Home Ekonomi Mencurigai Langkah Juragan Cina

Mencurigai Langkah Juragan Cina

 

Sebagian menerima tawaran manis Cina, tetapi banyak juga yang merasa curiga. Proyek Belt and Road Initiative di Indonesia menuai pro dan kontra. Apakah bantuan ini benar-benar bermanfaat bagi rakyat Indonesia?

 

GATRAreview - Raja ekonomi dunia, begitulah ambisi Cina. Selangkah lagi, Negeri Tirai Bambu itu akan menyalip Amerika Serikat (AS) sebagai negara terkaya. Sesuai data IMF yang dikeluarkan Oktober 2018, Cina diprediksi mampu menghasilkan produk domestik bruto (PDB) nominal sebesar US$14.172,199 miliar pada 2019. Cina hanya kalah terhadap AS yang masih menjadi negara terkuat secara ekonomi dengan PDB nominal US$21.482,409 miliar. Toh, Cina sudah mengalahkan Jepang, Jerman, India, Prancis, Inggris, Italia, dan Brasil.

Bahkan, Cina sesungguhnya sudah mengangkangi AS jika dilihat dari PDB dengan basis purchasing power parity (PPP). PPP adalah metode yang digunakan untuk menghitung PDB dengan membandingkan nilai tukar mata uang dari dua negara, dalam hal ini yuan terhadap dolar AS. Dengan basis PPP, Cina sudah menjadi negara terkaya di jagat ini dengan PDB sebesar US$27.449,046 miliar. AS di posisi kedua, yakni US$21.482,409 miliar.

Jadi tak diragukan lagi, berkat uang berlimpah, Cina berusaha mengendalikan arah perekonomian dunia. Warga Cina yang dikenal sejak dahulu kala suka berdagang, terlihat sangat berambisi memperluas cakupan pasar produk “Made in Cina” ke seluruh muka bumi ini.

Dimulai 2013, Presiden Cina Xi Jinping mencanangkan sebuah proyek raksasa berupa One Belt One Road atau OBOR. Proyek ini ingin membangkitkan lagi sebuah jalur perdagangan darat masa lampau yang sebagian besar melintasi Cina, terkenal dengan Jalur Sutra. Jalur ini menghubungkan dunia bagian timur dengan Eropa yang kala itu masih mengandalkan jalur darat sebelum munculnya transportasi laut.

Belakangan, proyek ini berubah nama dari OBOR menjadi Belt and Road Initiative (BRI) karena kata “One” sering menimbulkan salah pengertian. Meski berubah nama, proyek tersebut mempunyai tujuan dan strategi yang sama. Sebagai “Juragan Kelas Dunia”, Cina menawarkan utang kepada negara yang ingin membangun infrastruktur. Cina tahu, pembangunan infrastruktur menyedot banyak dana dan tidak banyak negara yang bergelimang uang. Tawaran Cina ini sangat memikat bagi negara-negara yang memiliki nafsu kuat membangun infrastruktur tetapi apa daya dana tak ada.

Sejauh ini, proyek BRI telah melibatkan 152 negara di kawasan Asia, Timur Tengah, Eropa, Afrika, sampai Benua Amerika. Dalam proyek BRI ini, bukan jalur darat saja yang dibangun, melainkan juga transportasi laut. Namun, sebagian negara menaruh curiga dengan langkah Cina tersebut. Pepatah lama bilang, “Tidak ada makan siang yang gratis”. Sebagian kepala negara bahkan terang-terangan menyatakan kekhawatiran dan ketakutan mereka bakal terjerat utang Cina. Alhasil, reaksi masing-masing negara berbeda. Ada yang sangat berminat, menolak, dan sebagian lagi pikir-pikir.

Cina sendiri sudah menyadari bahwa sebagian negara mungkin agak takut-takut untuk terlibat proyek ini. Oleh karena itu, sejak awal, pemimpin Cina memperkenalkan proyek ini dengan pendekatan yang lebih luas, bukan sekadar dagang. Melalui ungkapan manis, Cina menyebut proyek ini akan meningkatkan program “alih teknologi”, “pertukaran kebudayaan”, dan menciptakan saling pengertian antarpenduduk dunia. Tentu proyek infrastruktur menjadi menu utamanya. Infrastruktur yang dimaksud, meliputi pembangunan jalan raya, jalan tol, rel kereta api, otomotif, pembangkit listrik, industri baja, dan sebagainya.

 

Ibarat “Dewa Penolong”

Dengan menawarkan pinjaman, Cina bagai orang kaya yang baik hati kepada orang miskin. Cina menjadi idaman negara-negara yang sedang “kesusahan”. Tak pelak lagi, Cina menjelma menjadi “Dewa Penolong”. Maka, negara seperti Italia yang kini sedang menghadapi kesulitan ekonomi, tak sungkan untuk menyambut gembira tawaran manis Cina.

