Home Ekonomi BKPM Nilai Permenkes Farmasi Asing Harus Direvisi

BKPM Nilai Permenkes Farmasi Asing Harus Direvisi

Jakarta, Gatra.com - Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 2018 tercatat terjadi penurunan sebesar 25% dari angka sebelumnya diatas Rp3 Triliun menjadi Rp2,36 Triliun.

Perubahan ini dinilai BKPM karena beberapa hal, salah satunya Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No 1010/MENKES/PER/XI/2008.

Permenkes tersebut mewajibkan perusahaan farmasi asing untuk membangun pabrik produksi, atau menunjuk perusahaan lain yang telah terdaftar menjadi produsen di dalam negeri, untuk mendapatkan persetujuan obat.

Menyikapi itu, Direktur Perencanaan Jasa dan Kawasan BKPM, Nurul Ichwan mengatakan Permenkes tersebut perlu di tinjau ulang atau bisa dilakukan revisi.

Dia menganggap, seandainya Permenkes tersebut akhirnya dicabut, maka belum ada jaminan dapat mendatangkan para investor asing ke Indonesia terutama di sektor Farmasi.

“Kalau bagi saya, sederhananya, PMDN sudah ada pabriknya disini dan dia memang marketnya disini. Kalau yang PMA, mereka sudah bikin di Singapura atau Thailand, kenapa harus bikin lagi disini? Makanya harus dicari faktor lain yang dapat membuat mereka bisa hadir di Indonesia. Salah satunya dengan jangan push, mereka harus membuat produk yang sama yang sudah mereka bikin di negara tetangga. Produk itu ngga akan masuk ke Indonesia,” kata Ichwan, di Jakarta, Selasa (2/7).

Menurut Ichwan, jika Permenkes tersebut dicabut kemudian proses impornya dibebaskan kembali, maka akan menyebabkan produk-produk dari PMA membanjiri pasar Indonesia. Itulah yang diinginkan oleh PMA, dengan tidak perlu membangun pabrik baru di Indonesia, namun mereka tetap bisa mengekspor produknya ke Indonesia.

“Memang itu maunya mereka. Tetapi dengan begitu kan berarti investasi tidak ada, bagi kami, nga ada untungnya kalau bagi BKPM. Kan kita maunya ada investasi yang masuk,” jelas Ichwan.

Ichwan menyarankan Permenkes No 1010 tersebut ditinjau ulang atau direvisi bersama dengan kebijakan-kebijakan dibawahnya atau kebijakan yang paralel, yang dapat saling mendukung, sehingga apa yang dilakukan ini bisa implementatif.

“Jadi jangan bikin kebijakan yang mengawang-ngawang tanpa petunjuk yang jelas mengimplementasikannya seperti apa,” kata Ichwan.

180

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR