Home Kebencanaan Kaji Ulang 'New Normal', Jangan jadi Malapetaka Baru

Kaji Ulang 'New Normal', Jangan jadi Malapetaka Baru

Jakarta, Gatra.com - Direktur Utama Quantum Institute (Quin), Mika Panjaitan, mengingatkan pemerintah harus hati-hati untuk memutuskan penerapan tatanan kehidupan baru (new normal) di sejumlah daerah agar jangan sampai menimbulkan malapetaka baru.

Mika menyampaikan peringatan tersebut, karena menurutnya, angka kasus positif di Tanah Air masih sangat tinggi, yakni mencapai 25.216 kasus.

"Pemerintah harus hati-hati dalam menerapkan new normal karena posisi saat ini terpapar Covid-19 dari hari ke hari masih menunjukkan grafik yang meningkat," ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (31/5).

Menurutnya, penerapan new normal di sejumlah daerah tidak tepat saat angka menunjukkan 25.216 positif, 6.492 sembuh, dan 1.520 orang meninggal. Angka tersebut menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 di Indonesia jauah dari melandai.

"Turun saja belum apalagi landai. Saya tidak bisa membayangkan atau memprediksi kalau kebijakan new normal tidak dievaluasi bisa menimbulkan malapetaka baru. Bahkan bisa muncul korban Covid-19 gelombang jilid II jika tidak tepat pelaksanaanya," ujar Mika.

Pria yang juga pendiri Yayasan Cerdas Merah Putih ini, melanjutkan, penerapan status new normal sebaiknya diberlakukan pada saat penyebaran virus corona jenis baru SARS CoV-2 sudah melandai atau sudah tidak ada yag terpapar, jumlah pasien sembuh meningkat, dan penyebaran virus menurun.

"Baik secara ilmiah, grafik dan data ter-update peningkatan jumlah terpapar Covid-19 terus bergerak naik," kata Mika.

Adapun definisi new normal, lanjut Mika, yakni kehidupan tatanan baru dalam posisi penyebaran Covid-19 melandai, namun bukan berarti virus tersebut hilang sama sekali di muka bumi. Virus ini masih tetap ada seperti virus-virus sebelumnya semisal kolera.

Menurutnya, saat ini penyebaran pandemi Covid-19 belum melandai, bahkan ada fenomena baru ciri-ciri terpapar Covid-19 bukan lagi demam tinggi, batuk, dan badan terasa lemas tetapi orang yang tanpa gejala bisa terkena.

"Saya berharap adakan rapid test secara masif hal ini guna menunjukan jumlah perbandingan jumlah terpapar dan tidak. Amerika [34 ribu orang per 1 juta] diikuti Singapura dan Vietnam sudah berjalan. Di Indonesia masih sedikit yang melakukan rapid test Covid-19 karena kesadaran masyarakatnya rendah," ungkapnya.

Karena itu, Mika mengusulkan agar pemerintah mengkaji ulang rencana penerapan kebijakan new normal di Tanah Air mengingat potensi risiko terjadinya peningkatan kasus poitif.

Mika mengusulkan agar pemerintah memperpanjang masa penerapan Pembatasan Status Sosial Berskala Besar (PSPB) untuk memutus mata rantai penyebaran pandemi Covid-19.

"Risiko new normal sangat berimplikasi terhadap masalah baru pada jumlah korban yang bisa saja lebih besar," ujarnya.

Penanganan pandemi Covid-19, lanjut Mika, memerlukan sinergisme yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah. Ini demi menghindari terjadinya kebijakan ganda atau tidak seiring.

Selain itu, kata Mika, tidak kalah penting juga soal transparansi data jumlah korban Covid-19 dan mapping pada zona hijau, merah, dan kuning karena ini menyangkut anggaran yang tidak sedikit mencapai Rp850 trilliun dari APBN. "Validasi data di Kemensos harus ditata ulang karena tidak akurat," ujarnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan bahwa 4 provinsi dan 25 kabupaten atau kota Indonesia tengah bersiap untuk menerapkan new normal (tatanan kehidupan baru) di tengah-tengah pandemi Covid-19. Kebijakan new normal akan diberlakukan pada 1 Juni 2020 dengan dukungan TNI dan Polri untuk mendisiplinkan warga dalam skema kehidupan baru ini. 

Seperti diketahui, Indonesia sebagai negara yang terendah kelima soal uji ters Covid-19 di antara negara-negara dengan populasi penduduk 50 juta lebih. Indonesia sebagai negara dengan populasi terpadat keempat di dunia, hanya lebih baik dari Ethiopia yakni 16 orang per 1 juta penduduk dan Myanmar 23 orang per 1 juta penduduk.

Apabila dibandingkan dengan negara tetangga, jumlah tes virus corona di Indonesia terpaut sangat jauh. Malaysia telah melakukan 1.717 tes per 1 juta orang, Singapura 11.110 tes per 1 juta orang, Brunei Darussalam 20.218 tes per 1 juta orang, dan Thailand 359 tes per 1 juta orang. Secara keseluruhan, Indonesia menempati peringkat terendah ke-12 negara dengan jumlah tes di dunia.

424