Italia tidak menggubris kekhawatiran kawan karibnya, seperti Amerika yang sangat mencurigai BRI sebagai proyek kolonialisme gaya baru Cina. Italia bisa dibilang satu-satunya negara kelompok G7 yang menyambut proyek BRI. Negara lain di kelompok G7 seperti Kanada, Prancis, Jerman, Jepang, Britania Raya, dan Amerika Serikat, masih curiga dengan “kebaikan” Cina tersebut.

Langkah petinggi pemerintah Italia bisa dipahami. Italia sedang menghadapi masalah ekonomi yang pelik. Pada kuartal keempat 2018, ekonomi Italia melambat. Pemerintah pusing kepala saat menyusun anggaran negara. The Guardian melaporkan ekonomi Italia mengalami kontraksi 0,1% pada periode Juli–September 2018. Secara teknis, negara itu mengalami resesi. Menteri Ekonomi Italia, Geovanni Tria, memperkirakan pada 2019 ekonomi Italia akan mandek, alias tumbuh nol persen. Dengan kondisi ekonomi yang melempem itu, bisa dipahami mengapa pemerintah Italia menyambut kedatangan Presiden Cina Xi Jinping pada Maret 2019.

Pada 23 Maret 2019, kedua negara menyetujui proyek senilai 2,5 miliar euro (£2,12 miliar). “Nilai kontrak ini memiliki future value hingga 20 miliar euro,” kata Deputi Perdana Menteri (PM) Italia, Luigi Di Maio. Pria yang pernah bertugas di Cina ini, menjadi salah satu pendukung proyek BRI.

Pemerintah Italia di bawah PM Giuseppe Conte melihat bantuan Cina ini akan menjadi penyelamat ekonomi yang sedang mengalami resesi ketiga dalam 10 tahun terakhir. Peringatan Amerika bahwa Cina sedang membangun “kolonialisasi ekonomi” tidak dihiraukan. Sebelum bergabung dengan BRI, Italia pun sudah tergantung dengan impor Cina. Lihat saja, defisit perdagangan Italia terhadap Cina tahun lalu mencapai 17,6 miliar euro.

Bahkan langkah pemerintah Italia yang bermesraan dengan Cina menimbulkan perpecahan di dalam. Sebagian anggota koalisi pemerintah Italia menentang sambutan karpet merah terhadap Presiden Cina. Deputi PM Italia lainnya, Matteo Salvini, yang bergaris kanan jauh, menaruh curiga Cina diam-diam sedang menjajah pasar Italia. Karena jengkel, Salvini bahkan tidak hadir dalam jamuan makan malam untuk menyambut kunjungan Presiden Cina selama tiga hari tersebut.

Toh, Cina tak kenal kata mundur. Harus diakui, Presiden Cina Xi Jinping menawarkan proyek BRI dengan “semangat empat-lima”. Cina mengadakan Belt and Road Forum ke-2 yang berhasil menyedot banyak pemimpin berbagai negara. Acara yang berlangsung 24–27 April 2019 di Beijing, Cina, tersebut merupakan pengulangan acara serupa pada 2017.

Berdasarkan konferensi pers oleh Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi, sebanyak 36 kepala negara di luar Cina hadir dalam acara Belt and Road Forum ke-2. Selain itu, hadir pula 5.000 perwakilan dari 150 negara. Hasil pertemuan tidak memalukan tuan rumah. Sebanyak 126 negara dan 29 organisasi internasional telah menandatangani kerja sama dengan Cina.

Mungkin kesuksesan terbesar Cina, yaitu kemampuan menggandeng negara-negara di Asia Tenggara. Dari 10 negara ASEAN, sembilan negara diwakili langsung oleh kepala pemerintahan. Hanya Indonesia yang mengirim Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Keberhasilan penting Cina lainnya berada di Asia Tengah. Empat dari lima negara di kawasan itu mengirim pemimpin tertinggi mereka. Dari Eropa, meski negara besar seperti Jerman, Inggris, dan Prancis sangat kritis terhadap BRI, tetapi sebagian besar negara di Benua Biru itu mengirim utusan ke Beijing. Bahkan 12 dari 36 kepala negara atau pemerintah datang dari Eropa, termasuk Rusia dan Azerbaijan. Satu di antaranya Presiden Swiss Ueli Maurer. Swiss merupakan negara kedua di Eropa yang menandatangani kerja sama dengan Cina setelah Italia.

Dari Afrika, lima pemimpin terkemuka Djibouti, Mesir, Ethiopia, Kenya, dan Mozambik hadir di Beijing. Namun tetangga dekat Cina justru gagal dirayu. PM Jepang Shinzo Abe, Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un tidak datang dalam acara tersebut.

