Home Ekonomi Adu Kuat Para Jawara Mata Uang

Adu Kuat Para Jawara Mata Uang

Amerika Serikat (AS) diprediksi bakal mengalami resesi pada 2020. Namun prediksi itu agaknya jauh panggang dari api. Buktinya, dolar AS terus menunjukkan “keperkasaan”. Nilai tukar dolar AS lebih tinggi dibandingkan dengan mata uang dunia lainnya. Pada perdagangan keuangan di New York Board of Trade (NYBT), AS, sepekan terakhir indeks dolar AS (DXY) mengalami reli dan merangkak tinggi. Puncaknya pada perdagangan Selasa lalu, DXY mencapai level 97,777 –tertinggi sejak Juni 2017 atau 22 bulan terakhir.

GATRAreview.com - DXY adalah indeks yang digunakan sebagai patokan perdagangan mata uang dunia. DXY merefleksikan sekaligus mengukur kekuatan dolar AS terhadap enam mata uang lainnya. Antara lain, euro, yen, dan poundsterling. “Hari ini tentu saja merupakan hari dolar yang baik,” kata Minh Trang, pedagang mata uang senior di Silicon Valley Bank, California, AS, seperti dikutip dari Reuters, Rabu pekan lalu. “Dolar datang dengan kekuatan penuh,” ia menambahkan.

Perkasanya mata uang “Paman Sam” itu lantaran para pedagang forex lebih memilih membeli greenback –sebutan untuk dolar AS—dibandingkan dengan mata uang negara lain. Salah satu faktor pendorong adalah rilis data perumahan AS pada pertengahan Maret lalu, yang menujukan bahwa penjualan rumah di AS mengalami lonjakan di level tertinggi sepanjang dua tahun terakhir. Data ini menunjukkan peningkatan daya beli warga AS.


Sinyal akan segera berakhirnya perang dagang antara Cina dan AS akan menjadi pendorong semakin menguatnya posisi Renmimbi di antara mata uang-mata uang unggulan.


Selain itu, berita-berita positif tentang meningkatnya penjualan produk ritel dan ekspor AS juga memicu optimisme terhadap dolar AS. Penjualan ritel di AS dilaporkan melonjak pada Maret, terbesar sejak 2017.

Dolar AS juga mendapat momentum penguatan setelah The Federal Reserve (The Fed) meprediksi produk domestik bruto (PDB) AS pada kuartal I 2019 naik sebesar 2,8%. Angka itu lebih tinggi daripada prediksi di Forex Factory yang sebesar 2,2%.

Prediksi The Fed menunjukkan, AS masih menjadi negara dengan perekonomian yang kuat. Kenaikan harga minyak beberapa pekan ini di tengah berita rencana Presiden Donald Trump untuk memperketat ekspor minyak Iran memberikan pengaruh positif bagi dolar AS.

Kini, AS berada di posisi yang lebih baik daripada negara-negara maju lainnya, termasuk Cina, Jepang, dan Jerman. “Jika kita melihat tindak lanjut dari harga minyak yang lebih tinggi hingga inflasi yang sedikit lebih tinggi, saya pikir Anda akan melihat The Fed berada dalam posisi yang lebih stabil, dengan mempertahankan suku bunga dan menghilangkan segala jenis pembicaraan tentang penurunan suku bunga,” kata Trang.


Prediksi The Fed menunjukkan bahwa AS masih menjadi negara dengan perekonomian yang kuat. Kenaikan harga minyak beberapa pekan ini di tengah berita rencana Presiden Donald Trump untuk memperketat ekspor minyak Iran memberi pengaruh positif bagi dolar AS.


Cina, yang merupakan rival AS dalam perang dagang, juga memiliki mata uang yang memiliki pengaruh kuat di dunia. Renminbi, mata uang Cina, sering digunakan dalam transaksi keuangan global, seperti halnya dolar AS. Para analis memprediksi, renminbi akan semakin gahar di pertengahan tahun ini. Hal ini seiring dengan gencarnya Pemerintah Cina memembuat perjanjian dagang dengan sejumlah investor.

Reaksi langsung terhadap kesepakatan perdagangan yang menguntungkan kemungkinan akan berarti apresiasi Renminbi, dan itu mungkin berarti investor akan bersedia menambah bobot ke Cina sebelumnya," kata Stephen Chang, Wakil Presiden Eksekutif dan Manajer Portofolio untuk Asia di Pacific Investment Management Co. di Hong Kong.


Lesunya euro ditengarai akibat memanasnya hubungan dagang AS-Eropa, yang dipicu konflik Boeing versus Airbus. Juga, kemarahan AS karena diberlakukannya bea impor oleh Uni Eropa untuk produk ekpor asal AS.


Sinyal akan segera berakhirnya perang dagang antara Cina dan AS akan menjadi pendorong menguatnya posisi renmimbi di antara mata uang-mata uang unggulan. Kesimpulan negosiasi yang berhasil akan menghilangkan risiko penurunan penting bagi mata uang, Michael Spencer, Kepala ekonom Asia-Pasifik di Deutsche Bank AG Hong Kong, seperti dikutip Bloomberg.

Nasib kurang mujur menerpa mata uang Uni Eropa, euro. Kurs euro terhadap dolar AS terus merosot. Pada perdangangan di NYBT, Rabu pekan lalu, euro jatuh 0,68% menjadi 1,1149 dolar AS, level terendah sejak Juni 2017. Loyonya euro dipicu menurunnya pertumbuhan sektor industri di Jerman. Maklum, selama ini geliat industri Jerman menjadi motor pengerak ekonomi Uni Eropa dan pergerakan euro.

Lesunya euro juga ditengarai akibat memanasnya hubungan dagang AS-Eropa, yang dipicu konflik Boeing versus Airbus. Juga, kemarahan AS karena diberlakukannya bea impor oleh Uni Eropa untuk produk ekpor asal AS.

Analis memprediksi, euro masih bisa bangkit dari keterpurukan asalkan Jerman bersedia menerima pinjaman dana segar dari pihak luar. “Dana pinjaman akan membantu meningkatkan permintaan ekspor Jerman dan akan mengangkat semangat di ekonomi-ekonomi inti zona euro itu,” kata Karl Schamotta, Direktur Strategi Valuta Asing dan Produk Terstruktur di Cambridge Global Payments, seperti dikutip Reuters.

Masih dari “Benua Biru”, mata uang Inggris, poundsterling, juga mengalami “kurang darah”. Kondisi ini terjadi karena ketidakpercayaan para investor terhadap masa depan Inggris pasca Brexit. Namun analis melihat masih ada peluang bagi poundsterling untuk bangkit, mengingat adanya opsi yang ditawarkan Uni Eropa kepada Inggris untuk menunda Brexit. “Kami cukup konstruktif tentang prospek jangka pendek pound,” kata Nikolay Markov, ekonom senior di Pictet Asset Managemen berbasis di London, Inggris.

Dari benua Asia, yen yang juga memiliki pengaruh kuat dalam transkasi keuangan global. Beberapa pekan terakhir, mata uang Jepang itu sempat merosot. Namun analis memprediksi, yen akan kembali perkasa setelah bank sentral Jepang (Bank of Japan –BOJ) merilis kebijakan stimulus monter pada Rabu pekan lalu.

Dalam isi rilisnya, BOJ menurunkan proyeksi inflasi dan pertumbuhan ekonomi Jepang. BOJ menyebut proyeksi yang terbaru, inflasi 2020 diprediksi sebesar 1,6%. Naik dari perkiraan sebelumnya, meski masih belum mencapai target yang dicanangkan sebesar 2%.


Sujud Dwi Pratisto