Home Ekonomi Pertarungan Ruang Hidup di Permata Jawa

Pertarungan Ruang Hidup di Permata Jawa

Selama 15 tahun, para petani lahan pasir pesisir Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, terus melawan rencana tambang pasir besi di lahan garapannya, namun perlawanan itu tak kunjung berhasil. Beragam regulasi baru justru menyulitkan upaya mereka mempertahankan lahan bertaninya. Tulisan ini merupakan bagian pertama dari lima tulisan hasil liputan Gatra.com bersama Tim Kolaborasi Liputan Agraria pada Maret – Juli 2021.


Kulonprogo, Gatra.com – Meski peluh bercucuran, dengan cekatan Eko Prihandono (28) kembali menaiki pohon itu. Ia lagi-lagi harus mengikat spanduk besar di antara tiang dan pohon di pinggir jalan kelok S Jalan Daendels, Desa Plered, Panjatan, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kamis 1 April 2021.

Ini aksi kedua petani muda anggota Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo, setelah sekitar satu jam sebelumnya menyiapkan tulisan serupa. Sayangnya, ketika rombongan meninggalkan lokasi, ia mendapat spanduk besar di Desa Pleret itu dicopot seseorang.

“Tidak masalah. Pokoknya semua orang harus tahu kami menolak tambang pasir besi di lahan kami,” kata Kodok, sapaan akrabnya. Ucapan Eko itu tak jauh beda dengan spanduk yang dipasangnya, ‘Bertani atau Mati, Tolak Tambang Pasir Besi’.

Mereka menolak rencana penambangan pasir besi PT Jogja Magasa Iron (JMI). Mereka juga menolak klaim bahwa lahan pasir yang selama ini menghidupi mereka adalah milik Paku Alam Ground (PAG) atau bidang tanah yang diklaim sebagai tanah milik Kadipaten Pakualaman, salah satu dari dua swapraja yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Para petani itu juga menolak pemasangan patok-patok PAG di lahan pasir tempat mereka bertani. Selama 15 tahun, para petani PPLP juga berhadapan dengan orang-orang yang setuju dengan rencana tambang PT JMI. Rencana tambang PT JMI membelah warga pesisir Kulonprogo dalam dua kubu, antara yang setuju dan menolak tambang.

Bukan kali ini saja aksi PPLP menuai respons negatif seperti pencopotan spanduk. Pada aksi sebelumnya di 2019, rute konvoi para petani bahkan harus dialihkan ke jalan desa yang sepi. Tukijo, anggota PPLP, bahkan dibui tiga tahun pada 2011 karena aksi protes ini.

Koordinator lapangan PPLP, Widodo, menjelaskan aksi ini untuk menyurakan kembali penolakan atas proyek pasir besi. “Kami tetap tinggal di sini dan bertani. Kami akan melawan siapapun yang mengganggu ruang hidup kami,” ujar Widodo.

 

Bertani atau menambang

Para petani di pesisir Kapanewon (Kecamatan) Panjatan, Kapanewon Wates, dan Kapanewon Galur Kabupaten Kulonprogo, DIY ini, sudah lama gelisah dengan masa depannya. Lahan pasir di pesisir Kulonprogo adalah lahan yang selama ini memakmurkan mereka. Para petani di pesisir kabupaten berjuluk “The Jewel of Java” atau Permata Jawa itu terkenal sebagai penghasil cabai yang diminati pasar, bahkan sampai dijual ke Batam, Medan, Jambi, Palembang, dan Lampung. Para petani itu juga bercocok tanam semangka, melon, dan sayuran.

Kemakmuran para petani pesisir Kulonprogo itu tak datang seketika. Pesisir yang masuk tiga kecamatan itu dulunya gersang dan tandus. Dulu warga yang bermukim di pesisir Kulonprogo kerap diejek dengan sebutan “wong cubung”, karena begitu miskin dan tak berdaya. Tapi hari ini lahan pasir itu menghijau oleh tanaman cabai, semangka, melon, dan sayuran.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kulonprogo menunjukkan, Kecamatan Panjatan tahun 2020, penghasil tertinggi cabai dari 11 kecamatan lainnya, mencapai 12 ribu ton. Itu menjadi gambaran kemakmuran para petani pesisir Kulonprogo.

Tak mudah bagi para petani untuk melawan rencana penambangan pasir besi PT JMI. Perusahaan itu terafiliasi dengan pembesar Kadipaten Pakualaman, dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan 210 dari total 300 lembar saham PT JMI dikuasai Indo Mine Ltd, sebuah perusahaan tambang asal Australia yang mayoritas sahamnya dimiliki Rajawali Group. Sejumlah 90 lembar saham lain JMI, setara 30 persen, dimiliki oleh PT Jogja Magasa Mining (JMM), sebuah perusahaan tambang lokal di DIY.

Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia merinci siapa saja pemegang saham PT JMM yang jumlahnya mencapai 300 lembar. Dimana 90 dari lembar saham dari total 300 lembar saham PT JMM dikuasai oleh PT Mitra Westindo Utama. Putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Mangkubumi menguasai 75 lembar saham PT JMM. Adik Pakualam X, BRMH Hario Seno juga menguasai 75 lembar saham PT JMM. Sejumlah 50 lembar saham PT JMM lainnya dimiliki oleh kemenakan Sri Sultan Hamengku Buwono X, RM Sumyandharto. Sisanya, 10 lembar saham PT JMM, dimilik oleh Imam Syafii, seorang pengusaha asal Yogyakarta.

Kontrak Karya PT JMI merupakan kontrak karya (KK) terakhir di Indonesia. Lisensi izin tambang hari ini telah berganti nama menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP), mengikuti ketentuan Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009 (kini, UU Minerba Nomor 3 Tahun 2020). Dengan Kontrak Karya yang berlaku hingga 2038 itu, PT JMI berencana membangun peleburan pasir besi berkapasitas produksi 1 juta pig iron per tahun.

Area konsesi PT JMI mencakup Desa Karangwuni, di sisi barat hingga kawasan Pantai Trisik di Banaran, Kecamatan Galur di sisi timur yang juga lokasi pelepasliaran penyu dan permukiman warga relokasi beserta sejumlah tambak.

Adapun lebarnya dari bibir pantai ke arah utara sejauh 2 kilometer, yakni 1,2 kilometer ke Jalan Daendels yang bakal diperluas sebagai jalur jalan lintas selatan (JJLS) hingga 800 meter ke utaranya. Ada enam desa di tiga kecamatan yang masuk dalam wilayah tambang yang ditera Kontrak Karya PT JMI pada 2008. “Wilayah kontrak karya yang kami pegang dari Sungai Serang ke Sungai Progo,” kata staf Community Development PT JMI, Karwa Aziz Purwanto, saat ditemui, medio April 2021.

Potensi tambang pasir besi pesisir Kulonprogo memang menggiurkan. Riset peneliti Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan, Yogyakarta, Indreswari Suroso yang berjudul Karakteristik Pasir Besi dari Pantai Selatan Kulonprogo untuk Material Pesawat Terbang menyebut, kandungan pasir besi di pesisir selatan Kulonprogo amat tinggi, yaitu 76,346 persen.

“Padahal pasirnya hanya di kedalaman empat meter dan terletak 200 meter dari pantai,“ ujar Indreswari saat diwawancarai Tim Kolaborasi Liputan Agraria pada akhir Maret 2021 lalu.

Baca juga: 

Titanium di Pasir DIY Dikembangkan Jadi Bahan Pesawat

Bukan hanya pasir besi lahan pasir itu juga memuat titanium hingga 12,87 persen. “Kandungan titanium ini cocok menjadi bahan dasar pesawat terbang,” ungkap Indreswari.

Dokumen Kontrak Karya PT JMI pun telah menetapkan besaran iuran eksploitasi produksi mineral/royalti untuk empat jenis mineral yang akan didapatkan dari penambangan pasir besi di pesisir Kulonprogo itu. Keempat jenis mineral itu adalah besi (tarif royalti 3 persen), vanadium (tarif royalti 4,5 persen), titanium (tarif royalti 3,5 persen), dan pasir besi (tarif royalti 3,75 persen).

 

Kiriman pasir ke Cina

Para petani yang tergabung di PPLP KP masih ingat, aktivitas PT JMI yang mencolok terjadi di 2012. Saat itu, perusahaan mendirikan pagar beton dan membangun gedung perkantoran PT JMI di Dusun Keboan, Desa Karangwuni. Namun, selepas itu, tidak terdengar lagi kegiatan PT JMI di pesisir selatan Kulon Progo.

Staf Community Development PT JMI, Karwa Aziz Purwanto menjelaskan, hingga kini pengadaan lahan dan aktivitas perusahaannya baru berada di Karangwuni. Pengadaan lahan untuk PT JMI dimulai pada 2011 dengan luas 6 hektar, lalu bertambah 162 hektar pada 2013-2016. Area itu rencananya untuk penambangan perdana dan lokasi pabrik. Penambangan pasir sampel dilakukan pada 2012—yang baru dikirim ke Cina pada 2020.

Pada 2016, PT JMI sempat hendak menggelar groundbreaking yang rencananya dihadiri Presiden RI. Namun tiba-tiba proyek bandara YIA muncul dan dikebut. Di area itu juga dikembangkan pelabuhan Tanjung Adikarto yang hingga kini mangkrak. “Calon pabrik bergeser 1-3 kilometer. Hanya tersisa 54 dari 168 hektar. JMI ngalah dua kali,” ujar dia. Alhasil, sejak 2012, tak ada aktivitas penambangan di area JMI.

