Home Ekonomi Dagelan Sawit Illegal di 'Kawasan Hutan'

Dagelan Sawit Illegal di 'Kawasan Hutan'

Pekanbaru, Gatra.com - Tadinya diskusi publik bertajuk "Kebijakan Penertiban Sawit Illegal Menguntungkan Siapa?" yang ditaja Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau di kawasan jalan Belimbing Pekanbaru, Riau itu berlangsung biasa saja.

Asisten I Setdaprov Riau, Ahmad Syah Harrofie, yang datang mewakili Gubernur Riau Syamsuar, menghamparkan kinerja Satuan Tugas (Satgas) Gabungan Sawit Illegal. "Ada sekitar 1,3 juta hektar dari sekitar 2,5 juta hektar kebun kelapa sawit di Riau enggak jelas pajaknya," kata Ahmad Syah saat didapuk jadi pembicara pertama, Jumat (10/1) sore itu.

Ketua Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau, Al Azhar, tokoh masyarakat Azlaini Agus, serta Kasi Penegakan Hukum Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutan Riau, Agus Suryoko, menunggu giliran jadi pembicara. Semuanya dipandu oleh Riko Kurniawan, Direktur Walhi Riau.

Ahmad kemudian melanjutkan, ada pula 1,2 juta hektar yang berada di kawasan hutan. "Setelah 2,5 bulan bekerja, dari total kebun kelapa sawit yang bermasalah itu, Satgas baru menemukan sekitar 80 ribu hektar. Kebun itu ada yang di dalam izin konsesi, ada yang tidak punya Izin Usaha Perkebunan dan tidak punya Hak Guna Usaha (HGU), ada pula yang punya HGU tapi luasannya berlebih," Agus Suryoko melengkapi omongan Ahmad Syah tadi.

Keduanya sama-sama sepaham menyebut bahwa pendekatan negosiasi soal pajak hingga penegakan hukum menjadi langkah selanjutnya yang bakal diambil.

"Sebab arah kebijakan Satgas ini adalah penertiban perizinan. Nah apakah kemudian memungkinkan untuk dievaluasi atau diusulkan menjadi hak masyarakat melalui Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial, ini masih dikaji," kata Agus.

Namun giliran Azlaini Agus yang bicara, suasana mulai hidup. "Pemerintah enggak mampu mengurusi tanah Negeri ini. Masa bisa ada sawit ilegal seluas itu? Aparat pemerintah tidur ini," rutuk mantan anggota DPD RI ini.

Sistem ketatanegaraan di Indonesia kata Azlaini sangat jelas. "Berjenjang naik, bertangga turun. Artinya, aparat pemerintahan itu ada mulai dari Kepala Desa, Camat hingga ke atasnya. Ini kemana?" perempuan 68 tahun ini bertanya.

Yang pasti kata Azlaini, segala konflik yang terjadi saat ini, itu lantaran lemahnya pemerintah. "Sawit yang dibilang ilegal seluas tadi, menjadi tamparan keras buat pemerintah, sampai segitu luas kebun ilegalnya. Selama ini pemerintah kemana? Saya yakin bikin kebun sawit itu enggak malam hari, tapi siang. Enggak mungkin aparat enggak tahu. Tapi kenapa sekarang ini menjadi persoalan?" Azlaini kembali bertanya.

Mantan Wakil Ketua Ombundsman RI ini menduga, munculnya tudingan sawit illegal seluas itu bisa jadi lantaran aparat tahu tapi tapi mereka menjadi bagian dari kondisi itu. "Atau, mereka tahu tapi enggak mampu melapor ke pemerintah," katanya.

Uniknya, Agus sendiri tidak bisa menjawab pasti mana saja kawasan hutan di Riau yang sudah sesuai pasal 14 dan 15 Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Di pasal 14 disebutkan bahwa kawasan hutan wajib dikukuhkan untuk mendapat kepastian hukum. Kemudian dipasal 15 disebutkan pula bahwa pengukuhan kawasan hutan dilakukan dalam empat tahapan; penunjukan, pemetaan, penataan batas dan penetapan. "Soal ini adalah domain KLHK. Memang belum semua kawasan hutan di Riau ditata batas," katanya kepada Gatra.com.

Lantas jika kawasan hutan yang disebutkan tadi belum mendapat kepastian hukum sesuai pasal 14 tadi, seperti apa pula nasib Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada di Riau? Apakah RTRW itu bisa dibilang illegal disaat kawasan hutan yang menjadi acuan RTRW itu masih dipertanyakan? Agus tidak menjawab.

