Home Hukum Berikut Profil Lima Dewas KPK Pilihan Jokowi

Berikut Profil Lima Dewas KPK Pilihan Jokowi

Jakarta, Gatra.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah resmi menetapkan lima orang Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) yaitu Tumpak Hatorangan Panggabean sebagai Ketua sekaligus anggota, Artidjo Alkostar, Albertina Ho, Harjono, dan Syamsuddin Haris. Berikut profilnya:

1. Tumpak Hatorangan Panggabean

Tumpak Hatorangan Panggabean bukanlah nama yang asing di KPK. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua KPK pada periode pertama kepemimpinan Taufiequrachman Ruki.

Tumpak menamatkan pendidikannya di bidang hukum pada Universitas Tanjungpura, Pontianak. Tumpak memulai karirnya di Kajari Pangkalan Bun (1991-1993), Asintel Kejati Sulteng (1993-1994), Kajari Dili (1994-1995) dan Kasubdit Pengamanan Ideologi dan Politik Pada JAM Intelijen (1996-1997), Asintel Kejati DKI Jakarta (1997-1999), Kajati Maluku (1999- 2000), Kajati Sulawesi Selatan (2000-2001), dan terakhir sebagai Sesjampidsus (2001-2003).

Pria yang lahir di Kabupaten Sanggau, pada 29 Juli 1943 itu terpilih menjadi salah satu pimpinan setelah voting di DPR. Usai direkomendasikan mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh untuk bertugas di KPK. Setelah menuntaskan tugasnya di KPK tahun 2008, Tumpak diangkat menjadi Anggota Dewan Komisaris PT Pos Indonesia (Pesero). Setahun berselang, Tumpak oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ditugaskan kembali ke KPK untuk menjadi Plt Ketua KPK 2009-2010. Serta pada tahun 2015, nama Tumpak masuk sebagai salah satu Tim Sembilan untuk menyelesaikan kisruh Polri-KPK.

2. Artidjo Alkostar

Mantan Hakim Agung, Artidjo Alkostar lahir di Situbondo, Jawa Timur, 22 Mei 1948 menamatkan pendidikan menengah atasnya di Asem Bagus, Situbondo. Dia kemudian masuk Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.

Artidjo mendapatkan gelar Master of Laws di Nort Western University Chicago. Artidjo pernah menjadi Direktur LBH Yogyakarta, dosen fakultas hukum di UII, dan menjadi hakim agung di Mahkamah Agung sejak tahun 2000 hingga 2018. Dia juga pernah menjabat sebagai Ketua Muda Kamar Pidana Mahkamah Agung Indonesia.

Menjadi ahli hukum di Indonesia, Artidjo merupakan Hakim Agung yang disorot atas berbagai keputusan dan pernyataan perbedaan pendapatnya (dissenting opinion) dalam banyak kasus besar. Termasuk saat ia memperberat vonis empat tahun penjara menjadi 12 tahun kepada politikus Partai Demokrat, Angelina Sondakh. Dia juga kasus memperberat hukuman Anas Urbaningrum dalam korupsi wisma atlet dari 7 tahun menjadi 14 tahun.

3. Albertina Ho

Albertina Ho yang lahir di Maluku Tenggara, Jumat, 1 Januari 1960, adalah seorang hakim karier wanita pada Peradilan Umun di bawah Mahkamah Agung RI. Perempuan alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) 1985, itu meraih gelar Magister Hukum di Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto dan lulus 2004.

Albertina Ho mendapat julukan “srikandi hukum” oleh sebagian kalangan karena ketegasan dan kecermatannya sebagai hakim wanita. Albertina mulai dikenal publik ketika menjadi ketua majelis hakim yang menyidangkan kasus suap pegawai pajak Gayus Tambunan di PN Jakarta Selatan. Albertina menghukum Gayus Tambunan tujuh tahun penjara.

Pada April 2016, Albertina Ho bertugas sebagai hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi (PT) Medan dan saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang.

4. Harjono

Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) RI, Harjono, lahir di Nganjuk, 31 Maret 1948. Alumnus SMA 5 Surabaya dan Universitas Airlangga ini tetap vokal dalam urusan peradilan di Indonesia. Bahkan setelah pensiun, menyatakan dukungan atas proses mempermalukan secara publik sebagai hukuman bagi orang yang dihukum karena korupsi.

Mantan anggota Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia meraih beasiswa kuliah master di Southern Metodist University, Dallas, Texas, Amerika dengan program Master of Comparative Law.

Pada tahun 2016, Syamsuddin mendukung Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam sidang uji materi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah mengenai pasal cuti bagi petahana di masa kampanye pilkada yang diajukan oleh Basuki.

Harjono sudah dua kali menggantikan Jimly Asshiddiqie, anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum. Pertama, pada 24 Maret 2009, Harjono disumpah menjadi Hakim Konstitusi karena Prof. Jimly mundur pada 6 Oktober 2008. Lalu pada 12 Juni 2017, setelah dilantik Presiden Joko Widodo.

5. Syamsuddin Haris

Syamsuddin Haris adalah peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI. Syamsuddin dilahirkan di Bima pada 9 Oktober 1957. Profesor Riset bidang perkembangan politik Indonesia dan doktor ilmu politik yang juga menjabat Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P).

Selain menjadi peneliti, lulusan FISIP Universitas Nasional (Unas) ini mengajar pada Program Pascasarjana Ilmu Politik pada FISIP Unas, dan Program Pascasarjana Komunikasi pada FISIP UI, serta aktif dalam organisasi profesi kalangan sarjana atau ahli politik, yakni Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI).

Sejak menjadi peneliti pada Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LRKN) LIPI pada 1985, Syamsuddin Haris memfokuskan perhatian, minat, dan kajian dalam masalah pemilu, partai politik, parlemen, otonomi daerah, dan demokratisasi di Indonesia.

Syamsuddin mengakui, awalnya ia turut mengkritik adanya Dewas KPK ini. Namun, kritiknya itu dilatarbelakangi karena Dewas waktu itu diusulkan dipilih oleh DPR. Belakangan ia berubah sebab Dewas KPK ternyata dibentuk oleh Presiden.

650