Home Ekonomi Pesisir Makmur yang Digangsir Tambang

Pesisir Makmur yang Digangsir Tambang

Selama 15 tahun, para petani lahan pasir pesisir Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, terus melawan rencana tambang pasir besi di lahan garapannya, namun perlawanan itu tak kunjung berhasil. Beragam regulasi baru justru menyulitkan upaya mereka mempertahankan lahan bertaninya. Tulisan ini merupakan bagian kedua dari lima tulisan hasil peliputan Gatra.com bersama Tim Kolaborasi Liputan Agraria pada Maret – Juli 2021.


Kulonprogo, Gatra.com - Aneka papan petunjuk warna-warni tentang satwa penyu bertebaran di Pantai Trisik di Desa Banaran, Kecamatan Galur, Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sementara dari selatan, biru-putih ombak samudera tak putus-putus menggempur pantai yang jadi spot pelepasliaran penyu itu. Kendati belakangan sepi karena pandemi, pantai itu tercatat dikunjungi sekitar 8.700 wisatawan setiap tahun dan menyumbang retribusi ke Kulonprogo Rp52 juta per tahun.

Aktivitas wisata boleh berhenti, tapi kerja-kerja menggarap lahan pasir di sana tetap berjalan. Menyusuri arah barat pantai itu, sejumlah warga membuka tambak. Selain itu, rumah-rumah bertipe sama berderet-deret. Hunian itu untuk relokasi—disebut sebagai transmigrasi—warga pegunungan Menoreh, Kulonprogo, yang terancam longsor sejak 2002.

Makin ke barat, rumah-rumah permanen warga dengan ranumnya hasil bumi di pekarangan menggambarkan kondisi ekonomi mereka baik-baik saja. Tanpa memandang asal-usul, warga setempat bertani di kawasan pesisir itu dengan mengolah lahan yang berupa pasir.

Gepeng, demikian seorang petani di pantai Trisik mengenalkan diri. Ia bercocok tanam cabai, komoditas yang jadi andalan kawasan itu. Ia menggarap lahan pasir seribu meter persegi di pesisir selatan itu. “Masa panennya bisa dua kali setahun,” ujar dia Selasa, 15 Juni.

Tiap masa panen, ia bisa memperoleh dua kuintal cabai selama sepekan. Harga cabai merah keriting kini sekitar Rp6.000 per kilogram. Walhasil, panenan itu lebih dari cukup untuk menghidupi istri dan dua anaknya seperti kebanyakan petani pesisir. “Masyarakat sini semua maju dari pertanian,” kata dia.

Di Desa Karangsewu, Tim Kolaborasi Liputan Agraria bertemu dengan Tukijo (54). Sejak 1987, ia juga menanam cabai hingga kini mengelola sekitar 2.600 meter persegi. “Panen cabai di lahan pasir bisa dapat lebih banyak. Jika di lahan biasa dapat dipetik cuma delapan kali satu musim, ini bisa dipetik 15-20 kali,” tutur Tukijo.

Ia mencontohkan, satu ton cabai dapat diperoleh dalam sekali petik pada masa puncak panen. Setelah ditanam selama 70 hari, cabai dapat dipanen untuk pertama kali. Setelah itu, setiap lima hari cabai berbuah dan siap dituai lagi. “Sekarang satu kilogramnya dihargai Rp30 ribu untuk cabai keriting dan Rp90 ribu untuk cabai rawit,” kata dia, Maret lalu.

Cabai lahan pasir Kulonprogo dijual hingga ke Lampung, Jambi, Medan, dan Batam di Pulau Sumatera. “Mereka bilang cabai sini kualitasnya bagus. Tidak cepat busuk,” katanya.

Baca juga:

Kian Produktif, Petani Cabe Lahan Pasir Gunakan Energi Surya

Sebelum dijual ke berbagai daerah, para petani mengumpulkan hasil bumi itu pengepul. Di Desa Garongan contohnya, persis di pinggir Jalan Daendels, ‘Warung Pesisir’ yang dikelola Widodo menjadi pool hasil panen petani sekitar.

Alhasil, saban sore, gunungan cabai dan sayur-sayuran hasil setoran para petani memenuhi teras depan rumahnya. Penjual lintas wilayah pun kulakan dari pool sayuran ini, seperti Dukoni (40) warga Pandak, Bantul. Ia mengisi mobil pikapnya dengan hasil bumi itu: cabai, kangkung, terong. “Dari sini, sayur-sayuran ini memasok pasar di Kota Yogyakarta,” kata bapak dua anak ini.

