Home Politik Persoalan Demokrasi dalam Pemilu 2019

Persoalan Demokrasi dalam Pemilu 2019

Jakarta, Gatra.com - Pemilu 2019 sudah berlalu, tetapi masih menyisakan beberapa catatan. Kepala Pusat Penelitian LIPI, Firman Noor menyayangkan masih ada masyarakat yang menilai politik uang merupakan hal lumrah. Berdasarkan kajian LIPI, sebesar 47% masyarakat menganggap wajar hal tersebut. 

“Saat ini, masyarakat sudah terbiasa dengan politik uang. Elit politik sedang menuai hasil dari benih yang disebar money talks. Sekarang mereka malah membutuhkan uang lebih banyak lagi untuk mendekati masyarakat,” ujar Firman kepada Gatra.com, Jumat (29/11). 

Firman mengatakan, pemanfaatan aparatur dan aset pemerintah untuk mendukung kemenangan pihak tertentu membuat pelaksanaan pemilu tidak berjalan adil. Menurutnya, penilaian beberapa pengamat, hasil dari pemilu 2019 yang lalu secara objektif hanya 50:50.

“Refleksi pemerintahan yang lalu, itu paranoia. Wiranto waktu itu dikasih kewenangan menilai apakah sekelompok orang ini melanggar hukum atau tidak, sekaligus mengamankan hasil pemilu. Namun, treatment-nya berlebihan. Itu memang kritik komnas HAM terkait pemilu kemarin, meski komnas HAM juga tidak meyakini pelaku penembakan bukan polisi,” ucap Firman.

Menurutnya, partai politik telah menjadi kepentingan perorangan dan kelompok. Kewajibannya seperti kaderisasi yang tidak memiliki visi secara jelas. Selain itu, ia mengamati, keberpihakan menjadi hal biasa. 

Direktur Eksekutif LSI, Djayadi Hanan memiliki pendapat yang berbeda. Menurutnya, uang menjadi sesuatu yang tidak dipersoalkan bagi masyarakat dalam kontestasi pemilu. Tak mengherankan jika di antara mereka masih ada yang menerima pemberian uang dari para peserta pemilu, meskipun belum tentu mereka memilih yang memberi uang itu.

 "Bagaimana masyarakat memaknai demokrasi? Masyarakat memandang uang bagian dari sesuatu yang tidak masalah. Politik uang adalah bagian. Bukan tidak boleh," kata Djayadi di acara rilis "Hasil Survei Evaluasi Pemilu 2019 dan Demokrasi Indonesia" di Gedung LIPI, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu (28/8). 

Djayadi mengatakan, masyarakat memandang demokrasi sebagai "bagi-bagi rezeki" ketika pemilu berlangsung. Oleh karena itu, kata dia, siapa pun tidak bisa mengatakan bahwa mereka tidak boleh menerimanya apabila pandangannya demikian.

1083