Home Ekonomi Sekjen Apkasindo: Tak Ada Kaitan PE dan Melorotnya Harga TBS

Sekjen Apkasindo: Tak Ada Kaitan PE dan Melorotnya Harga TBS

Jakarta, Gatra.com - Perseteruan sejumlah pihak soal tarik ulur Pungutan Ekspor (PE) Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya terus menggelinding.

Sebahagian mengatakan kalau PE telah membebani petani kelapa sawit. Lantaran itulah mereka kemudian meminta supaya PE itu tidak diberlakukan lagi atau minimal, besarannya --- saat masih diberlakukan PE untuk CPO $US50 perton --- diturunkan.

Untuk memuluskan niat menghentikan PE tadi, petani kelapa sawit menjadi sasaran. Mereka diprovokasi seakan-akan sebagai korban atas berlakunya PE.

Padahal analisa tim Pakar dan diskusi Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) bukan begitu. Turunnya harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani, bukan oleh pemberlakukan PE.

Buktinya, PE tidak dipungut lagi sejak Desember tahun lalu, harga TBS di tingkat petani tetap saja terus menukik turun.

"Jadi enggak ada relevansinya antara pemberlakukan PE dengan turunnya harga TBS di tingkat petani," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP-Apkasindo), Rino Afrino, ST, MM kepada Gatra.com di Jakarta Kamis (27/6).

Yang membikin harga TBS petani terus melorot kata Rino justru oleh mekanisme teknis perhitungan harga dan tata niaga TBS di lapangan yang rancu. "Sudahlah rancu, penerapan sanksi pun tidak ada. Makanya semua sesuka PKS saja, ujar Rino.

Dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 1 tahun 2018 tentang pedoman penetapan harga pembelian TBS produksi pekebun kata Rino, sudah jelas terstruktur aturan mainnya.

Rino mencontohkan Pasal 4 Permentan itu. Di poin satu dikatakan bahwa perusahaan perkebunan membeli TBS produksi pekebun mitra melalui kelembagaan pekebun.

"Ini artinya, pabrik musti membeli dari kelembagaan petani dan harus ada kemitraan. TBS tidak dibeli dari tengkulak atau pengepul. Namun kenyataan di lapangan kan bahwa pengepul dan tengkulak yang merajai," ujar Rino.

Plt Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW-Apkasindo) Riau, Santha Buana, SP, MM mengamini apa yang dikatakan Rino tadi.

Gara-gara rancunya tata niaga tadi membikin rendemen --- kadar minyak sawit --- TBS petani menjadi kacau tidak ada yang mengkontrol berapa sebenarnya rendeman TBS petani.

Kacau dan tidak adanya uji rendemen ini membikin pabrik kemudian sesukanya menurunkan indeks K --- indeks yang memuat variabel cost yang digelontorkan pabrik untuk mengolah TBS --- yang tentunya variabel cost ini dipastikan menguntungkan PKS.

"Lalu penetapan harga di pemerintah provinsi juga tidak menjadi acuan semua pabrik. Harga yang ditetapkan oleh pabrik komersil --- pabrik yang tak punya kebun sebagai sumber bahan baku pabrik --- dan pabrik non kemitraan pasti selalu lebih rendah dari harga penetapan di Dinas Perkebunan tiap Privinsi. Ini terjadi lantaran itu tadi. Pabrik komersil menerima TBS dari sumber yang beragam dan kualitas yang tidak tidak pernah diuji kadar rendemannya. Ragam cara pabrik untuk menurunkan harga TBS Petani, seperti menurunkan indeks K tadi. Padahal indeks K ini sangat berdampak pada tinggi rendahnya harga TBS di tingkat petani," terang Santha.

Sejalan dengan omongan Santha tadilah kemudian DPP Apkasindo langsung membikin kebijakan yang antara lain; mendorong terbentuknya kelembagaan petani, mengedukasi petani untuk menghasilkan TBS yang berkualitas dan mengupayakan TBS petani langsung terhubung ke pabrik dan mengedukasi petani untuk mengerti tatacara penentuan harga TBS supaya petani memiliki dasar ketika berargumen di PKS.

