Home Ekonomi Omnibus Law Ciptaker Dinilai Abaikan Keberlanjutan Hutan

Omnibus Law Ciptaker Dinilai Abaikan Keberlanjutan Hutan

Jakarta, Gatra.com - Rancangan Undang-undang Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) disebut berdampak pada kerusakan lingkungan, khususnya terhadap keberlanjutan sumber daya hutan. Hal itu disampaikan oleh akademisi dari Departemen Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Totok Dwi Diantoro dalam diskusi daring bersama Yayasan Madani Berkelanjutan, Rabu (15/4).

Awalnya Totok menjelaskan, rancangan itu sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2020 sejak Januari lalu. Rancangan itu juga menyederhanakan 79 UU, lebih dari 1.200 pasal dan membuat 12 klaster izin berusaha.

Dalam klaster bidang kehutanan, Totok menyebut rancangan itu menyederhanakan perizinan berusaha dan persyaratan investasi yang termaktub pada pasal 27 huruf b. Sedikitnya, ada 20 pasal 20 dari UU No. 41/1999 tentang Kehutanan (UUK) dan 20 pasal dari UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UUP3H) yang diubah maupun dihapus atau dihilangkan oleh RUU Cipta Kerja dengan alasan memuluskan investasi masuk ke dalam negeri.

"Terlepas dari adanya kekurangan pada kedua UU tersebut, dimana memang telah dikoreksi oleh MK (Mahkamah Konstitusi) dalam putusan uji materiil terutama UUK, modifikasi oleh RUU Cipta Kerja sama sekali tidak mengindahkan dan bahkan mengabaikan pertimbangan lain selain narasi investasi atau pertumbuhan ekonomi," kata Totok dalam presentasinya, Rabu (15/4).

Ia melanjutkan, RUU Cipta Kerja tidak lagi memberikan ruang checks and balances di dalam perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan. Rancangan itu juga menghapus batas minimal luas kawasan hutan 30% dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS), pulau, atau luas administratif provinsi. Ini yang menjadi alasan mengapa Omnibus Law Ciptaker dapat merusak keberlanjutan hutan.

Pada pasal 37 butir 4, lanjut Toto, RUU itu tidak mensyaratkan adanya persetujuan DPR dalam penetapan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis. Padahal, ketentuan ini sebelumnya sudah diatur dalam Pasal 19 ayat (2) UUK.

"Begitu juga di dalam penggunaan kawasan hutan, di mana persetujuan DPR tidak lagi diperlukan dalam rangka izin pinjam pakai kawasan hutan, yang menurut RUU Cipta Kerja Pasal 37 butir 14 semata-mata telah menjadi kewenangan Pemerintah. Ini mengubah Pasal 38 ayat (5) UUK," imbuh dia.

Ditiadakannya ukuran batas minimal luas kawasan 30% tanpa ada justifikasi rasional sebagai standar yang baru, justru dilihat Totok sebagai penegasan terhadap eksploitasi sumber daya hutan yang tidak mengindahkan daya dukung lingkungan. Terlebih, ketika dikaitkan dengan alasan untuk proyek strategis nasional.

Totok menyebut, keputusan itu dapat dilihat dalam pasal 37 butir 3 yang sebelumnya hasil penyederhanaan dari pasal 18 ayat 2 dan 3 UUK.

"(Di pasal itu) sekadar menyebutkan bahwa Pemerintah Pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan, termasuk wilayah yang terdapat proyek strategis nasional, sesuai kondisi fisik dan geografis DAS dan/atau pulau," tandasnya.

 

829