Belakangan urusan kawasan hutan di Riau sudah menjadi momok dan membikin gaduh. Sebab itu tadi, aparat pemerintah bersikukuh soal kawasan hutan tadi disaat mereka belum pernah sama sekali menunjukkan legalitas kawasan hutan itu seperti yang diamanahkan pasal 14 dan 15 tadi.

Ironisnya, kawasan yang sudah didiami turun temurun oleh masyarakat, diklaim kawasan hutan, termasuk ribuan hektar lahan yang sudah ber Sertifikat Hak Milik (SHM).

Korporasi dan petani kelapa sawit yang dituding berada di kawasan hutan, hanya bisa pasrah, sebab itu tadi, aparat sudah keroyokan 'memerangi' mereka atas embel-embel kawasan hutan yang lagi-lagi belum jelas itu.

Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung sangat mendukung apa yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau terkait Satgas Gabungan Sawit Illegal tadi.

Hanya saja dia berharap, hadirnya Satgas ini tidak justru menjadi momok, tapi sebaliknya musti bisa memberikan edukasi, pencerahan dan solusi terbaik bagi petani maupun korporasi yang diklaim berada pada kawasan hutan tadi.

"Nyaris tidak ada petani sawit yang tidak membeli lahan, semua pakai gadai menggadai dan tidak ada pula korporasi yang tidak menggelontorkan duit untuk membangun kebun. Saya berharap semuanya kita lihat secara objektif dan berkeadilan. Sebab kehadiran kelapa sawit telah sangat memberikan dampak positif bagi ekonomi Riau dan bangsa ini. Dan satu hal yang sangat penting, bangsa ini akan kokoh jika peraturan yang benar dijalankan dengan benar," katanya.

Terkait soal perhutanan soal atau penghutanan kembali, Inpres No 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Kelapa Sawit kata lelaki 47 tahun ini sudah diterbitkan pemerintah. Di Inpres itu jelas-jelas Presiden Jokowi menginstruksikan enam Kementerian supaya berkoloborasi menyelesaikan semua persoalan kelapa sawit, "Termasuk kelapa sawit dalam kawasan tadi," kata Auditor ISPO ini.

Gulat kemudian bertanya, "coba sebutkan satu saja Keputusan Pengadilan yang sudah inkrah yang menyatakan kebun sawit yang dalam kawasan hutan supaya dihutankan kembali, ada enggak kementerian terkait yang sudah melaksanakan putusan inkrah itu?,"

Menghutankan kembali yang sudah bukan hutan kata Gulat butuh waktu paling tidak 40 tahun dan butuh biaya triliunan rupiah, tergantung luas lahan yang dihutankan. "Darimana duit negara menghutankan itu kembali? Atau sebut jugalah di mana lokasi program sawit tumpang sari dengan tanaman kehutanan yang berhasil. Kalau ada, saya mau belajar," katanya.

"Kita musti realistis melihat kenyataan ini, kita jangan mau disetir oleh kepentingan 'bangsa asing'. Presiden sudah lari kencang mendukung sawit Indonesia, baik melalui Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), B30 ke B40 sampai ke B100, kok malah kita berkutak-katik muter-muter disitu-situ saja. B30 sampai ke B100 itu butuh CPO ratusan juta Ton, seharusnya Riau memikirkan mengambil peluang itu, dirikan BUMD, bangun pabrik yang akan memasok kebutuhan unsur nabati (fatty acid methyl ester/FAME) ke PT Pertamina (Persero) dan PT AKR Corporindo untuk mendukung mandatori biodiesel, biar PAD Riau bertambah dan pajak sawit di Riau juga menggulipat naiknya," Gulat memberi saran.

Lalu kata Gulat, hal lain yperludiskusikan adalah bagaimana PKS-PKS di Riau mau patuh kepada standard harga yang sudah ditetapkan tiap pekan oleh tim di Dinas Perkebunan Provinsi. "Lihat saja harga minggu ini yang sudah ditetapkan Dinas Perkebunan Riau , sudah pada angka Rp2.200/kg TBS. Tapi TBS petani sawit masih dihargai Rp900- Rp1.200/Kg TBS. Harga ini belum termasuk potongan 'hantu' di PKS. Ini jelas delik penipuan PKS terhadap petani. Ini yang harus kita ganyang bersama-sama," kata Ketua Terpilih Perhimpunan Bravo 5 Riau ini.


 


Abdul Aziz

 

773