di bidang pembukaan lahan. Seharusnya korporasi sudah memahami dengan benar persyaratan yang diatur dalam undang-undang untuk pembukaan lahan. “Bila dalam dokumen terdapat ketidaksesuaian, maka perlu dilihat penyebab ketidaksesuaian tersebut,” urai Ari.

Menurut Ari, secara teoretis, pemegang saham tidak boleh mempengaruhi kebijakan direksi, kecuali melalui organ korporasi yaitu RUPS. Namun dalam kenyataannya sering pemegang saham pengendali, dengan kekuasaan yang dimilikinya, bertindak di luar kewenangannya untuk mengatur direksi dan komisaris (ultra vires). Terhadap tindakan tersebut, menurut Pasal 3 ayat (2) UU PT, pemegang saham telah kehilangan hak imunitasnya.

Hak imunitas pemegang saham adalah pertanggungjawaban terbatas atau limited liability. Dengan kata lain, bila pemegang saham melakukan tindakan ultra vires, maka pertanggungjawaban pemegang saham tidak lagi sebatas saham yang disetor, melainkan -- menurut rumusan pasal 55 KUHP-- menjadi pihak yang menyuruh melakukan atau membantu melakukan tindak pidana.

Dengan demikian limited liability dapat ditembus atau piercing the corporate veil, dan pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU PT. “Dengan dua tahap pembuktian dan doktrin ultra vires tersebut, semestinya aparat penegak hukum tidak ragu untuk menjerat pidana pemegang saham dari korporasi yang melakukan tindak pidana Karhutla,” kata Ari.

Ari menjelaskan, bila pemegang saham selalu berlindung di balik tameng korporasi maka kasus kejahatan koporasi termasuk kasus karhutla akan terus terjadi. Sedangkan penerapan sanksi pidana bagi pemegang saham akan membuat mereka lebih berhati-hati untuk berbuat jahat dan curang, dan dapat membuat korporasi berjalan lebih sehat. “Korporasi yang sehat akan berdampak positif bagi iklim investasi di Indonesia, dan menguntungkan negara untuk proses pembangunan ekonomi berkelanjutan,” tukasnya.

5662