Sepi di lapangan, namun di belakang meja justru banyak yang terjadi dalam tubuh PT JMI. Perusahaan itu melakukan restrukturisasi besar-besaran gara-gara pemegang saham terbesarnya, Indo Mine Ltd diambil alih oleh Rajawali Group.

Sejak akhir tahun 2012, Rajawali Group menjadi pemegang saham mayoritas perusahaan tambang berbadan hukum Australia itu, dengan mengantongi 57 persen saham Indo Mines Ltd. Sisa saham lainnya masih dikuasai publik, diperjual-belikan di Bursa Saham Australia. Akan tetapi, sejak 21 Agustus 2018, saham Indo Mines Ltd tak lagi di perdagangkan di bursa (delisted), karena semua saham di pasar telah dibeli Rajawali Group.

Karwa Aziz Purwanto membenarkan bahwa sejak tahun 2019 pihak perusahaan melakukan restrukturisasi. Setelah restrukturisasi itu, JMI menggandeng perusahaan baja Rockcheck Steel Group, yang membuat Karwa yakin penambangan pesisir Kulonprogo akan segera terealisasi. “Project partner-nya sekarang beda. Sekarang dari Cina. Ini agak serius,” kata Karwa.

Menurut paparan JMI ke Pemda, pada 2018 Rajawali berdiskusi dengan Rockcheck Steel Group, perusahaan baja di Tianjin, Cina. Selain melakukan uji material di laboratorium perusahaan itu, bos Rajawali, Peter Sondakh bertandang ke sana, dan bertemu pemimpin Rockcheck. Sayangnya, Juru bicara Rajawali Group, Dina Damayanti, tak merespons permintaan wawancara soal rencana kerja JMI ini.

Medio 2019, gantian para bos Rockcheck bertandang ke PT JMI hingga bertemu Sultan HB X. Dari hasil pertemuan itu, Rockcheck menawarkan teknologi pemurnian besi yang risiko dan biaya operasionalnya lebih rendah. Rockcheck bahkan disebut punya pabrik baja dengan teknologi itu, dan peralatannya dapat direlokasi ke lokasi peleburan JMI.

Direktur JMI Bobby Sandi enggan berbicara banyak soal perkembangan perusahaannya karena masih banyak fokus tugas utama. “Saya sedang sibuk-sibuknya saat ini,” kata dia via pesan singkat.

Soal aktivitas terbaru PT JMI, para petani pesisir Kulonprogo mendengar, pada pertengahan tahun lalu, perusahaan itu telah mengirimkan 30 ribu ton sampel pasir besi ke laboratorium Rockcheck untuk diuji coba. Hasilnya akan mengukur apakah penambangan pasir besi Kulonprogo ekonomis.

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Sugeng Mujianto menyatakan pihaknya masih menunggu hasil uji coba sampel pasir besi PT JMI itu. Sugeng menyebut JMI menunda-nunda penyerahan hasil tes sampel tambang.

“Mereka sudah mundur 2-3 bulan dari janji mereka mau menyerahkan hasil itu. Alasannya pandemi, pelabuhan (di Cina) itu ditutup,” kata Sugeng melalui layanan aplikasi Whatsapp, pertengahan April 2021.

Baca juga:

Hasil Uji Positif, Sultan Yakin Proyek Pasir Besi Berlanjut 

Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X juga belum tahu hasil uji sampel pasir besi JMI di Cina itu. “Katanya (hasilnya) positif, tapi seperti apa, saya belum tahu persis karena lapornya ke Kementerian ESDM,” ujar Sultan.

Pengiriman 30.000 pasir pesisir Kulonprogo itu membuat para petani yang tergabung dalam PPLP KP kembali bersiaga untuk melawan rencana tambang itu. “Siapapun yang menggusur akan tetap kami lawan. Di banyak tempat, perjuangan kami didukung. Mudah-mudahan jaringan PPLP tetap konsisten menyuarakan apa yang kami alami di pesisir Kulon Progo,” kata Widodo.

Ratusan spanduk yang dipasang di semua area yang masuk dalam konsesi tambang PT JMI seperti simbol bahwa para petani itu tak akan diam. “Hari ini kami menunjukkan pada semua orang, semua institusi, yang mau menggebuk dan mengusir kami, bahwa selamanya kami tetap tinggal di sini. Selamanya kami tetap bertani,” ucap Widodo. 


Tulisan ini hasil peliputan Tim Kolaborasi Liputan Agraria yang melibatkan Arif Koes Hernawan (Gatra.com), Lusia Arumingtyas (Mongabay.co.id), Mariyana Ricky PD (SoloPos.com), Soetana Monang Hasibuan (KabarMedan.com), dan Cahyo Purnomo Edi (Merdeka.com).