Home Gaya Hidup Masjid Raya Sawahlunto, Bangunan Klasik Bekas Gudang Senjata

Masjid Raya Sawahlunto, Bangunan Klasik Bekas Gudang Senjata

Sawahlunto, Gatra.com - Masjid Nurul Islam atau Masjid Raya Sawahlunto merupakan satu dari sekian bangunan yang mencorakkan sejarah pertambangan batubara di Sawahlunto, Sumatera Barat. Bangunan klasik itu dibangun pada masa penjajahan kolonial Belanda, sezaman dengan pembangunan Lubang Tambang Mbah Soero, Museum Goedang Ransoem, Museum Kereta Api, dan PT Bukit Asam.

Masjid yang terletak di Kelurahan Kubang Sirakuak Utara, Kecamatan Lembah Segar, Kota Sawahlunto tersebut terletak tidak jauh dari Museum Kereta Api. Keberadaannya tidak sulit ditemui karena masih berada di jantung kota Sawahlunto atau kawasan kota tua.

Pengunjung yang pertama kali berkunjung ke kota itu bisa melihat cerobong asap dari kejauhan yang kini sudah disulap menjadi menara masjid dengan tinggi mencapai 75 meter. Arsitektur masjid Nurul Islam juga unik dan berbeda dari masjid kebanyakan di Sumatera Barat.

Dilihat dari sejarahnya, masjid yang dibangun pada masa penjajahan Belanda ini pada awalnya adalah pusat pembangkit listrik bertenaga uap atau PLTU. Bangunan itu dibangun pada tahun 1894 dan berubah fungsi menjadi masjid sejak tahun 1952. Sebelum difungsikan menjadi tempat ibadah, bangunan itu juga sempat difungsikan sebagai tempat perlindungan dan perakitan senjata oleh para pejuang kemerdekaan di Sawahlunto selama revolusi Indonesia.

Masjid yang saat ini dijadikan pusat pendidikan islam di kota tambang itu berukuran 60 × 60 meter dan memiliki satu kubah besar di tengahnya yang dikelilingi oleh empat kubah dengan ukuran lebih kecil. Menara masjid begitu kentara terlihat seperti cerobong asap, karena bentuknya yang bulat dan tertutup layaknya cerobong, dilengkapi dengan tangga besi sampai puncak.

Tapak, bak air di belakang, basement,dan menara masjid merupakan bagian-bagian yang tersisa dari PLTU pertama di Sawahlunto. Ruang basement menjadi bukti arkeologis, arsitektur dan struktur konstruksi bangunan sentral listrik yang dibangun pada akhir abad 19.

Sementara di bawah bangunan masjid terdapat lubang perlindungan yang pernah dipakai untuk merakit senjata, granat tangan, dan mortir. Pada halaman depan atau sebelah kiri tangga menuju masjid terdapat terowongan kereta api untuk mengangkut batubara. Pengunjung masih bisa menemukan sebuah lori (kereta kecil) berisi batu bara, lengkap dengan jalur rel kereta api.

Pertumbuhan infrastruktur di Kota Sawahlunto dipicu karena adanya aktivitas pertambangan batubara, dan mengalami perkembangan pesat pada akhir abad ke-19. Sejalan dengan itu, pemerintah Hindia Belanda membangun pusat pembangkit listrik bertenaga uap (PLTU) untuk dapat menggerakkan berbagai mesin dengan memanfaatkan aliran Batang Lunto di Kubang Sirakuak pada 1894.

Namun mengingat debit air sungai yang berada di pinggir PLTU tersebut kian berkurang, pemerintah Hindia Belanda pada 1924 memindahkannya ke Salak, Talawi, yang memanfaatkan aliran Batang Ombilin sebagai lokasi baru pembangkit listrik.

Dimulainya kegiatan pertambangan batubara di Sawahlunto berawal dari seorang ahli pertambangan Belanda, Willem Hendrik de Greve, yang meneliti dan menemukan cadangan batu bara di sepanjang alur Sungai Ombilin pada 1867.

Pemerintah kolonial Belanda 20 tahun setelahnya mulai membangun infrastruktur guna menunjang kegiatan penambangan batubara. Seperti jalur kereta api ke Teluk Bayur, yang dipergunakan untuk mengangkut batubara ke luar negeri. Daerah tersebut mulai dieskploitasi secara besar-besaran sejak 1891 dengan mengerahkan pribumi sebagai pekerja tambang hingga berakhirnya masa penjajahan Belanda.

1118