Home Gaya Hidup Sayur Lodeh 7 Warna ala Warga Yogya Kala Pagebluk Corona

Sayur Lodeh 7 Warna ala Warga Yogya Kala Pagebluk Corona

Bantul, Gatra.com - Sejumlah warga Daerah Istimewa Yogyakarta menyiapkan masakan khusus yang dipercaya mampu menangkis bala wabah virus Corona. Masakan berupa sayur lodeh tujuh warna itu dinilai sebagai bagian tradisi masyarakat Jawa menyikapi bencana yang semestinya tak perlu dibumbui hoaks.

Warga memasak sayur tersebut setelah beredar pesan via aplikasi WhatsApp, dua hari ini. Saryanti, 38 tahun, warga Bibis, Bangunjiwo, Kasihan, Bantul, DIY, telah berbelanja bahan-bahan sayur lodeh sejak pagi. “Ini baru matang, masak habis nganter anak sekolah. Siang ini tinggal makan,” ujar dia, Sabtu (21/3).

Menu serupa juga disiapkan Siti Zumaroh, 37 tahun. “Ini saya baru mulai masak, tapi ini tidak pakai kluwih. Soalnya udah kehabisan. Ini masaknya juga pakai (bahan bakar) kayu. Katanya lebih enak,” kata ibu dua anak ini menyebut salah satu bahan sayur.

Yuli, 37 tahun, seorang penjual sayur di Bibis berkata bahwa bahan-bahan sayur lodeh diburu para pelanggannya. Di pasar tradisional, sebagian bahan sayur itu bahkan ludes. “Ini saya sampai tidak kebagian stok kluwih di pasar,” ujarnya.

Ketiga perempuan tersebut menerima pesan untuk memasak sayur lodeh tujuh warna untuk menghadapi pagebluk atau wabah virus Corona. Pesan dalam bahasa Jawa tersebut berbunyi: PAGEBLUG. Wayahe rakyat Mataram nyayur LODEH 7 warna: Kluwih, Cang Gleyor, Terong, Kulit Mlinjo, Waluh, Godong So, Tempe. Mugi SEDAYA tansah widodo nir ing SAMBEKALA.

Artinya: Pagebluk. Saatnya rakyat Mataram membuat sayur lodeh 7 warna: kluwih, kacang panjang, terong, kulit melinjo, labu, daun melinjo muda, tempe. Semoga semua selalu selamat dari bencana.

Pesan tersebut berlanjut dengan menerangkan makna tiap sayur lewat cangkriman atau permainan kata dalam susastra Jawa.

Maknane iki lur... Ojo suudzon musrik nggih..

1.Kluwih : kluwargo luwihono anggone gulowentah gatekne.

2.Cang gleyor : cancangen awakmu. Ojo lungo².

3. Terong : terusno anggone olehe manembah Gusti. Ojo datnyeng, mung Yen iling tok.

4. kulit melinjo : Ojo mung ngerti njobone Ning kudu Reti njerone Babakan pagebluk.

5. Waluh : uwalono ilangono ngeluh gersulo.

6.Godong so : golong gilig donga kumpul wong Sholeh sugeh kaweruh Babakan agama lan pagebluk

7.Tempe : temenana olehe dedepe nyuwun pitulungane Gusti Allah.

Uniknya, permainan kata tersebut cocok dengan tindakan antisipasi virus Corona saat ini. Pesan tersebut punya arti sebagai berikut.

Maknanya ini, saudara. Jangan berprasangka buruk, (dianggap) musyrik (menyekutukan Tuhan) ya.

1.Kluwih: keluarga harus lebih mendapat perhatian lebih

2.Kacang panjang: ikatlah (tahan) dirimu tidak bepergian

3.Terong: teruskan untuk terus ingat Tuhan. Jangan cuma sepintas lalu (kala ada bencana).

4.Kulit melinjo: jangan hanya tahu luarnya, tapi juga paham makna suatu bencana.

5.Waluh: hilangkan keluh kesah

6.Daun melinjo muda: gotong royong, berdoa bersama orang saleh yang banyak ilmu soal agama dan soal bencana.

7.Tempe: bersungguh-sungguhlah meminta pertolongan Tuhan.

Pesan tersebut dilengkapi foto Sultan HB X tengah bertakhta dengan busana kebesaran. Namun pihak humas Pemda DIY telah membantah bahwa pesan tersebut berasal dari Sultan, raja Keraton Yogyakarta sekaligus Gubernur DIY.

Sebelum zaman WhatsApp, pesan memasak sayur lodeh untuk tolak bala juga pernah beredar melalui pesan singkat SMS pada 2005. Kala itu, pesan itu untuk merespons bencana badai di Laut Selatan.

Sultan HB X pun membantah pesan itu sebagai perintahnya. "Membuat sayur lodeh tujuh macam itu bukan perintah saya, tapi kalau masyarakat kemudian mematuhinya ya bagaimana lagi," kata dia ketika itu.

Budayawan Irfan Afifi menilai tindakan warga tersebut bentuk tradisi menyikapi bencana. “Kalau pengetahuan seperti ini adalah pengetahuan tradisi. Ia tidak harus menunggu konfirmasi sains,” ujar Irfan saat dihubungi Gatra.com, Sabtu (21/3).

Warga memasak sayur tujuh rupa secara spontan karena keyakinannya. “Itu cukup diyakini atau tidak, tinggal dipilih. Dengan demikian, dalam kondisi ini, sains tidak lebih tinggi daripada tradisi dan keyakinan,” ujarnya.

Peneliti sejarah Jawa Yoseph Kelik berpendapat bahwa pesan sayur tujuh warna dan maknanya itu bagian dari kebiasaan masyarakat Jawa melakukan otak-atik gatuk atau mencocok-cocokkan segala sesuatu. Masakan sayur lodeh tujuh warna juga tidak memiliki referensi dalam literatur sejarah Jawa.

Namun, kata dia, jika dicermati, pesan tersebut menyimpan kearifan tersendiri dalam menghadapi wabah virus Corona. “Itu makanan yang selain beraneka tentu bisa memberi asupan nutrisi hingga protein. Tentu sedikit banyak ada faedahnya meningkatkan vitalitas tubuh,” ujar dia.

Viralnya pesan itu sehingga warga membuat sayur juga membuat petani sampai pedagang sayur tetap bisa bekerja. “Ekonomi level bawah tetap bergerak juga di masa sulit karena ada permintaan,” kata dia.

Pegiat Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Valentina Sri Wijiyati menyatakan memang ada hal positif di pesan itu. “Aspek baiknya: menambah asupan sayur. Ia baik juga untuk menguatkan daya tahan tubuh di saat pagebluk Covid-19 ini. Daya tahan tubuh vital di situasi ini,” ujar Wiji.

Namun, pesan semacam itu juga patut diwaspadai karena membuat orang percaya kepada hal-hal tidak ilmiah, tidak berbasis bukti, tidak mengandalkan pengetahuan dan olah budi.

“Sikap menyangkal ilmu pengetahuan ini yang berbahaya, terlebih di masa pagebluk Covid-19 ini. Sudah ada bantahan, pranala (link) bantahan (pesan WA) itu perlu dibagi,” ujarnya.

34016