Home Politik Sidang Lanjutannya, Eks Dirut Pertamina Tuding Komisaris Gagal Paham

Sidang Lanjutannya, Eks Dirut Pertamina Tuding Komisaris Gagal Paham

Jakarta, Gatra.com - Mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan sebut ada kesalahpahaman oleh komisaris Pertamina terkait persetujuan akuisisi saham sebesar 10% milik TOC Oil Company Ltd di blok Basker Manta Gummy, Australia oleh anak perusahaan Pertamina, PT Pertamina Hulu Energi (PHE).

Hal itu disampaikan Karen dalam sidang lanjutan dengan tiga saksi dari tim Legal Hulu dan Korporat PT Pertamina, Kamis (25/4). Saksi yang dihadirkan yakni Uki Moh. Masduki, Cornelis Simanjuntak, dan Genades Panjaitan

 

Lanjut Karen, pada pertemuan 30 April 2009 itu kata Karen, seluruh organ dari PT Pertamina Persero sudah sepakat. Surat tertanggal 30 April itu juga mendapat persetujuan komisaris.

 

Karen menuding hanya komisaris dan jaksa penuntut umum yang berpandangan bahwa pertemuan bukan persetujuan dari komisaris.

 

"Bahwa seluruh organ di PT PLN persero sudah mengartikan, pada 30 April itu tidak ada dualisme. Jadi surat 30 April itu adalah persetujuan komisaris," kata Karen menegaskan.

 

Pandangan Karen diperkuat oleh keterangan saksi Genades Panjaitan dan mengamini saat ditanyakan oleh mantan Dirut Pertamina.

 

"Apakah legal juga punya pengertian yang sama bahwa 30 April itu adalah persetujuan dari komisaris. Apakah dapat dikatakan yang punya pengertian berbeda dari persetujuan tanggal 30 April itu hanya komisaris?" tanya Karen kepada saksi Genades dalam persidangan.

 

Fernandes pun menjawab, "Saya tidak tahu pihak lain, tapi pihak legal memahami memoir 30 April 2009 itu persetujuan akuisisi."

 

Dalam perkara ini Karen selaku Dirut Pertamina Karen diduga mengabaikan prosedur investasi yang berlaku di PT Pertamina dan ketentuan atau pedoman investasi lainnya dalam Participating Interest (PI). Kesepakatan Perjanjian dengan ROC Oil atau Agreement for Sale and Purchase-BMG Project terjadi pada 27 Mei 2009.

 

Setahun kemudian proyek ini berhenti karena dinilai tidak layak ekonomis lagi. Ia pun didakwa merugikan negara sebesar US$31 juta dan US$26 juta atau setara Rp568 miliar.

224