Home Gaya Hidup Tren 'Fast Fashion' Ancam Pekerja Garmen

Tren 'Fast Fashion' Ancam Pekerja Garmen

Jakarta, Gatra.com - Gerakan 'sustainable fashion' yang marak digaungkan para aktivis lingkungan sekaligus pelaku industri pakaian tak lepas dari kisah pilu di Bangladesh pada 24 April 2013 silam.

Rana Plaza, ruko yang terdiri dari kompleks pabrik, bank, toko, dan apartemen 8 lantai itu ambruk hingga menewaskan sedikitnya 1.136 orang. Penyebabnya adalah kealpaan pemilik gedung terhadap kondisi bangunan yang sudah retak, namun membiarkan kegiatan produksi tetap berjalan.

Sebelum tragedi Rana Plaza, Bangladesh sebenarnya sudah menorehkan catatan miris soal keselamatan kerja. Reuters membeberkan ada 11 kecelakaan kerja industri di Bangladesh dalam kurun waktu 2006-2011, 8 di antaranya berasal dari pabrik tekstil.

Kecelakaan kerja di Bangladesh mendapat sorotan internasional. Tak hanya kondisi gedung yang jauh dari kata layak, persoalan lain seperti jam kerja hingga upah pun mencuat.

Bangladesh dilaporkan sebagai 'pencetak' buruh murah. Karyawan tekstilnya digaji sekitar 5.300 taka, atau jika dikonversikan hanya Rp889.658 dalam sebulan. Upah yang minim itu menjadi sasaran empuk perusahaan fasyen besar dunia untuk mendapatkan barang dan tentu saja, keuntungan.

Bangladesh sendiri tercatat sebagai eksportir tekstil terbesar kedua setelah China. Beragam busana terkemuka diproduksi di sana, sebut saja Wal Mart, H&M, Mango, hingga GAP. Pemasukan dari perusahaan barat itu bisa mencapai $30 miliar.

Sejak tragedi Rana Plaza, dukungan soal 'sustainable fashion' mengalir dari penjuru dunia. Hal itu disampaikan oleh pengajar di sekolah fashion internasional ESMOD Jakarta, Tatang Khalid Mawardi.

"Orang awam mendefinisikan sustainable fashion sebagai produk yang ramah lingkungan. Padahal bukan hanya ramah lingkungan, tapi etika kerja, kultur, kearifan lokal itu semua dibahas," jelas Tatang saat ditemui selepas acara diskusi '#MakeItFeelRight through Sustainable Fashion' di ESMOD Jakarta, Cipete, Jakarta Selatan, Rabu (24/4).

Tatang menjelaskan, setelah tragedi Rana Plaza banyak penggiat busana yang konsen terhadap isu lingkungan untuk membuat produk yang ramah. Tatang menyebut, golongan ini termasuk desainer yang masih memegang teguh idealismenya. "Mereka tak hanya produksi, tapi marketing, mengedukasi konsumen juga. Ada tanggung jawab di situ," ujarnya.

Tatang menjelaskan sedikitnya ada dua 'aliran' dalam industri fesyen, yakni slow fashion dan fast fashion. "Kalau slow fashion, mereka (produsen) sudah sangat konsen dengan yang namanya sustainability material. Kalau yang fast fashion, kayak Uniqlo dan H&M dia punya Code of Conduct (CoC) pada saat bikin pakaian. Tapi pengaplikasiannya kadang enggak sesuai," beber pria kelahiran Bandung ini.

Fast fashion memaksa para buruh untuk bekerja menghasilkan banyak dan cepat, sebab perusahaan ini menargetkan busana siap pakai dengan konsep pergantian mode yang cepat. Biasanya, mode akan berganti dalam hitungan minggu.

Tatang menyebut, konsep fast fashion sebagai sarang masalah di industri garmen. Masalah yang kerap dialami para buruh ini cukup banyak, mulai dari jam kerja, upah yang pas-pasan, sulitnya mendapat cuti haid atau pengurangan cuti hamil hingga kondisi tempat kerja yang kurang baik.

"Selama ini [pabrik] Pantura isinya itu semua. Cirebon, Semarang, Ungaran. Itu [yang bayar] brand besar, tapi lihat pabriknya, lihat jam kerjanya bagaimana. Di pabrik [kerjanya] lebih padat, apalagi yang perempuan," ungkap Tatang.

Dengan carut marut tersebut, pria yang sudah 10 tahun berkecimpung di dunia tekstil ini menilai peranan pemerintah juga penting sebagai pihak yang meregulasi. Menurutnya, selama ini alur koordinasi antara pemerintah, pemodal, dan pemilik industri garmen masih berantakan.

"Menurut saya pemerintah sebagai fungsi pengawas belum maksimal. Satu sisi pemerintah ingin warga dapat kerjaan, dengan ada pabrik itu kan menyerap tenaga kerja. Apalagi pabrik itukan padat karya," kata Tatang.

Kondisi industri garmen di beberapa negara, bagi pria berusia 38 tahun itu masih harus mendapat perhatian serius. Sebab hingga hari ini, masih banyak pelanggaran yang ditemukan terhadap para buruh fashion. "Jujur sedih sih, opini pribadi saya bilang itu kolonialisme baru," kata Tatang. 

2563