Kawasan Timur Tengah juga masih bersikap dingin. Hanya UEA yang mengirim perwakilan tingkat atas. Dari kawasan Amerika Selatan, hanya Chili yang mengirim pemimpin teratas ke forum tahun ini. Lalu dari Kepulauan Pasifik, satu-satunya peserta tingkat atas yang datang adalah PM Papua Nugini, Peter O'Neill.

Musuh utama Cina dalam perdagangan, Amerika, juga tidak mengirim satu perwakilan pun ke Beijing. Padahal pada pertemuan serupa di tahun 2017, Matt Pottinger, direktur senior Dewan Keamanan Nasional untuk Asia, ikut datang ke Beijing.

Gertakan Mahathir

Bersamaan dengan banyaknya penolakan, Cina bersedia “tawar-menawar” bak pedagang saat menghadapi pembeli yang bawel. Hal itu terlihat dari cara Cina menangani keluhan PM Malaysia, Mahathir Muhammad.

Tahun lalu, Mahathir mengancam akan menghentikan proyek yang menggunakan bantuan Cina, karena dirasa kemahalan. Gertakan Mahathir tersebut memaksa Cina mundur selangkah. Ini semacam strategi permainan belaka. Cina menyadari kehilangan dukungan dari Malaysia sangat berisiko, karena bisa menimbulkan masalah lebih besar. Suara penolakan atas proyek BRI dari Malaysia bisa menjalar ke negara lain, seperti Indonesia, yang merupakan pasar terbesar di ASEAN.

Agar gertakan Mahathir melunak, Cina merevisi berbagai proyek di Malaysia. Pada April lalu, kantor PM Malaysia mengumumkan Mahathir memimpin langsung negosiasi dengan Cina. Lobi tingkat atas itu kemudian diikuti dengan pertemuan oleh Malaysia Rail Link Sdn Bhd dan China Communications Construction Company Ltd yang melaksanakan proyek rel kereta api di pantai Timur Malaysia, atau yang dikenal sebagai East Coast Rail Link (ECRL).

Proyek ini sempat dihentikan Mahathir untuk memaksa Cina duduk di ruang perundingan. Setelah dihitung ulang, biaya konstruksi ECRL ternyata bisa diturunkan. Misalnya, biaya konstruksi dari fase 1 dan fase 2 turun dari RM65,5 miliar menjadi RM44 miliar atau menghemat RM21,5 miliar. “Kedua negara memilih untuk memasuki negosiasi dalam semangat niat baik diplomatik, dengan tujuan mencapai pembangunan ECRL dengan biaya lebih rendah,” demikian pernyataan tertulis yang dikutip Malaymail.com.

Cina bisa mengatasi gertakan Mahathir, tetapi masih banyak negara besar yang skeptis dengan proyek BRI. Australia, misalnya, tidak mau berpartisipasi dalam BRI. Hanya PM Negara Bagian Victoria yang hadir dalam forum di Beijing tersebut. Itu pun sebenarnya tidak direstui pemerintah federal.

Dr Darren Lim, Dosen Hubungan Internasional di Australian National University, menyatakan langkah Cina melalui BRI memang memicu kekhawatiran banyak negara. “Citra BRI telah ternoda oleh kinerja buruk proyek, korupsi, dan meningkatnya kekhawatiran tentang pengaruh politik Cina,” kata Lim dikutip dari abc.net.au.

Para kritikus juga memperingatkan kemungkinan timbulnya “perangkap utang”. Salah satu contohnya, ketika Sri Lanka dipaksa menyewakan pelabuhan strategis Hambantota dengan kontrak 99 tahun pada tahun 2017, setelah negara itu gagal melunasi pinjaman dari Cina.

Proyek Tandingan

Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump sangat curiga dengan cara dagang Cina yang ingin menguasai dunia. Maka, Amerika bersama penentang BRI lainnya tak mau tinggal diam. Donald Trump dengan gaya yang angkuh sudah pasti tidak sudi jika Cina mengambil alih kepemimpinan dunia dari tangan Amerika. Maka, Amerika berinisiatif meluncurkan paket pembangunan proyek infrastruktur untuk menandingi BRI.

Juli tahun lalu, Amerika, Australia, dan Jepang menggagas skema pembangunan infrastruktur untuk negara-negara di kawasan Indo-Pasifik. Mitra Amerika di Eropa juga melakukan langkah yang sama. Komisi Eropa, September tahun lalu, merilis laporan berjudul “Connecting Europe and Asia: Building Blocks for an EU Strategy”.

Toh melihat perkembangan itu, Cina sendiri tampil percaya diri seperti ditunjukkan Presiden Xi Jinping. Saat menutup BRI Forum di Beijing, ia menegaskan proyek BRI bukan untuk Cina saja. “Meski Belt and Road Initiative diluncurkan oleh Cina, hasilnya dirasakan oleh dunia,” katanya.

“Semua negara yang tertarik, silakan bergabung dengan kami,” ujar Xi Jinping, seolah ingin menegaskan tak ada paksaan dalam bisnis.


Rihad Wiranto