Home Gaya Hidup Enam Kampus Jadi Model Pendidikan Inklusi untuk Disabilitas

Enam Kampus Jadi Model Pendidikan Inklusi untuk Disabilitas

Sleman, Gatra.com - Enam universitas di Indonesia yang tergabung di program ‘Indoeduc4all’ mendorong perguruan tinggi lain menyediakan dan meningkatkan kualitas pendidikan inklusi bagi para disabilitas. Enam perguruan tinggi ini akan menjadi mentor dan model percontohan.

Digagas oleh Erasmus Plus, program ini menggandeng UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Indonesia, Universitas Surabaya, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan IAIN Salatiga.

"Tiga universitas dari Eropa yaitu Universitas Alicante Spanyol, Universitas Glasgow Inggris, dan Universitas Pirous Yunani turut bergabung sebagai fasilitator. Enam universitas akan membentuk konsorsium yang memonitoring pelaksanaan peningkatan pendidikan inklusi difabel,” kata Presiden Indoeduc4all, Ro’fah, saat ditemui di UIN Sunan Kalijaga, Selasa (3/12).

Ro'fah menyatakan sebagai penguat kerjasama ini, turut diselenggarakan ‘Konferensi Internasional Indoeduc4all dan Indonesian Conference on Disability Studies an Inclusive Education (ICODIE)’ yang kedua. Seluruh acara digagas Pusat Layanan Studi Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga.

“Dasar bergabungnya enam universitas ini adalah kesamaan paradigma di mana belum banyak perguruan tinggi yang memiliki sarana mendukung peningkatan kualitas pendidikan. Selain itu, enam universitas juga akan memonitor berbagai perguruan tinggi untuk menghadirkan unit layanan studi difabel (ULD) yang diamanatkan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pendidikan,” kata Ro'fah.

Dengan dukungan dana dari Erasmus Plus 30 ribu Euro per kampus, enam universitas ini diminta merombak metode pendidikan sehingga inklusif bagi mahasiswa disabilitas. Selain itu, disusun program pelatihan beserta modul bagi dosen untuk mengajar mahasiswa disabilitas.

“Namun yang lebih penting dari program ini adalah penyiapan alat bantu mahasiswa difabel dalam mengakses materi perkuliahan,” ucap Ro’fan.

Alat bantu ini, seperti software pembaca layar bagi tunanetra atau peranti speech to text bagi para tuli, menjadi prioritas untuk diwujdukan. Dengan begitu, perkuliahan mudah diakses bagi disabilitas.

“Pemberian sarana yang kepada difabel adalah diskriminasi. Ini masih kami temukan di banyak universitas,” ujarnya.

Direktur Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAP) DIY Suharto berkata paradigma perguruan tinggi sudah seharusnya berubah. Sebab selama ini ara disabilitas yang ingin menempuh pendidikan tinggi diarahkan menurut pandangan orang lain dan tak sesuai harapan mereka.

“Kondisi ini seperti pembukaan CPNS sekarang, diberi kesempatan namun untuk tugas tertentu, dan hanya untuk satu difabel. Ini seperti membuka pintu bagi satu orang namun menutup pintu bagi yang lain. Ini tidak adil. Kita seharusnya memfasilitasi mereka agar bertumbuh menjadi seorang ahli,” ujarnya.

Suharto juga menyarankan agar ULD di universitas harus menyatu dengan komunitas kampus. Hal ini agar ULD kuat, tidak hanya memaksimalkan pelayanan, tapi juga berpeluang mengakses pendanaan.

Ketua umum Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Aria Indrawati menyatakan perhatian terhadap disabilitas di perguruan tinggi semestinya berupa monitoring.

“Pengalaman saya mengajarkan kalangan rektorat itu sombong-sombong karena yang datang tidak sama dengan mereka. Dengan kerjasama monitoring ini kita bisa mendorong perbaikan sistem yang lama-lama akan mengalir seperti bola salju,” ujarnya.

2352