Home Politik Aneh, Hakim Membebaskan Pelaku Perkosaan Terhadap Anak

Aneh, Hakim Membebaskan Pelaku Perkosaan Terhadap Anak

Jakarta, Gatra.com – Kakak beradik Joni (14) dan Jeni (7), keduanya bukan nama sebenarnya, menjadi korban kejahatan seksual. Pelaku merupakan orang dekat korban, yakni tetangga mereka sendiri di kawasan Cibinong yakni HI (41). Anehnya, meski di pengadilan HI mengakui perbuatannya, ia malah dibebaskan oleh hakim.

Koordinator pelayanan hukum LBH APIK sekaligus kuasa hukum korban, Uli Pangaribuan, menceritakan saat konferensi pers di kantor LBH APIK, Jakarta Timur pada Senin (22/4) bahwa kekerasan yang seksual yang menimpa Joni dan Jeni sudah terjadi secara berulang ulang, Jeni sudah mengalami kekerasan seksual sejak berusia 4 tahun sedangkan Joni sejak masih 12 tahun.

HI merupakan orang yang sudah tidak asing lagi bagi Jeni dan Joni, selain ia adalah tetangga mereka. HI juga ayah dari teman bermain Jeni, sehingga Jeni sering bermain ke rumah pelaku.

Jeni diperkosa HI saat Jeni sedang bermain di rumah HI. Setelah pulang ibu korban sempat melihat ada kejanggalan pada anaknya. “Ibunya melihat ada yang aneh dari cara berpakaian anaknya, seprti celananya terbalik, bajunya terbalik,” ujar Uli.

Sama halnya dengan Jeni, Joni juga menjadi korban kekerasan seksual dari pelaku yang sama, berkali-kali, ia disodomi oleh HI hingga trakhir pada Mei 2018. Joni merupakan disabilitas. “Sekedar informasi, Joni ini salah satu anak yang mengalami disabilitas, dia 12 tahun tapi intelejensianya bukan seperti 12 tahun,” ujar Uli.

Kemudian oleh orang tua Joni dan Jeni kasus ini dibawa ke Pengadilan Negeri Cibinong, Jawa Barat. Setelah melalu proses persidangan. HI dituntut oleh jaksa penuntut umum dengan hukuman 14 tahun penjara. Namun hakim yang memiliki pertimbangan lain memvonis pelaku bebas pada 25 Maret 2019.

Keputusan hakim yang bernama Muhammad Ali Askandar yang memutus bebas itu kemudian dianggap sebagai keputusan yang aneh. Pertimbangan hakim memutus bebas karena menurut hakim tidak ada saksi yang melihat pelaku melakukan kekerasan seksual kepada korban. Padahal sudah ada bukti visum dan pengakuan dari pelaku.

Keluarga korban kemudian melapor ke berbagai lembaga, salah satunya LBH APIK. Uli kemudian menceritakan bahwa selama korban menjalani proses hukum tidak mendapatkan pendampingan apapun. “Pada saat memberikan keterangan bahkan orang tua korban itu tidak boleh mendampingi Joni dan Jeni, sehingga Joni dan Jeni hanya mewakili dirinya sendiri saat di persidangan, sementara pelaku itu didampingii oleh dua orang pengacara,” tambahnya.

Hal diatas juga diamini oleh Meyriza Violyta, dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MAPPI) FH UI. “Padahal didalam UU perlindungan anak, anak yang menjadi korban wajib didampingi pada saat proses persidangan,” kata Meyriza

Uli menambahkan bahwa keluarga korban awalnya didampingi oleh pengacara tapi entah mengapa pengacara mundur tanpa memberikan informasi apapun mengenai mundurnya pengacara. Sehingga dengan begitu pengacaranya tidak bisa mendampingi dengan maksimal dan tidak sampai proses di persidangan. “Korban juga diminta biaya untuk membayar pengacara, dan keluarga korban sendiri secara ekonomi tidak mapan sehingga sulit untuk memenuhi permintaan pengacara tersebut,” kata Uli.

Maka dari itu keluarga korban berjuang sendiri sampai proses persidangan itu terjadi. Korban akhirnya sendirian menceritakan sendirian apa yang mereka alami.

Keanehan lainnya adalah proses persidangan yang hanya dilakukan oleh satu orang hakim. Sementara yang menandatangani kasus ini ada tiga. “Padahal ini bukan perkara SPPA, ini pelakunya orang dewasa, korbannya anak, seharusnya ini tetap diadili oleh tiga hakim tapi dari awal sampai dijatuhkannya vonis yang ngaco itu, yang bebas dari dakwaan penuntut umum itu cuma satu hakim saja yang periksa,” ujar Meyriza.

Saat ini kasus ini sudah berlanjut dengan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum ke Mahkamah Agung. Dian Bintari, jaksa yang menangani kasus ini telah memasukkan permohonan kasasi pada Senin (22/4) kemarin.

“Dasarnya kasasi saya tuntutan 14 tahun tapi malah bebas, sementara terdakwa mengaku,” ujar Dian.

Meski sudah memasukan kasasi ke MA, namun Dian tidak bisa memastikan kapan permohonan kasasi akan diterima atau tidak.

Korban sendiri saat ini berada di rumah. Kondisi rumah korban sangat dekat dengan rumah pelaku. Uli mengatakan bahwa lingkungan warga sekitar rumah korban dan pelaku juga sudah mengetahui kejadian tersebut. Sehingga bisa memunculkan ketidaknyamanan korban dan keluarga tinggal disana.

LBH APIK juga mengupayakan untuk merujuk agar anak-anak mendapatkan pemulihan dengan cepat secara psikologis. “Mungkin bisa dilakukan oleh LPSK karena keluarga sudah melaporkan ke LPSK atau juga melalui rujukan kami ke Yayasan Pulih,” kata Uli

 

494