Home Hukum Proyek Kereta Cepat Gusur Paksa 5 Rumah yang Masih Bertahan

Proyek Kereta Cepat Gusur Paksa 5 Rumah yang Masih Bertahan

Bandung Barat, Gatra.com - Sebanyak lima rumah warga di Kampung Hegarmanah, RT 02 RW 04, Desa Sukatani, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat (KBB) digusur paksa PT KCIC untuk digunakan trase kereta cepat Jakarta-Bandung, Jumat (21/2).

Pantauan Gatra.com, ratusan aparat gabungan dari TNI, Polisi, dan Satpol-PP sejak pagi telah berjaga mengawal dua alat berat yang siap meratakan dengan tanah rumah-rumah tersebut.

5 kepala keluarga (KK) yang masih bertahan itu sempat menempelkan beberapa spanduk yang berisi penolakan eksekusi lahan saat alat berat datang ke lokasi. Namun tindakan itu tak menyurutkan niat petugas untuk membongkar rumah warga.

Salah satu warga yang tergusur, Sudana, mengatakan penggusuran tersebut cacat hukum. Pasalnya, dalam surat penetapan konsinyasi Pengadilan Negeri Bale Bandung Kelas IA nomor: 11/Pdt.KONS/2018/PN.Bib sebagai dasar eksekusi lahan tersebut, tidak tercantum lahan miliknya di Desa Sukatani, Kecamatan Ngamprah.

"Desa Rende, Desa Mandalasari, Desa Cempa Mekar, Desa Tagog Apu, Desa Kertamulya, Desa Bojongkoneng dan Desa Cilame dan Desa Gadobangkong. Untuk Desa Sukatani tidak ditujukan untuk dieksekusi. Penggusuran ini sah untuk desa itu, tapi untuk desa Sukatani ini tidak," ucap dia.

5 rumah warga yang digusur tersebut adalah milik Ely, Suroyo, Sudana, Dewi Sutenengsih, dan Suryaningrat. Hingga eksekusi lahan berlangsung warga belum menerima ganti rugi lahan dan bangunan. Padahal, sejak awal rencana pembebasan tanah ini, warga mengaku koperatif setiap kali dipanggil untuk musyawarah.

Sudana menjelaskan, total luas lahan miliknya adalah 240 meter persegi. Adapun luas tanah yang terpakai proyek kereta cepat yaitu 123 meter persegi. Ia mempertanyakan dasar hukum mana yang dipakai perusahaan untuk menggusur lahan miliknya.

"Mereka tidak bisa jawab saat ditanya mengapa dalam surat penetapan Desa Sukatani tidak ada. Mestinya mereka membetulkan dulu penetapan konsinyasinya, bukan malah kami dieksekusi paksa," tuturnya

Warga lainnya, Dadang selaku pemilik lahan rumah Ibu Ely, menilai perusahaan telah melanggar HAM karena melakukan eksekusi tanpa dasar hukum konsinyasinya yang jelas.

Mestinya, kata Dadang, PT KCIC bermusyawarah dulu dengan warga. Ia merasa pemberitahuan eksekusi lahan pun terkesan mendadak.

"Pemberitahuan eksekusi lahan tanggal 19 Februari. Tapi sempat ada keputusan ditunda sampai waktu yang tidak ditemukan. Tiba-tiba hari Rabu, 19 Februari, datang lagi surat eksekusi dilakukan tanggal 21Februari," jelasnya.

Sementara itu, Pengadilan Negeri Bale Bandung mengklaim telah mencantumkan Desa Sukatani sebagai area yang bakal menerima ganti rugi dengan sistem konsinyasi. Lebih jauh, Pengadilan Negeri Bale Bandung mempersilahkan warga menempuh jalur hukum jika keberatan terkait putusan itu.

"Penetapan itu (Konsinyasi) dilihat dari Amar putusan. di sana ada Desa Sukatani. Kalau memang mereka keberatan kan bisa melakukan gugatan. Kita juga sudah tiga kali melakukan pemberitahuan. Beberapa kali memberi kesempatan pada mereka," kata Penitera Pengadilian Bale Bandung, Dendry Purnama, saat ditemui di lokasi.

 

4504