Buku Menanam Adalah Melawan menceritakan sosok Sukarman, petani yang mengawali penggunaan lahan pasir untuk bercocok tanam cabai . Pelopor petani cabai di “gurun” pesisir selatan itu melakukan inovasi dengan sumur brunjung pada 1980-an. Di lahan pasir yang akan ditanami cabai, Sukarman membuat sumur yang dipasangi brunjung, berupa anyaman dari bambu, kemudian dilapisi plastik.

Sumur brunjung berfungsi sebagai sumber dan penampung air untuk menyirami tanaman cabai. Meski mendapatkan cemoohan, dalam kurun 70 hari Sukarman berhasil memanen cabai. Keberhasilan Sukarman mengolah lahan pasir pada 1985 menjadi santer di masyarakat Kulonprogo, terutama warga pemukim di selatan Jalan Daendels.

Inovasi Sukarman sampai kini diterapkan para petani lahan pasir di sana. Di tiap lahan pasir pertanian, ada sumur. Bedanya, kini sumur bukan lagi dilapisi brunjung, melainkan pipa (sumur bor), dan memanfaatkan mesin diesel (jetpump), listrik PLN juga memakai tenaga surya, untuk mengalirkan air sumur.

Pesisir selatan yang dulu gersang dan tandus, kini menghijau karena pertanian. Kecamatan Panjatan, Wates dan Galur yang masuk areal konsesi tambang pasir besi, dikenal penghasil cabai, semangka, melon dan varietas hortikultura lainnya.

Produktifnya lahan pasir pesisir juga terlihat di Desa Karangwuni. Desa di sisi paling barat area kontrak karya ini kini menjadi lokasi pabrik dan uji coba tambang PT  Jogja Magasa Iron (JMI) setelah proyek pilotnya di Trisik ditolak.

Pemandangan asri itu berbeda jauh dengan ingatan Pj Lurah Karangwuni, Dwi Purwanta. Ia mengenang masa pada 1970-an, ketika lahan pasir pesisir disana tak dapat ditanami. Gersang dan tandus. Begitu miskinnya, sehingga Dwi dan para warga yang bermukim di pesisir kerap diolok-olok warga lainnya sebagai wong cubung.

“Dulu saya waktu kecil, yang namanya Karangwuni itu jadi olok-olokan orang utara (daratan, kota). Kasarannya, wong cubung, ra ngerti opo-opo. Sekarang (warga utara) kalah (makmur). Wong (orang) pesisiran bisa beli mobil, motor. (Sementara) wong lor (utara malah harus) utang bank untuk beli motor. Pasir sulit diolah, tapi hasilnya maksimal. Warga malah malas pindah dari pesisir,” tutur dia.

Kemakmuran para petani pesisir Kulonprogo itu tergambar dalam data Badan Pusat Statistik dalam ‘Kulonprogo dalam Angka 2021’ menunjukkan selama empat tahun, 2017-2020, cabai menjadi jenis sayuran dengan hasil terbanyak dan terus meningkat. Panen cabai di Kulonprogo mencapai 37 ribu ton. Dari jumlah itu, hasil tertinggi dari Kecamatan Panjatan 14 ribu ton, disusul Wates 7 ribu ton, dan Galur 5 ribu ton—tiga kecamatan yang masuk lokasi klaim PAG dan terdampak kontrak karya JMI.

Lahan panen untuk cabai mencapai 3.706 hektar, yang tiga kecamatan dengan luasan terbesar adalah juga Panjatan 1.101 hektar, Wates 775 hektar, dan Galur 536 hektar. Tanpa detail jenis lokasi tanamnya, hasil tersebut tentu saja termasuk sumbangsih cabai-cabai di lahan pasir pesisir selatan.

Jika Sukarman piawai berinovasi menyulap lahan pasir gersang menjadi kebun subur, ada lagi petani bernama Sudiro yang terampil menghindari permainan harga dari tengkulak. Sejak tahun 2004, Sudiro mempelopori pasar lelang cabai pada 2004. Sebagaimana dikutip dari buku Menanam Adalah Melawan, penawar tertinggi adalah yang berhak membeli semua cabai dari petani. Kini pasar lelang kelompok petani pantai pesisir selatan berjumlah 23 unit.

