Home Politik Kuasa Hukum Persoalkan Imbauan Pemanggilan Sjamsul

Kuasa Hukum Persoalkan Imbauan Pemanggilan Sjamsul

Jakarta, Gatra.com - Kuasa hukum tersangka Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail, menilai imbauan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar kleinnya beserta istri, Itjih Nursalim, memenuhi panggilan untuk menjalani pemeriksaan seagai tersangka, melanggar aturan.

Pasalnya, kata Maqdir dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat (14/6), KPK belum pernah memeriksa keduanya sebelum ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi terkait Surat Keterangan Lunas (SKL) dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).

"Sedangkan faktanya SJN [Sjamsul Nursalim] dan IN [Itjih Nursalim] belum pernah diperiksa sebagai calon tersangka seperti yang diwajibkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi," katanya.

Karena itu, Maqdir menilai imbauan KPK tersebut merupakan upaya untuk mencitrakan Sjamsul dan istrinya telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dipersangkakan tanpa proses hukum.

Sikap lembaga antirasuah tersebut tidak proporsional dan menyesatkan karena mengesankan bahwa Sjamsul dan Itjih telah dijatuhi hukuman pidana. Padahal, penyelesaian BLBI ke BDNI didasarkan pada perjanjian perdata, yakni Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) antara pemerintah dan Sjamsul.

Menurut Maqdir, karena ini merupakan perkara perdata, maka harus melalui jalur perdata jika kemudian ada hal-hal yang dianggap tidak sesuai, bukan ditarik ke ranah pidana, apalagi tindak pidana korupsi.? "Ini bukti bahwa KPK tidak menghargai hukum dan proses hukum," katanya.

Menurut Maqdir, KPK harusnya terlebih dahulu mempunyai bukti yakni mengantongi putusan perdata bahwa Sjamsul telah melakukan misrepresentasi soal utang petani tambak kepada BDNI yang telah diserahkan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Kemudian, lanjut Maqdir, KPK juga harus membuktikan dan menunjukkan menghargai dan menghormati Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 karena kedudukan Inpres dalam sistem hukum Indonesia lebih tinggi dari keputusan KPK.

Dengan demikian, KPK harus mendapat konfirmasi terlebih dahulu dari pemerintah, terutama untuk mengambil langkah-langkah hukum terhadap Sjamsul sehubungan dengan penyelesaian BLBI berdasarkan MSAA.

Selanjutnya, memahami dan mempertimbangkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002, Keterangan Pemerintah di DPR tahun 2008, serta jaminan pemerintah dalam release and discharge bahwa "Pemerintah tidak akan melakukan atau menuntut segala tindakan hukum atau melaksanakan segala hak hukum yang mungkin dimilik pemerintah terhadap SN sehubungan dengan penyelesaian BLBI berdasarkan MSAA".

Membuktikan bahwa timbulnya keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun, terjadi sebagai akibat ditandatanganinya MSAA oleh pemerintah dan Sjamsul. Faktanya, pemerintah tidak pernah menyatakan bahwa Sjamsul belum melaksanakan seluruh kewajibannya sesuai dengan MSAA.

Apalagi, lanjut Maqdir, aset-aset termasuk utang petambak tersebut sudah sepenuhnya milik pemerintah sejak tahun 1999, apakah akan dihapuskan ataupun dijual sudah sepenuhnya kewenangan pemerintah. Sjamsul sama sekali tidak ikut mencampurinya. Menjadi tidak adil jika sekarang SN kembali dikait-kaitkan dengan dihapuskannya ataupun bahkan diminta bertanggungjawab atas selisih penjualan utang petambak Dipasena tersebut.

"Apalagi jaminannya sejumlah lebih dari 22.000 tambak sudah seluruhnya diserahkan kepada pihak ketiga," katanya.

98