Home Ekonomi Apkasindo Kecewa Kepada BPDPKS

Apkasindo Kecewa Kepada BPDPKS

Pekanbaru,Gatra.com  - Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung, menyesalkan sikap Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang sampai sekarang belum juga menepati janjinya untuk membangun pabrik mini CPO dan pabrik minyak goreng. 

Padahal sudah sejak tiga tahun kata Gulat janji itu  diumbar. "Kayaknya kita enggak perlu berharap banyak pada BPDPKS. Akan lebih baik seperti itu dari pada kecewa," katanya kepada Gatra.com, Sabtu (13/7). 

Tadinya Apkasindo sudah merencanakan pembangunan sejumlah pabrik mini di Indonesia. Di Riau sendiri misalnya, pabrik minyak goreng bakal dibangun di kawasan Kubu Kabupaten Rokan Hilir (Rohil). 

Pabrik itu ditaksi akan menggiling 15 ton Tandan Buah Segar (TBS) perhari dan menghasilkan minyak goreng 600 kilogram perjam. Untuk ini duit yang bakal habis ditaksir sekitar Rp3 miliar. 

Nah, untuk yang semacam ini kata Gulat, Apkasindo membikin skema pembiayaan lewat BPDPKS, investor dan hasil urunan petani Sawit. 

Tapi sayang, janji BPDPKS masih sebatas wacana. "Untuk sarana dan prasarana yang sudah diprogramkan BPDPKS sejak tahun lalu saja realisasinya masih nol persen. Ini cukup merepotkan, apalagi Pemprov dan Pemkab tidak lagi menggelontorkan APBD lantaran menilai biaya petani dan Sawit sudah diurusi BPDPKS," katanya. 

Mestinya kata Gulat, BPDPKS peka terhadap usulan dan kebutuhan petani. Sebab duit yang selama ini dikelolah oleh Badan Layanan Umum (BLU) itu sebahagian besar bersumber dari hasil petani. Dan petani itu mayoritas ada di Riau. Artinya, dari 22 provinsi penghasil kelapa sawit di Indonesia, Riau adalah daerah penghasil terbesar. 

Itulah makanya kata Gulat, tak berlebihan kalau BPDPKS sedikit lebih mencurahkan perhatian ke Riau. "Kita berharap mereka memberikan perhatian kepada seluruh wilayah penghasil sawit. Namun kita enggak bisa menampik kalau Riau adalah barometer perkebunan kelapa sawit rakyat di Indonesia," ujarnya. 

Gulat kemudian menyodorkan data begini; luas kebun sawit di Riau hingga 2018 mencapai 4,4 juta hektare. Dari lahan seluas itu, 55,1 persen adalah milik petani swadaya. 

Dan angka luasan tadi bertengger pada 31 persen dari 14,3 juta hektar kebun kelapa sawit di Indonesia. "Pada tahun 2017, asumsi Bank Indonesia menyebut 39,31 persen ekonomi Riau dipengaruhi oleh kelapa sawit," ujar Gulat. 

Menurut Gulat ini sangat masuk akal lantaran perputaran duit dari sektor ini mencapai Rp5 triliun perbulannya. Itu data Bank Indonesia 2014.

Dan kalau ditengok dari data luas kebun sawit di Riau dan harga TBS tahun 2018, maka perputaran uang dari sektor sawit di Riau saja sudah mencapai angka Rp11 triliun perbulan.

Dari angka tadi tentu sudah bisa dibilang bahwa kelapa sawit telah menjadi primadona. Tapi persoalan yang muncul justru, kelapa sawit malah ikut menjadi penyumbang angka kemiskinan. Pada tahun 2018 ada sekitar 500.440 penduduk Riau terjerembab dalam kemiskinan. Kebanyakan adalah mereka yang berkecimpung di sawit tadi. 

Dan ironisnya, kasus bertambahnya angka kemiskinaan yang disumbang oleh sektor perkebunan sawit tadi bukan cuma di Riau, tapi hampir di seluruh provinsi penghasil TBS, dan yang terparah di Indonesia Timur.

Munculnya persoalan kemiskinan di sektor sawit tadi kata Gulat dipicu oleh sederet persoalan, salah satunya adalah rantai pasok TBS ke PKS yang cukup panjang. 

"Memang harga sawit turun. Tapi ada persoalan lain yang mendera petani sawit. Katakanlah saat menjual. Banyak sawit garapan petani tidak bisa masuk ke pabrik lantaran perusahaan lebih memprioritaskan buah sawit hasil garapan petani mitra (petani plasma). Konsekuensinya petani non mitra mau tak mau menjual sawitnya ke pedagang pengumpul," katanya. 

Di satu sisi kata Gulat, kehadiran pedagang  pengumpul TBS sangat dibutuhkan petani swadaya, tapi di sisi lain keberadaannya justru memperpanjang rantai pasok ke PKS. 

Lantaran rantai pasok panjang, harga pun makin tak karuan. Saat ini misalnya, harga TBS untuk periode 10 s/d 16 Juli 2019 di Riau senilai Rp1.325,25 per kilogram. 