"Kami juga sudah sering menginisiasi Forum Group Diskusi (FGD) soal tata niaga TBS. Nah, untuk semua hal di atas tadi, tentu enggak bisa hanya Apkasindo saja yang bergerak, pemerintah musti mengawasi dan tegas. Sebab pemerintahlah yang punya regulasi. Dan ini bukan hanya tugas Kementan, tapi semua instansi terkait," Rino mengurai.

Kepada pabrik, Apkasindo meminta supaya benar-benar menjadikan petani sebagai mitra. Edukasi mereka untuk menghasilkan TBS yang bagus. "Sebab semakin bagus TBS petani, pabrik juga akan untung dan ini akan saling memberi efek kepada ekonomi secara global" kata Rino.

Di sisi lain kata Rino, sudah ada regulasi-regulasi terkait sawit berkelanjutan, seperti misalnya ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).

Dan dalam regulasi tersebut Apkasindo akan bersikeras melobi supaya memasukkan harga sebagai indikator berkelanjutan yang tertuang dalam ISPO.

Nilai keekonomian minimal TBS musti Rp1200/Kg. Di bawah itu, petani akan tekor, sebab untuk Break Even Point (BEP) saja petani butuh harga minimal Rp 950.

Lantaran harga sawit terus melorot, mau tak mau petani menurunkan BEP tadi dengan cara mengurangi komponen biaya produksi seperti meniadakan pemupukan, mengurangi pekerja dan membiarkan kebun ditumbuhi semak.

"Ini musti menjadi perhatian kita bersama. Tapi sayang, sampai hari ini metode perhitungan harga TBS tidak ada inovasi. Lihat sajalah sampai hari ini ada berapa sih Gubernur yang membikin Peraturan Gubernur (Pergub) tentang pedoman penetapan harga TBS? Padahal sejak Agustus 2018, Direktorat Jenderal Perkebunan (Dirjenbun) sudah menyurati Gubernur di setiap daerah untuk membikin Pergub tadi," terang Rino.

Yang juga musti menjadi perhatian pemerintah kata Rino, kenapa harga CPO di tiap pulau berbeda? "Sebab harga CPO merupakan komponen awal dari perhitungan TBS. Contoh di Sulawesi, harga CPO sangat rendah, kisaran Rp600-Rp750/Kg. Ini akibat harga TBS yang ditetapkan di sana terjun bebas. Harga yang ditetapkan tim saja sudah terjun bebas, apalagi harga yang berlaku di lapangan," katanya.

Soal PE tadi kata Rino, enggak masalah diberlakukan kembali meski harus disesuaikan dengan kondisi saat itu. "Sebab lagi-lagi saya katakan, PE enggak ada kaitannya dengan penurunan harga TBS petani," tegasnya.

PE kata Rino justru sangat berdampak positif bagi petani. Sejak BPDP berdiri pertengahan 2015, duit PE sudah sangat bermanfaat bagi para petani khususnya.

Sekitar 10 ribu petani sawit di 22 provinsi dan 116 Kabupaten/Kota telah mendapat pelatihan teknis berkebun, 1500 anak-anak petani di 22 provinsi sudah mendapatkan beasiswa pendidikan D1 dan D3 sawit di Instiper Yogyakarta dan Poltek Sawit CWE.

Ratusan koperasi mendapatkan pelatihan manajeman koperasi, lebih dari 50 ribu hektar lahan petani sudah mendapatkan hibah Rp25 juta/hektar untuk peremajaan (PSR). Belum lagi sederet fasilitas lain untuk petani seperti seminar dan workshop.

"Dan itu semua tidak akan pernah terjadi bila tidak dilahirkan Perpres 61 dan pendirian BPDPKS oleh Presiden Jokowi. Selama negara ini berdiri, belum ada kebijakan strategis seperti itu," tegas Rino.

