Home Ekonomi Menilik Upaya Swasembada Air Desa Bleberan Gunungkidul

Menilik Upaya Swasembada Air Desa Bleberan Gunungkidul

Gunungkidul, Gatra.com - Desa Bleberan berjarak sekitar 13 kilometer dari pusat pemerintahan di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kondisi geografi desa ini berupa perbukitan karst yang kerap dilanda kekeringan. 

Sebelum 2002 silam, masyarakat di sana memenuhi kebutuhan air dengan mengambilnya di sumber-sumber mata air di sekitar desa. Selain itu mereka juga memanfaatkan sumur rumah dengan kedalaman sekitar 25 meter.

Seiring waktu, masyarakat setempat mulai memenuhi kebutuhan air secara swadaya. Warga memanfaatkan sumber mata air bernama Jambe dengan menggunakan mesin diesel pada 2002.

Namun, selain membutuhkan banyak bahan bakar, pemakaian mesin diesel itu tak cukup efektif melayani kebutuhan air di delapan dusun Desa Bleberan.

Pada 2012, mata air Jambe dimanfaatkan melalui pemasangan pipa. "Waktu itu (2012) baru melayani 537 SR (sambungan rumah tangga) atau kepala keluarga. Sekarang sudah bisa melayani 742 SR," kata Wudi Waluyo, Ketua Unit Air Bersih, BUMDES Bleberan, saat ditemui di sumber mata air Jambe, Desa Bleberan, Rabu (8/5).

Menurut Wudi, sumber mata air Jambe memproduksi air 80 liter per detik. Namun sampai saat ini pemanfaatannya baru 16 liter per detik untuk memenuhi kebutuhan 742 SR itu. "Karena kemampuan pompa kami baru sebesar itu," katanya.

Operasional unit usaha Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) juga bergantung pada pemasukan dari konsumen. Pelanggan dipatok Rp4.000 ketika memakai air 10 meter kubik pertama.

Sepuluh meter kubik kedua warga mesti membayar Rp5.000 dan kelipatannya. "Hidup mati layanan air ini dari konsumen karena tidak ada subsidi dari desa," katanya.

Harga itu terbilang cukup murah mengingat kondisi daerah itu berupa perbukitan dan sering kekeringan itu. Namun ada saja warga yang tidak patuh membayar kewajibannya.

"Tingkat kepatuhan membayar baru sekitar 75 persen. Ada yang utang, dicicil pembayarannya. Kami tidak memberikan sanksi berupa penghentian layanan, tapi diingatkan saja," kata Wudi.

Pendapatan dari pemanfaatan mata air Jambe ini rata-rata Rp20 juta sampai 30 juta per bulan. Namun dana sebesar itu harus diputar untuk perawatan pipa, setoran ke desa, hingga upah petugas.

Melimpahnya sumber alam ini belum dikembangkan. Padahal kekayaan alam ini potensial untuk mencukupi kebutuhan air seluruh warga Desa Bleberan. "Target kami ke depan, seluruh warga desa bisa mengaksesnya, yakni 1.073 KK," katanya.

Namun untuk mencapai target itu butuh 3.500 meter jaringan perpipaan. Wudi belum menghitung secara detail kebutuhan itu. "Kami masih membutuhkan uluran bantuan dari pemerintah," katanya.

Saat agenda dinasnya, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X  sempat berkunjung ke sumber mata air Jambe. Sultan mengatakan, saat ini pemerintah daerah telah membina 983 kelompok Pamsimas. Ia tak tahu kelompok di Desa Bleberan sudah termasuk Pamsimas itu atau belum.

Ia menyarankan warga mengikuti  lomba rutin gelaran Pemda. Jika memang memenuhi syarat, menurut dia, warga Bleberan pasti akan mendapat bantuan minimal berupa kendaraan pengangkut air. "Kalau semakin jauh memasang jaringannya kan sudah tidak memungkinkan lagi. Kan perlu angkutan," katanya.

Selain itu, ia juga memberi solusi melalui investasi desa. Pemerintah desa bisa membentuk badan usaha milik desa atau bumdes di berbagai bentuk usaha. "Apakah itu air minum kemasan, peternakan sapi, atau tanaman kolonjono (untuk pakan ternak). Daripada ada lahan yang nganggur," ucapnya.

Reporter: Ridho Hidayat

1542