Home Hukum Pakar UGM: 'Bom Waktu' KPK Meledak 7 Bulan Lagi

Pakar UGM: 'Bom Waktu' KPK Meledak 7 Bulan Lagi

Yogyakarta, Gatra.com –Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal menghadapi puncak pemelahannya tahun ini saat UU Nomor 19 Tahun 2019 berlaku penuh. Pemberantasan korupsi saat ini menunjukkan perlawanan para penyidik KPK, bukan wujud kinerja lembaga.

Hal itu disampaikan pakar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar dalam ‘Webinar dan Diskursus Quo Vadis Pemberantasan Korupsi di Indonesia'. Acara daring ini digelar FH UGM yang disiarkan langsung Senin (1/3) dan disaksikan Gatra.com, Rabu (3/3).

“’Bom waktu’ di KPK yang akan terakhir meledak itu di Oktober ini ketika masa transisi UU lama ke UU baru harus selesai dalam dua tahun,” kata Zainal.

UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK diputuskan pada Oktober 2019. Setelah masa transisi dua tahun, UU ini akan berlaku penuh pada Oktober 2021, termasuk upaya pelemahan KPK.

Dengan upaya pemelahan itu, langkah KPK saat ini dalam menjerat pelaku korupsi tak menunjukkan kinerja lembaga. “Pemberantasan korupsi saat ini hanya menunjukkan bahwa masih ada orang-orang di KPK yang masih mau melawan,” kata Zainal.

Apalagi, sesuai UU KPK itu, semua penyidik KPK akan resmi menjadi PNS dengan koordinasi pengawasan (korwas) oleh kepolisian. “Berarti seindependen apapun Novel Baswedan cs akan masuk korwas di kepolisian.

“Padahal kita dulu buat KPK lebih independen dari lembaga-lembaga awal. Pengawasannya di kepolisian, termasuk kinerja mereka ditentukan di sana,” tutur mantan Direktur Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) FH UGM itu.

Padahal, kata Zainal, KPK diciptakan sebagai lembaga independen dari pihak legislatif, eksekutif, dan yudikatif. “Kalau ditaruh di bawah eksekutif, apa bedanya dengan kejaksaan. Bedanya (KPK) hanya di pemilihan melalui proses seleksi,” ujarnya.

Zainal menyatakan KPK telah mengalami domestifikasi atau penjinakan. “Ini terafirmasi dari indeks persepsi korupsi (Indonesia yang turun). Ada loncatan luar biasa sejak KPK ada karena KPK diapresiasi tinggi dan dianggap jadi percontohan di berbagai negara,” tuturnya.

Namun Zainal bilang KPK malah dibonsai. Penangkapan-penangkapan itu karena masih ada orang-orang KPK yang mau melawan. Kalau semua hilang dan disingkirkan dalam sebuah proses alih fungsi ke PNS, saya tidak yakin KPK bisa bertahan,” ujarnya.

Menurut dia, pemberantasan korupsi yang baik itu mencakup tiga level: mengungkap korupsi secara detail dan tak setengah-setengah, mencari semua pelaku, dan membawa ke proses penegakan hukum untuk memberi resep cespleng agar korupsi tak terjadi lagi.

“Sekarang di level 1 saja KPK masih gagap. Kasus (Menteri Sosial) Juliari detailnya kan tidak kelihatan lengkap. Anggtota DPR yang terkait belum (diperiksa), nama hilang di surat dakwaan,” paparnya.

Zainal menyebut banyak pertanyaan soal keseriusan KPK. KPK serius saat penyidikan, tapi lemah saat penuntutan. “Kasus suap komisioner KPU itu uang dari mana tidak jelas, siapa yang memerintah menguap saja. Harun Masiku bahkan hilang. Level 1 saja KPK gagap. Jadi gimana kita anggap KPK berhasil," ujarnya.

Dengan kondisi itu, Zainal menyatakan KPk saat ini hanya sekadar berdenyut. Tapi disuruh lari sprint atau marathon, saya enggak yakin. Hanya berdenyut berdegup, tapi tidak tunjukkan kapasitasnya. Padahal jelang dua tahun UU-nya (berlaku), 6-7 bulan lagi,” tuturnya.

44115