Home Milenial Pentingnya Revisi Batas Usia Minimum Perkawinan Anak

Pentingnya Revisi Batas Usia Minimum Perkawinan Anak

Jakarta, Gatra.com – Perlunya revisi pasal 7 ayat 1 mengenai batas usia minimum dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menjadi upaya Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencegah terjadinya pernikahan dini.

Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Lenny N. Rosalin menilai RUU tersebut dapat menurunkan angka pernikahan anak di bawah umur. 

“Mereka terhindar dari kekerasan di dalam rumah tangga, serta mendapatkan haknya yang sesuai dengan usia anak,” kata Lenny saat dialog media terkait isu perkawinan anak di Kantor KemenPPPA, di Jakarta, Jumat (12/7).

Lenny menyebutkan sejumlah aspek penting dalam RUU batas usia minimum tersebut, diantaranya aspek kesehatan. 

Menurut Lenny, perkawinan anak di bawah umur kerap menyebabkan masalah kesehatan. Mulai dari kesehatan mental ibu, risiko penyakit menular, gangguan kehamilan, kesehatan bayi serta gizi buruk (stunting), yang dapat mengancam jiwa anak dan ibunya. 

“Seorang anak di bawah umur dianggap belum memiliki kesiapan atau kematangan organ reproduksi untuk menghasilkan bayi. Banyak kasus kematian ibu akibat dari perkawinan anak usia dini,” katanya.

Adapun aspek pendidikan lanjut Lenny, bahwa anak perempuan yang menikah di bawah umur cenderung akan putus sekolah. Apalagi, saat kondisi anak tersebut sudah mengandung. Kesempatannya untuk melanjutkan sekolah sangat kecil. 

“Paling tidak, dengan adanya revisi undang-undang ini dapat mendorong anak-anak untuk menyelesaikan pendidikan, minimal sampai tingkat SMA dan sederajat. Pemerintah mengupayakan pelaksanaan program wajib belajar 12 tahun terus berlangsung,” katanya.

Kemudian sektor pekerjaan kata Lenny, ketika pendidikan rendah, baik itu anak perempuan maupun laki-laki yang terjebak dalam pernikahan dini, secara tidak langsung akan memunculkan potensi kemiskinan. 

“Dengan pendidikan yang rendah, kemampuan intelektual mereka juga terbatas. Akhirnya, anak-anak ini terpaksa bekerja apapun membiayai kehidupan mereka, meski belum memasuki usia pekerja. Setelah drop out, low skill, low salary dan timbul poverty,” imbuh Lenny.

212

KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR