Home Politik Riau Kejar Pajak CPO, Isu Lingkungan Hidup Menanti

Riau Kejar Pajak CPO, Isu Lingkungan Hidup Menanti

Pekanbaru, Gatra.com -- Ketua Komisi III DPRD Riau, Husaimi Hamidi, mengungkapkan pihaknya tidak setuju jika keinginan Riau memburu pajak CPO (minyak sawit), berujung  dengan munculnya tawaran lain selain Pendapatan Asli Daerah (PAD). "Kita tidak ingin treatment lain di luar uang yang akan menghasilkan kenaikan pendapatan bagi daerah," sebutnya kepada Gatra.com, Selasa (19/11).

Kata Husaimi, upaya Riau memperjuangkan dana bagi hasil (DBH) minyak Sawit ditujukan untuk mengerek PAD. Oleh sebab itu dia berharap agar upaya tersebut tidak digembosi dengan munculnya tawaran-tawaran lain dari pemerintah nantinya. Bahkan Husaimi menolak jika nantinya ada tawaran khusus dari pemerintah pusat untuk membatalkan keinginan memburu cuan ekspor CPO.

"Kalau pun nanti muncul opsi misalkan khusus Riau tarif BPJS tidak dinaikan, atau pemerintah tidak menaikan tarif listrik di Riau. Kita tidak ingin treatment semacam itu, yang kita persoalkan itu mengapa migas ada DBH nya, atau kenapa tembakau bisa dikenakan cukai. Jadi prinsipnya bagaimanana menaikan PAD, " jelas politisi PPP itu.

Saat ini sejumlah anggota legislatif di Riau, baik di daerah dan Senayan sedang memperjuangkan mengalirnya DBH minyak Sawit. Caranya dengan medesak pemerintah pusat segera merevisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Regulasi tersebut memuat ketentuan soal Dana Perimbangan, dimana komoditas perkebunan bukan bagian yang bisa menerapkan DBH.

Lanjut Husaimi, tanpa adanya revisi atas undang-udang tersebut maka upaya memburu DBH minyak Sawit menjadi sulit.

"Sebab kita tidak bisa menggunakan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Kan minyak kelapa sawit pungutannya tidak berbentuk cukai, melainkan dari bea keluar ekspor. Sementara penerimaan negara dari bea keluar CPO sangat fluktuatif karena besarannya turut dipengaruhi harga CPO yang berlaku, bebernya.

Dalam upaya merealisasikan DBH ini,  Husaimi dan rekan-rekanya telah memulai lawatan ke sejumlah daerah penghasil Sawit. Pendekatan itu ditujukan untuk menggalang koalisi yang nantinya dapat menjadi pertimbangan pemerintah pusat.

Isu Lingkungan Hidup

Disaat sejumlah pihak di Riau tengah gencar memburu DBH CPO, aktivis lingkungan berharap hal tersebut tidak menepikan rentetan persoalan lingkungan hidup yang kerap dikaitkan dengan perkebunan Kelapa Sawit.

Dalam keterangan terbarunya, Jaringan kerja penyelamat hutan Riau (Jikalahari), mendorong Gubernur Riau Syamsuar agar mempublikasikan perusahaan-perusahaan pembakar lahan. Berdasarkan pantauan titik panas atau hotspot yang dilakukan Jikalahari dari Januari-Oktober 2019, ribuan titik panas terdeksi di areal koporasi yang begerak di sektor Hutan Tanaman Industri (HTI)  dan Sawit.

"Tindakan publikasi tersebut diperlukan untuk menekan kasus kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2020," demikian keterangan yang Gatra.com peroleh.

Untuk diketahui minyak Sawit merupakan salah satu usaha yang beresiko terhadap kelestarian hutan. Oleh sebab itu, sejumlah perusahaan kini mendorong penerapan produksi yang berkelanjutan. Beberapa perusahaan diluar negeri bahkan dituntut lebih selektif dalam menerima pasokan minyak Sawit.

Mengutip Reuters pada Selasa (19/11),  sejumlah perusahaan yang tergabung dalam 400 Consumer Goods Forum (CGF) yang berlokasi di Paris, Prancis, tahun depan memasuki batas akhir dari upaya melindungi hutan.  Diketahui, pada tahun 2010 anggota CGF yang menggunakan minyak Sawit sepakat untuk memastikan pasokan yang mereka terima tidak berkontribusi terhadap deforestasi dalam satu dekade (2020).Saat itu 400 anggota Consumer Goods Forum (CGF) yang berkedudukan di Paris, mengungkapkan mereka hanya akan membeli komoditas yang diproduksi secara berkelanjutan, baik itu minyak Sawit, kedelai, kertas dan pulp serta daging sapi.

Salah satu anggota CGF adalah PepsiCo, yang Oktober lalu memilih hengkang dari Indonesia. Hengkangnya perusahaan tersebut berkaitan dengan sikap perusahaan pemasok minyak Sawit yang memilih keluar dari Roundtable of Sustainable Palm Oil (RSPO). "Ini tidak dapat diterima dan tidak konsisten dengan kebijakan dan komitmen kami tentang minyak sawit berkelanjutan," jelas jurubicara Pepsi.

336