Home Gaya Hidup Alternatif Ramah Lingkungan, Kayu Bisa Digunakan Sebagai Bahan Dasar Pakaian

Alternatif Ramah Lingkungan, Kayu Bisa Digunakan Sebagai Bahan Dasar Pakaian

Jakarta, Gatra.com - Penggunaan bahan sintetis untuk pakaian, seperti polyster, spandex dan lainnya, masih sangat tinggi di industri 'fashion'. Produsen serat alami asal Austria, Lenzing memaparkan penelitian yang menyebut bahwa penggunaan bahan sintetis di dunia mencapai 64%.

Sementara kedua disusul oleh katun sebesar 24%. Sedangkan sisanya bahan alami seperti kayu, hanya 6%. 

Maraknya penggunaan bahan sintetis di industri fashion tak terlepas dari keuntungan yang diperoleh para pelaku industri. Sebab selain murah, bahan ini mudah dibuat dan didapatkan.

Namun bahayanya, bahan ini tak mudah terurai jika sudah tak terpakai. Butuh waktu antara 200-250 tahun untuk mengurainya meski sudah dikubur atau disatukan dengan tanah. 

Hal tersebut tentu menimbulkan masalah baru. Yang perlu diingat, proses produksi bahan tersebut memakan banyak energi dan menimbulkan polusi.

Belum lagi cairan limbah pascaproduksi yang dibuang sangat berpotensi merusak lingkungan sebab mengandung senyawa kimia yang berbahaya.

Selain itu, pakaian yang sudah tak terpakai akan menumpuk dan menyesakkan lingkungan. Jika tetap dikubur, maka kandungan bahan tersebut bakal meresap ke air tanah yang lagi-lagi merusak lingkungan hingga timbul penyakit baru.

Perusahaan Lenzing sendiri sudah meninggalkan jejak kelam yang kerap dilakukan industri pakaian. Perusahaan yang sudah berdiri sejak 1938 di Austria ini mempromosikan industri mode berkelanjutan di Indonesia, yakni dengan menggunakan kayu sebagai bahan dasar produknya.

Kepala Komersial Lenzing SEA, Winston A. Mulyadi memaparkan proses pengolahan produknya. Bahan dasar kayu itu Lenzing ambil dari hutan yang sudah tersertifikasi Forest Stewardship Council (FSC) , kayu yang memang diperuntukkan khusus pemakaian industri.

"Jadi bukan kayu dari illegal logging, bukan kayu yang dilindungi, atau dari pihak yang tidak bertanggung jawab," jelas Winston dalam sesi diskusi '#MakeItFeelRight through Sustainable Fashion' di ESMOD Jakarta Fashion Design and Business School, Cipete, Jakarta Selatan, Rabu (24/4).

Kayu tersebut diproses lebih lanjut menjadi pulp. Untuk pabrik Lenzing di Indonesia, pengolahan dimulai bukan dari pengambilan kayu, namun dari pengolahan pulp ini.

Setelah diolah, pulp dijadikan serat fiber. Fiber inilah yang menjadi kunci 'substainable fashion', sebab bisa terurai dalam waktu 22 minggu jika sudah terkubur di tanah.

Proses Lenzing berhenti sampai pengolahan fiber. Perusahaan ini harus menggaet perusahaan lain untuk kemudian mengolahnya menjadi benang hingga kain atau pakaian jadi.

Soal pengolahan limbah, Winston menyebut pihaknya menyalurkan air limbah ke Citarum, namun kandungan air itu sudah bebas dari cairan kimia.

"Kami juga ikut program 'Citarum Harum', membantu menyukseskan program dari pemerintah," papar Winston. Selain limbah cair, Winston menyebut pihaknya juga bertanggung jawab penuh terhadap kualitas udara di sekitar kawasan industrinya. 

Tanggung jawab Lenzing tak berhenti sampai di situ. Pihaknya juga memberikan program Corporate Social Responsibility (CSR) dengan memberikan palet kayu impor sisa produksi kepada warga sekitar kawasan industri yang selanjutnya diolah dan dijual warga sendiri.

Winston menambahkan, pihaknya juga gencar mengampanyekan 'sustainable fashion' melalui program #MakeItFeelRight. Dalam program tersebut, Lenzing mengedukasi soal alternatif bahan dasar pakaian yang ramah lingkungan.

Selain ESMOD Jakarta, ia pernah keliling di beberapa kampus Indonesia untuk mengadakan seminar atau diskusi, satu di antaranya Institut Teknologi Bandung.

Sebagai informasi, perusahaan ini sudah berdiri di Indonesia sejak 1983 dan memiliki delapan pabrik di dunia, satu di antaranya terletak di Purwakarta.

Produk-produk yang dihasilkan tak hanya pakaian, namun juga kebutuhan rumah tangga sepert sprei hingga alat kecantikan, seperti masker hingga tissu basah.

Lenzing mungkin menjadi satu di antara perusahaan yang sudah 'melek' lingkungan. Langkah ini tentu patut diikuti oleh industri pakaian lain yang masih menggunakan sintetis sebagai bahan dasar produknya.

1895