Home Gaya Hidup Imaji dan Teka-teki di Rumah Restu

Imaji dan Teka-teki di Rumah Restu

Yogyakarta, Gatra.com - Perupa Restu Ratnaningtyas menggelar pameran tunggal ‘Ranah/Tanah’ di Rumah Seni Cemeti, Kota Yogyakarta. Restu mengetengahkan imaji dan imajinasi tentang rumah dan batas-batasnya.

Ilustrasi dan imaji tentang rumah juga berbagai benda yang biasa ada di rumah, saat Gatra.com menyambangi 'rumah' karya-karya Restu ini pada Jumat (19/7), bertebaran di pameran ini.

Gambaran berbagai hal tentang rumah dalam sejumlah medium, ukuran, hingga pendekatan, itu terasa dekat dan akrab, tapi sekaligus juga menimbulkan kesan ganjil dan penuh teka-teki.

Dalam ‘Terjadi, Maka Terjadilah #2’, karya cat akrilik berdimensi 89 x 91 centimeter, Restu menampilkan kasur merah yang jamak ditemui di rumah-rumah masyarakat menengah ke bawah. Namun di situ kasur itu tergulung, bukan tergelar, seakan tak hendak dipakai. Di sampingnya, dua orang terlihat juga bergulung; terikat, tak bisa-apa.

Baca Juga: Suara Seniman Perempuan Via Perabot dan Patung Kaca

Di sebelahnya, ‘Terjadi, Maka Terjadilah’, kain linen 114 x 145 centimeter untuk taplak jadi medium ilustrasi tentang tumpukan benda pecah belah. Karya dua dimensi ini dikombinasikan dengan instalasi berupa meja dengan hamparan pecahan genting.

Tak jauh dari karya ini ada ‘Relung #2’, 32 potong tungkai kaki dengan tiap ujung berupa telapak dan jarinya. Gerabah 8 x 30 x 16 centimeter ini seperti kaki-kaki yang selonjor tapi dengan ruang terbatas.

Narasi keterbatasan, bahkan keterkungkungan, di rumah sendiri juga tampak pada ‘Membatu’, karya cat air pada kanvas 110 x 150 centimeter. Ilustrasi seorang perempuan yang terduduk dengan kaki dibelenggu kotak semen ini langsung mengacu pada wujud protes ibu-ibu Rembang yang lahan taninya digusur untuk pabrik semen.

pameran
Pameran Tunggal Restu Ratnaningtyas 'Ranah/Tanah' di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta. (GATRA/Arif Koes Hernawan/ft)

Kurator pameran ini, Alia Swatika, menyebut Restu mencatat pengalaman masa kecil ketika dipaksa pindah karena konflik sosial tentang kepemilikan tanah. Seniman asal Tangerang kelahiran 1981 itu mengurutkan memorinya itu ia dewasa dan mesti berpindah pindah rumah--termasuk mukimnya kini di Yogyakarta-- karena berbagai situasi personal.

“Kisah sederhana ini ketika direfleksikan dalam jarak tertentu membuatnya bisa memetakan peristiwa yang awalnya tampak melalui psikologis sebagai fenomena sosial,” tulis Alia dalam pengantar pameran ‘Ranah/Tanah’.

Baca Juga: Karya TKW di Tengah Pameran 4 Seniman Taiwan

Dari ingatan atas tanah rumah, batas fisik, dan aspek-aspek lain inilah, Alia menyatakan seniman yag pernah berpameran di 'mnemonikos: Art of Memory' di Thailand dan di 'The Roving Eye' di Turki, juga tampil di pertunjukan solo 'Subsume' di Los Angeles, Amerika Serikat, itu masuk pada soal ranah.

“Tanah jadi semacam penegasan batas atas gagasan tempat sebuah rumah berpijak, selaligus menegaskan rumah sebagai relasi manusia dengan kondisi natural,” kata Alia.

Satu-satunya imej rumah yang biasa dan standar hanya muncul pada bagian karya ‘Dikomposisi’. Namun, gambar rumah limasan khas Jawa dari cat air itu, digabungkan dengan jahitan aneka lembaran yang biasa ditemukan di rumah, seperti serbet, sarung, taplak, hingga karung beras, hingga membentuk semacam tenda ukuran 2x3 meter.

Melalui 13 karya yang dipamerkan sejak 28 Juni hingga 30 Juli 2019 ini, Restu seakan mengajak untuk keluar-masuk ke rumah, ruang paling intim, tapi sekaligus juga penuh teka-teki. “Gagasan rumah, secara fisik dan mental, muncul dalam imajinasi-imaji yang terpotong tak utuh dan jadi puzzle yang disebarkan dalam banyak bentuk di pameran ini,” ujar Alia.

 

539