Harga tadi berlaku untuk sawit dengan umur 10-20 tahun. "Dari data yang kami miliki, harga yang diterima oleh petani sawit 30-40 persen lebih rendah dari harga kesepakatan yang tiap minggu dirapatkan di tiap Dinas Perkebunan yang ada di Indonesia. Di wilayah Timur Indonesia lebih parah lagi, selisi harga antara harga Disbun dan pengumpul bisa mencapai 50-60 persen," ujar Gulat. 

Menurut Gulat, yang semacam ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Pemerintah dan aparat hukum harus tegas. "Ini sudah delik penipuan. Pedagang pengumpul maupun PKS harus ditertibkan soal tataniaga TBS ini, harus ada sertifikasi pedagang pengumpul TBS yang notabene sebagai suplayer TBS ke PKS. Biar jelas aturan mainnya. Soal siapa yang layak melakukan sertifikasi, silahkan pemerintah yang menentukan. Yang pasti, ini enggak boleh dibiar" suara Gulat terdengar tegas. 

Bagi Gulat, kalau sertifikasi sudah ada, akan saling percaya dan saling untung, karena toh juga petani yang cuma punya kebun 1-2 hektar tak mungkin menjual langsung TBSnya ke PKS. Apalagi jarak kebun ke PKS lumayan jauh. 

Lalu menurut Gulat, sebenarnya dimanapun, tidak ada bedanya. Paling yang membedakan hanya besaran rendemen dan jenis sawit. Apakah Tenera atau Dura. "Yang pasti semua buah sawit menghasilkan CPO. Bukan berarti buah sawit dari Indonesia Timur itu menghasilkan CPO bekas sehingga itu jadi alasan untuk menurunkan harga TBS petani di sana," sindirnya.

Oleh rumitnya persoalan di kelapa sawit tadilah makanya Apkasindo kata Gulat berharap supaya pemerintah membikin lembaga khusus kelapa sawit. "Minimal adalah Dirjen kelapa sawit di Kementerian Pertanian (Kementan)," katanya. 
 
Lalu, untuk mengantisipasi persoalan TBS tadi pula makanya Apkasindo keukeuh mendirikan pabrik mini. Baik itu CPO maupun refinery (minyak goreng). 

Tujuannya untuk mengurangi ketergantungan petani sawit terhadap pabrik milik perusahaan besar dan sebagai cara petani untuk lebih kreatif. "Refinery itukan sudah industri hilir dan petani kami banyak yang bisa membikin itu," tegas Gulat.  

Tapi lagi-lagi itu tadi lah, BPDPKS yang tugasnya mengurusi duit sawit tidak peka. "Di kantor DPP Apkasindo ada 2 lemari proposal usulan petani sawit terkait pabrik mini itu. Tapi saya pesimis menyodorkan proposal itu. Sebab jangankan pabrik mini, untuk pengadaan pisau dan tangkai dodos saja enggak jelas sampai sekarang, padahal dananya sudah dianggarkan sekitar Rp190 miliar" rutuk Gulat.

BPDPKS kata Gulat musti paham bahwa duit yang dikelola oleh BPDPKS itu, 42 persen adalah uang petani sawit. Artinya yang menggaji orang di BPDPKS itu sebagiannya adalah duit petani. 

"Mestinya BPDPKS langsung tanggaplah atas usulan dan kebutuhan petani. Sudah 1 tahun ini petani menjerit karena selalu jadi korban akibat tidak stabilnya harga CPO, janganlah lagi BPDPKS memperburuk situasi petani. Kami sudah menyiapkan surat terbuka kepada presiden, supaya kinerja BPDPKS ini dievaluasi. Saya tidak mengatakan semua gagal, di sektor PSR sudah jalan, alhamdulillah tahun depan sudah ada yang panen," ujar Gulat. 

Gulat mengingatkan bahwa tidak ada waktu untuk berwacana, "Kerja, kerja, kerja. Menurut kami petani, BPDPKS segera membiayai pabrik minyak goreng di sentra perkebunan rakyat terkhusus di Indonesia Timur, miris hati jika mendengar harga sawit di sana hanya Rp450 perkilogram. Semua teknologi pabrik minyak goreng sudah ada, PPKS Medan sangat ahli untuk itu. Dan tak usah khawatir produk minyak goreng tidak laku di pasar moderen, sebab untuk kebutuhan kami petani sawit saja masih kurang," katanya.

Dan satu lagi, berkepanjangannya masa paceklik harga TBS kata Gulat, sebenarnya juga bisa diatasi dengan memberikan bantuan modal kepada petani untuk melakukan diversifikasi usaha. 

"Apakah menanam nenas, memadukan peternakan dengan kebun. Peternakan lembu misalnya, enggak perlu harus lembu limousin, lembu lokal saja biar enggak repot perawatannya. Atau tindakan lainya yang membuat petani punya pendapatan alternatif, seperti mengedepankan pendekatan tumpang sari dengan batas tertentu di lahan kebun. Kalau ada niat serius dari BPDPKS, semuanya bisa dilakukan dan petani enggak akan sempat sampai terpuruk seperti sekarang," katanya. 
 

1114