Home Info Sawit PP Kehutanan Diteken, Pakar: Tak Pernah Memihak Rakyat

PP Kehutanan Diteken, Pakar: Tak Pernah Memihak Rakyat

Jakarta, Gatra.com - Presiden Jokowi sudah meneken Peraturan Pemerintah nomor 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.

Pada aturan main setebal 302 halaman yang diteken pada 2 Februari 2021 itu, tak satupun aturan main yang langsung menghormati hak rakyat tanpa syarat, sekalipun rakyat berada pada kawasan hutan yang statusnya masih tahap penunjukan.

Misalnya pada Pasal 24 ayat 1 huruf b-e; bahwa bidang tanah dengan luasan maksimal 5 hektar yang dikuasai secara fisik paling singkat 5 tahun secara terus menerus dan tidak bersengketa, akan diselesaikan dengan 4 pilihan penataan kawasan hutan seperti yang tertera di pasal 23;

Melalui Tanah Objek Reforma Agraria (TORA), Perhutanan Sosial, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan atau Penggunaan Kawasan Hutan.

Kalau ditengok dari sumber pasal ini, besar kemungkinan tanah dimaksud masih dalam kawasan hutan yang masih dalam proses penunjukan.

Sebab di paragraf 6 sebelum pasal 23 disebut bahwa Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan.

Yang membikin lebih celaka lagi adalah pada pasal 24 ayat 4; bahwa kategori penguasaan bidang tanah dalam kawasan hutan sebagai mana disebut pada ayat 1 pasal 24 tadi adalah; sebelum ditunjuk atau setelah ditunjuk menjadi kawasan hutan. Bukan sebelum dan atau setelah ditetapkan.

Kalau bidang tanah itu sudah dikuasai sebelum penunjukan, maka pasal 25 menyebut bahwa tanah itu akan dikeluarkan dari kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan.

Sebaliknya kalau tanah itu dikuasai setelah penunjukan, maka pasal 26 menyebut proses penyelesaian tanah itu musti lebih dulu melalui inventarisasi dan verifiksi setelah itu baru dimunculkan 4 opsi penyelesaian;

Pengeluaran bidang tanah dari kawasan hutan, pelepasan melalui perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, perhutanan sosial, atau penggunaan kawasan hutan.

Empat opsi ini pun musti merujuk pada pasal 28. Di poin a misalnya, kalau tanah itu di kawasan hutan konservasi, maka dilakukan kemitraan konservasi.

Kalau tanah itu di kawasan hutan lindung, syarat lain muncul pula; menengok kecukupan luas kawasan hutan dan tutupan hutan (misalnya syarat tutupan hutan harus 30%) dan tanah itu dipakai untuk apa.

Jika tanah itu dipakai untuk pemukiman dan fasilitas umum (fasum), tutupan hutannya mencukupi tapi masih memenuhi kriteria sebagai kawasan hutan lindung, maka yang bisa dilakukan kepada masyarakat adalah persetujuan penggunaan kawasan hutan.

Tapi kalau tak memenuhi kriteria lagi sebagai kawasan hutan lindung, maka pemukiman dan fasum itu dikeluarkan dari kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan.

Lantas, jika tanah di kawasan hutan lindung itu ternyata dipakai jadi lahan garapan, maka kalau tak memenuhi kriteria hutan lindung, akan dikeluarkan dari kawasan hutan dengan cara melakukan perubahan batas kawasan hutan.

Tapi tunggu dulu, masyarakat yang bisa merasakan seperti ini adalah mereka yang sudah menguasai lahan itu lebih dari 20 tahun.

Yang kurang dari 20 tahun dan lahan itu tidak memenuhi kriteria sebagai hutan lindung, maka akan disetujui jadi perhutanan sosial.

Pola yang sama berlaku untuk mereka yang terjebak di kawasan hutan produksi.

Selanjut di pasal 29, kalau di wilayah perizinan ada pemukiman, maka dilakukan perubahan batas kawasan hutan dengan dua pilihan; penataan permukiman dengan TORA atau penataan permukiman yang langsung dikeluarkan dari kawasan hutan melalui penataan batas tapi tetap memperhatikan fungsi kawasan hutan.

Kalau tak bisa diselesaikan melalui yang dua pilihan tadi, maka penyelesaian dilakukan dengan perhutanan sosial; bermitra dengan pemegang izin berusaha.

Apa yang disebut oleh pasal-pasal di atas jelas-jelas bertentangan dengan pasal 14 dan 15 Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang kehutanan dan ketentuan yang ada pada PP 44 2004 tentang perencanaan kehutanan.

Sebab di dua aturan main itu pada intinya disebut bahwa penunjukan kawasan hutan harus segera dilanjutkan ke pengukuhan kawasan hutan dengan menyelesaikan hak-hak pihak ketiga demi mendapatkan kepastian hukum.

Malah walaupun kawasan hutan itu sudah dikukuhkan tapi masih ada hak-hak pihak ketiga di dalamnya, harus dihormati dan diselesaikan tanpa syarat.

Dan pasal-pasal tadi juga bertentangan dengan Putusan MK nomor 45 tahun 2012 yang menyebut; "Bahwa dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta tindakan berdasarkan freies Ermessen (discretionary powers). Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. 

Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba-tiba, bahkan harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies Ermessen (discretionary powers). Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan.

Lalu bagimana dengan usaha perkebunan kelapa sawit? Pada pasal 60 ayat 1 disebutkan bahwa persetujuan pelepasan kawasan hutan untuk kebun sawit yang telah terbangun dan memiliki perizinan berusaha dalam kawasan hutan sebelum berlakunya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK), diterbitkan pada kawasan hutan produksi dengan ketentuan peraturan perundangan.

Pasal ini bisa saja memiliki makna hutan produksi secara keseluruhan --- Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi Tetap (HP dan Hutan Produksi yang bisa dikonversi (HPK) --- bisa pula tidak.

Yang mendapat persetujuan pelepasan seperti pada Pasal 63 akan dikenai pembayaran Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Terkait perizinan berusaha tadi, pada lembar penjelasan PP 23 2021 dijelaskan makna pasal 60 tadi adalah:

"Perizinan Berusaha" adalah izin usaha yang diberikan kepada Pelaku Usaha sebagai legalitas untuk memulai dan menjalankan usaha dan atau kegiatannya yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dalam bentuk izin lokasi dan atau izin usaha di bidang perkebunan sebelum berlakunya UUCK.

Terus di pasal 95 ayat 1 disebut pula bahwa penggunaan kawasan hutan di luar kegiatan kehutanan tanpa memiliki izin di bidang kehutanan yang dilakukan sebelum UUCK berlaku, dapat diterbitkan persetujuan penggunaan kawasan hutan setelah memenuhi sanksi administrasi sesuai ketentuan perundangan.

"Persetujuan penggunaan kawasan hutan itu termasuk pada kegiatan perkebunan," begitu yang tertulis pada pasal 95 ayat 2 huruf a.

Di pasal 96 dibilang pula bahwa persetujuan penggunaan musti melalui permohonan kepada menteri.

Yang bisa memohonkan persetujuan ini termasuk perorangan, kelompok orang atau masyarakat seperti yang tertera pada pasal 97 ayat 1 huruf d.

Bagi Pakar Hukum Kehutanan, Dr Sadino, apa yang ada dalam PP 23 2021 masih sama saja dengan aturan-aturan sebelumnya yang memang tidak pro rakyat.

"Rakyat enggak pernah dianggap. Yang diperhatikan oleh KLHK itu hanya pelaku usaha yang mau sowan," kata Tim Pakar Hukum Kehutanan, Perkebunan, Lingkungan Hidup dan Pertanahan pada Lembaga Kajian Sumber Daya Alam, Pusaka Kalam di Bogor ini.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum Tanah dan Sumber Daya Alam ini mencontohkan kalau dari dulu tak ada permohonan pelepasan kawasan hutan terhadap rakyat, kelompok tani atau koperasi.

"Rakyat enggak ada slot untuk masuk ke pelepasan itu lantaran persyaratan yang sulit dan biaya mahal," ujar lelaki 55 tahun ini.

Meski PP itu sudah diteken kata Pendiri Kantor Hukum Dr. Sadino & Partner ini, rakyat atau siapapun yang keberatan dengan isi PP itu berhak mengajukan Yudisial Review.

Sayang, hingga berita ini dirilis, Kepala Biro Humas KLHK, Nunu Anugerah belum merespon pertanyaan yang dikirim Gatra.com kemarin, terkait tudingan isi PP maupun tudingan Sadino tadi.


Abdul Aziz

1500