Tak hanya pandai bertani di lahan yang sulit, para petani pesisir Kulonprogo juga berdaya membangun posisi tawar terhadap pasar. Tak heran, jika petani cabai di pesisir Kulonprogo makmur. Tukijo kini mengendarai sepeda motor Yamaha NMAX seharga 30-an juta rupiah. “Lewat pertanian saja sudah sejahtera. Ketika ini ditambang, banyak sekali orang-orang yang dirugikan,” ucap Tukijo.

Istri Tukijo, Suratinem turut menimpali, “Petani kalau berhasil terus, kaya. Apalagi harga cabai mahal”.

Melawan sejak awal

Lahan pasir pertanian yang merupakan warisan mbah dari trah istri Gepeng itu, terancam ‘hilang’ dengan adanya rencana penambangan pasir besi PTJMI. Area tambang yang tertera dalam Kontrak Karya PT JMI seluas 2.977 hektar, dan membentang di enam desa di pesisir Kulonprogo—meliputi Desa Karangwuni (Kecamatan Wates), Desa Bugel, Garongan dan Pleret (Kecamatan Panjatan), serta Desa Karangsewu dan Banaran (Kecamatan Galur).

Jauh hari sebelum PT JMI mengantongi Kontrak Karya, para petani seperti Widodo, Tukijo, dan Gepeng tahu bahwa kemakmuran lahan pasir mereka terancam rencana penambangan pasir besi di sana. Mereka juga tahu, mereka harus yang melawan para kerabat Sri Sultan Hamengkubowono X yang notabene adalah Gubernur DIY, dan kerabat Pakualam X yang notabene adalah Wakil Gubernur DIY.

Baca juga:

Melawan 15 Tahun, Petani Kulonprogo Tolak Tambang Pasir Besi

Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan 210 dari total 300 lembar saham PT JMI dikuasai Indo Mine Ltd, sebuah perusahaan tambang asal Australia yang mayoritas sahamnya dimiliki Rajawali Group. Sejumlah 90 lembar saham lain JMI, setara 30 persen, dimiliki oleh PT Jogja Magasa Mining (JMM), sebuah perusahaan tambang lokal di DIY.

Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang diakses pada Maret lalu, merinci siapa saja pemegang saham PT JMM yang jumlah mencapai 300 lembar. Sejumlah 90 dari total 300 lembar saham PT JMM dikuasai oleh PT Mitra Westindo Utama. Putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Mangkubumi menguasai 75 lembar saham PT JMM. Adik Pakualam X, BRMH Hario Seno juga menguasai 75 lembar saham PT JMM. Sejumlah 50 lembar saham PT JMM lainnya dimiliki oleh kemenakan Sri Sultan Hamengku Buwono X, RM Sumyandharto. Sisanya, 10 lembar saham PT JMM, dimilik oleh Imam Syafii, seorang pengusaha asal Yogyakarta.

Maka, pada 1 April 2006 mereka mendirikan Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulonprogo. Pada 2007, beberapa kali PPLP KP menggelar demonstrasi dengan menggeruduk Pemerintah Kabupaten Kulonprogo dan DPRD Kulonprogo pada 2007. Akhirnya, Bupati dan Ketua DPRD Kulonprogo meneken pernyataan menolak tambang pasir besi di pesisir selatan.

Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) juga jadi sasaran unjuk rasa PPLP KP pada pertengahan 2008, lantaran Fakultas Kehutanan UGM terlibat dalam penelitian dampak kerusakan lingkungan penambangan pasir besi di pesisir Kulonprogo. Akhirnya, UGM pun menghentikan kerja sama itu.

Baca juga:

Pertarungan Ruang Hidup di Permata Jawa

Di tengah gencarnya aksi PPLP KP menolak tambang pasir besi itu, segerombolan orang menyerang basis petani PPLP KP Desa Garongan di Kecamatan Panjatan dan Desa Karangwuni di Kecamatan Wates pada 27 Oktober 2008. Ironisnya, delapan hari setelah serangan itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Purnomo Yusgiantoro malah menandatangani Kontrak Karya (KK) tambang pasir besi PT JMI pada 4 November 2008.


Tulisan ini hasil peliputan Tim Kolaborasi Liputan Agraria yang melibatkan Arif Koes Hernawan (Gatra.com), Lusia Arumingtyas (Mongabay.co.id), Mariyana Ricky PD (SoloPos.com), dan Soetana Monang Hasibuan (KabarMedan.com), dan Cahyo Purnomo Edi (Merdeka.com).