"Dua hal yang fenomenal terkait kebijakan sawit oleh Presiden Jokowi adalah pendirian BPDPKS dan Biofuel B20. Di pertengahan 2015 harga CPO dan TBS lebih anjlok dari sekarang. Tapi setelah dua kebijakan itu muncul, harga terus melaju naik hingga kuartal pertama 2018, Bahkan sempat 5 bulan bertahan di harga Rp2000/kg," urai Rino.

Ketua Umum DPP Apkasindo, Ir. Gulat Medali Emas Manurung, MP mengatakan, adanya omongan sebahagian orang bahwa PE telah membebani petani justru pengkambinghitaman Kebijakan strategis pemerintah.

"Pihak pabrik tidak mau untung sedikit, lihat saja potongan TBS petani di pabrik, gila-gilaan. Antara 5-12%. Padahal aturan mainnya sudah jelas di Permentan bahwa tidak ada sama sekali menyebut potongan. Ini jelas tindakan pidana penipuan. Kalau mau jujur, potongan inilah sebenarnya salah satu faktor rendahnya penerimaan petani saat menjual TBS nya ke pabrik atau ke pedagang pengumpul, bukan PE. Tidak seberapa PE itu dibanding potongan TBS petani pekebun di pabrik. Untuk itu Apksindo lantang menyuarakan supaya menolkan potongan TBS di pabrik dan berlakukan PE. Dengan demikian dipastikan pendapatan petani naik. Coba bayangkan jika petani menjual 1 ton TBS nya di pabrik, maka yang dibayar oleh pabrik hanya 900 kg, sebab TBS dipotong 10% meski tidak jelas dasar hukumnya apa. Itu kalau asumsinya 1 ton, kalikan saja kalau TBS petani sampai 3 juta ton," urai Gulat kepada Gatra.com usai melakukan kunjungan ke Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, Kamis (27/6).

Bagi Gulat, PE adalah bagian dari upaya pemerintah menyuruh pengusaha berkreasi mengolah CPO menjadi produk turunan. Multi effek pengolahan turunan CPO ini sangat bermanfaat bagi ekonomi Nasional. Ekonomi daerah akan bertumbuh, lapangan kerja terbuka.

"Kalau tidak mau kena PE 50 $US/ton CPO, pengusaha berkresilah mengolah CPO menjadi turunan lain, sebab turunan lain PE nya rendah. Berupayalah untuk lebih kreatif, jangan hanya jago di produk CPO. Kalau industri turunan tadi dikerjakan oleh pengusaha, dampaknya akan menyeluruh, harga TBS akan terkatrol, devisa negara dari bisnis kelapa sawit pasti akan jauh lebih tinggi jika CPO dijual dalam bentuk turunan," ujar Gulat.

Multi efek tadilah menurut Gulat yang diinginkan oleh pemerintah. Pada posisi ini pula diuji kenegarawanan para pengusaha, sampai dimana kecintaannya terhadap NKRI. Kecintaan tidak hanya diukur oleh seremonial, tapi juga manfaat ekonomi secara Nasional melalui produk CPO dan turunannya.

Lagi-lagi kata Gulat, yang keberatan dengan PE tadi hanyalah perusahaan yang cuma bermain di sektor hulu dengan produk akhir CPO. Mereka kebakaran jenggot lantaran selama ini cuma jago di penjualan CPO.

Lantaran tak senang ada PE kata Gulat, petani sawit diprovokasi untuk tidak sepaham dengan kebijakan PE tadi. Dalilnya, PE menjadi dalang turunnya harga TBS di tingkat Petani, karena PE tersebut dibebankan kepada bahan produk awal, TBS.

"Mengapa petani yang diprovokasi, lantaran perkebunan kelapa sawit di Indonesia dikelola oleh 42 persen petani pekebun. Makanya sangat seksi kalau petani yang di ganggu," katanya.

Mantan Wakil Menteri Perdagangan Kabinet Indonesia Bersatu II, DR. Bayu Krisnamurthi sepakat kalau PE diberlakukan kembali. Sebab PE sangat berguna untuk persawitan nasional. Salah satunya untuk kepentingan ketahanan energi dengan menciptakan biofuel yang akan sangat berdampak pada meningkatnya permintaan CPO di dalam negeri.


Abdul Aziz

751