Home Seni |#ac58dc Sumur Tanpa Dasar Ala Titimangsa, Usaha Keras Meningkatkan Minat Berteater

Sumur Tanpa Dasar Ala Titimangsa, Usaha Keras Meningkatkan Minat Berteater

 

Jakarta, Gatra.com - Teater pikiran, begitu banyak orang menjuluki lakon "Sumur Tanpa Dasar" karya Arifin C. Noer. Jumena Martawangsa, sang tokoh utama lakon, adalah satu dari sedikit sekali tokoh lakon naskah teater di Indonesia yang namanya begitu dikenal di kalangan pecinta teater.

 

Lakon ini bukan lakon realistis. Lakon ini bermain antara dunia nyata dan dunia pikiran, sesuatu yang seterusnya mewarnai karya-karya Arifin C. Noer kendati bentuk lakonnya jauh berbeda.

Latar tempatnya, dalam petunjuk pengarang di naskah lakon ini adalah, "di rumah, dalam pikiran Jumena Martawangsa, atau di mana saja."

Lakon ini berkisah tentang Jumena si tuan tanah pemilik pabrik. Di usia tuanya, ia memandang maut seakan sebagai tantangan permainan akhir. Ia berdebat, bertengkar, bahkan saling mengejek dengan sang malaikat maut.

Jumena juga dikisahkan memiliki istri bernama Euis. Perempuan muda yang penuh gairah.

Bukannya bersyukur, Jumena malah menampik dan memojokkannya terus menerus. Di tengah situasi itu, Euis diam-diam bercumbu dengan selingkuhannya, Juki, adik dari Jumena.

Kelas Akting Titimangsa Foundation menggelar resital teater semi dramatic reading di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, kamis (18/10). Dalam pagelaran ini, mereka -seperti pernah dilakukan banyak grup teater lain- mengangkat lakon "Sumur Tanpa Dasar" dalam pertunjukannya.

Gelaran ini dikatakan muncul sebagai wadah pembuktian kemampuan berakting dari peserta kelas akting Titimangsa.

"Para pemain berlatar belakang berbagai profesi, tetapi seluruh peserta terlihat sangat mencintai dunia teater dan ingin belajar dan terlibat pada seni teater," kata pendiri Titimangsa Foundation sekaligus produser di pementasan ini, Happy Salma.

Peserta kelas akting ini terdiri mulai dari pelajar, ibu rumah tangga, karyawan swasta, perancang busana, public figure, penyanyi, model, hingga pengusaha cafe.

Titimangsa menggembleng mereka secara serius selama kurang lebih tiga jam setiap hari Sabtu dan Minggu, sejak 7 Juli hingga 16 September 2018.

"Dengan semakin banyak orang yang tertarik untuk berlatih akting teater, maka saya percaya industri teater tidak akan punah dan akan diteruskan ke generasi berikutnya," kata Happy.

Memerankan lakon "Sumur Tanpa Dasar" memang jadi sebuah tantangan tersendiri. Apalagi untuk mereka yang baru terjun ke dunia teater dalam beberapa bulan.

Tokoh Jumena, contohnya, yang hadir secara dominan dalam suatu lakon, dengan dialog-dialog panjang dan perubahan-perubahan peristiwa juga emosi yang cukup kaya, sangat menantang sisi keaktoran.

Seperti lakonnya, Ia juga bukan tokoh yang realistis. Dia seorang bajingan kaya raya yang pelit luar biasa, penindas kejam, bahkan boleh juga disebut sebagai tua bangka tak tahu diuntung.

Arifin, saat membuat lakon "Sumur Tanpa Dasar" konon meniatkannya sebagai lakon kontemplasi antara iman dan eksistensi, tetapi juga ditaburi konflik sosial antara buruh majikan, keserakahan orang kaya dengan penderitaan orang miskin, pertentangan antara kaum borjuis dengan agamawan.

Dengan segala hal macam ini, mementaskan lakon "Sumur Tanpa Dasar" bagi peserta kelas akting yang baru saja terjun ke dunia teater, rasa-rasanya menjadi muskil.

Dan benar saja, saat pementasan berlangsung, di beberapa adegan muncul slip tongue dalam dialog si aktor yang terasa begitu mengganggu. Kemudian, beberapa adegan yang seharusnya bisa lebih mencengkeram malah terasa hampa.

Ambil contoh yang paling terasa sejak awal, pada kalimat pembuka, "kalau saya bunuh diri, sandiwara ini tidak akan pernah ada," seharusnya -jika merujuk pada pertunjukkan Teater Ketjil tahun 1988 yang disutradarai Arifin C. Noer sendiri- meledakkan tawa penonton.

Di pertunjukan kali ini, sayang sekali, momen tersebut lewat begitu saja seakan tanpa arti.

Namun, sebagai usaha untuk meningkatkan minat berteater, pertunjukan tersebut tetap patut diapresiasi.

Bagaimana pun, ini adalah salah satu ikhtiar untuk menjaga keberlangsungan seni peran, khususnya teater, agar tidak cepat punah.

Seperti yang dikatakan oleh Happy Salma, "Kebesaran nama Arifin C Noer ini pula yang ingin kami apresiasikan dalam bentuk teater yang dibawakan bukan oleh pekerja teater namun masyarakat awam, sehingga menjadi sebuah pertunjukan yang istimewa bagi saya."


Hidayat Adhiningrat P

508

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR