Home Ekonomi Kolom : Indonesia Menuju Daulat Pangan

Kolom : Indonesia Menuju Daulat Pangan

Pemerintahan saat ini berjalan dengan basis sembilan agenda prioritas pembangunan di bidang politik, ekonomi serta kebudayaan yang dikenal dengan sebutan Nawacita. Di bidang pertanian dan pangan Nawacita diterjemahkan sebagai upaya pembangunan pertanian untuk mewujudkan kedaulatan pangan Indonesia. Akhir-akhir ini banyak partai dan tokoh partai yang juga menawarkan konsep pembangunan pertanian ke pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Konsep yang dibawa selalu berkisar di tiga hal yaitu kemandirian pangan, stop impor pangan dan pangan murah.

Pembangunan pertanian 2015 – 2019 juga menggunakan narasi kedaulatan pangan walaupun kemudian berubah menjadi upaya untuk mencapai swasembada beras di tahun 2016, jagung 2017, kedelai serta gula konsumsi tahun 2019 dan peningkatan produksi daging sapi. Berbagai program digulirkan yang praktis tidak berbeda dengan pemerintah sebelumnya yaitu subsidi benih dan pupuk, UPSUS Pajale (padi, jagung, kedelai) serta bagi-bagi alat dan mesin pertanian. Anggaran pertanian dan pangan meningkat tajam dengan total Rp 409 trilyun selama 4 tahun terakhir (2015 – 2018).

Antara Target dan Realitas

Bila mengacu data dari Kementerian Pertanian terjadi peningkatan tajam produksi padi dengan rata-rata 3,00 persen per tahun selama 17 tahun terakhir (2001 – 2018). Rata-rata peningkatan produksi padi pada pemerintahan saat ini (2015 – 2018) bahkan mencapai 4,07 persen per tahun dengan produksi dari 50,46 juta ton Gabah Kering Panen (GKG) (2001) menjadi 83,04 juta ton GKG (2018).

Bila angka-angka tersebut benar maka Indonesia seharusnya menjadi eksportir beras terbesar di dunia dengan surplus beras belasan juta ton tiap tahunnya. Setelah melalui kritik dan perdebatan panjang Presiden akhirnya memerintahkan untuk melakukan koreksi data produksi padi. Badan Pusat Statistik (BPS) kemudian mengkaji metode baru yang dikenal dengan nama Kerangka Sampel Area (KSA) yang berbasis citra satelit. Metode tersebut digunakan untuk menekan sekecil mungkin campur tangan manusia yang selama ini menyebabkan data menjadi bias kepentingan sektoral.

Tahun 2018 BPS mengeluarkan angka produksi padi sebesar 56,5 juta ton GKG, sedangkan data produksi padi yang dikeluarkan Kementerian Pertanian46,9 persen lebih tinggi dibanding hasil KSA.Berdasarkan perhitungan produksi berbasis citra satelit, rata-rata peningkatan produksi padi pada 2001 – 2018 hanya 1,00 persen bahkan saat ini (2015 – 2018) hanya tumbuh 0,28 persen per tahun (D.A. Santosa 2019 diolah dari data World Food Program 2001 – 2017 dan BPS 2018).

Dengan demikian produksi padi nyaris stagnan dan dibawah laju pertumbuhan penduduk. Kekurangannya ditutupi melalui impor beras dan konversi konsumsi beras ke gandum. Volume impor beras pada pemerintahan saat ini justru lebih tinggi yaitu sebesar 1,177 juta ton per tahun dibanding pemerintah sebelumnya (0,902 juta ton per tahun, 2005 – 2014). Sedangkan konsumsi gandum meningkat rata-rata sekitar 150.000 ton tiap tahunnya.

Fenomena unik terjadi pada komoditas jagung. Untuk mencapai target (seolah-olah) swasembada jagung 2017, Kementerian Pertanian sejak tahun 2016 melakukan pembatasan impor jagung. Impor kemudian menurun tajam dari 3,50 juta ton menjadi 1,33 juta ton, ironisnya diikuti dengan kenaikan impor gandum pakan yang harganya lebih mahal. Rata-rata impor gandum pakan periode 2016 – 2018 meningkat sebesar 2,57 juta ton per tahun (Basis Data Ekspor Impor Kementan 2011 – 2018, Grain Report USDA 2013 – 2018).

Tidak hanya itu, impor delapan komoditas utama yaitu beras, jagung, kedelai, gandum, ubi kayu, bawang putih, kacang tanah dan gula justru melonjak dari 21,95 juta ton (2014) menjadi 27,62 juta ton (2018) atau kenaikan tajam sebesar 5,67 juta ton hanya dalam waktu empat tahun. Tahun 2017/2018 Indonesia menjadi importir gandum dan gula terbesar di dunia dengan total impor 12,5 juta ton untuk gandum (Index Mundi 2019) dan 4,45 juta ton untuk gula (Statista 2019).

Bagaimana tentang ekspor pangan yang selalu dibangga-banggakan? Ekspor komoditas pangan dalam pemerintahan saat ini justru mengalami penurunan dari 1,306 milyar US$ (2014)menjadi 0,877 milyar US$ (2018). Surplus neraca perdagangan pertanian Indonesia tertolong dari komoditas yang paling kecil menerima bantuan ataupun intervensi pemerintah yaitu sub-sektor perkebunan terutama kelapa sawit.

Merengkuh Asa

Dengan demikian konsep yang sering ditawarkan yaitu kemandirian pangan, stop impor pangan, dan pangan murah apalagi ditambah “Lumbung Pangan Dunia” menjadi konsep yang hanya sekedar populis dan mengada-ada. Pemerintah periode kedua saat ini dihadapkan dengan impor pangan yang luar biasa besar yaitu sebesar 27,6 juta ton. Perlu terobosan besar untuk mengurai masalah tersebut bahkan hanya sekedar untuk mempertahankan volume impor pangan saat ini agar tidak bertambah.

Untuk mengurai masalah tersebut perwakilan jaringan tani dari Jawa Timur hingga Jawa Barat berkumpul dalam “Rembug Tani” (Joglo ICBB 21/7/2019) dan menyepakati 7 usulan. Pertama, peningkatan kesejahteraan petani. Janji meningkatkan kesejahteraan petani selalu kontras dengan target inflasi pangan rendah bahkan deflasi yang kemudian dirayakan sebagai sebuah pencapaian besar.

Kedua, masalah lahan pertanian pangan yang semakin menyempit. Sekalipun redistribusi lahan untuk petani kecil dan pencetakan sawah menjadi program unggulan, tetapi dalam kenyataannya luas lahan pangan justru terus menyusut. Luas lahan baku sawah yang semula 8,1 juta hektar (2012), 7,75 juta hektar (2013) menyusut menjadi hanya 7,1 juta hektar (ATR/BPN 2018). Upaya reforma agraria seperti program transmigrasi di masa lalu perlu dilakukan lagi dengan menggunakan konsep baru untuk memperkecil potensi gejolak sosial yang muncul.

Ketiga, perlindungan harga di tingkat usaha tani praktis tidak pernah dilakukan, yang sering dilakukan justru upaya intervensi harga ketika harga komoditas pangan naik. Paradigma tata kelola pangan perlu diubah dan memfokuskan diri pada penjaminan harga yang memadai bagi usaha tani.

Keempat, sistem perdagangan pangan internasional hampir selalu tidak adil bagi petani kecil karena subsidi pertanian yang besar di negara-negara produsen pangan utama yang menyebabkan harga pangan di pasar internasional dalam katagori low artificial price. Perlu kekuatan negoisasi yang besar sehingga kepentingan petani kecil terlindungi yang diikuti dengan upaya peningkatan produksi dan perlindungan harga pangan domestik.

Kelima, sudah menjadi rahasia umum bahwa berbagai subsidi dan bantuan banyak yang tidak tepat sasaran. Pengalihan bantuan beras sejahtera (rastra) menjadi transfer uang ke penerima manfaat meningkatkan volume beras yang diterima sebesar 46 persen (Susenas 2018) atau dengan kata lain saat program rastra (sebelumnya raskin) dilakukan terjadi pemborosan anggaran sebesar 46 persen yang seharusnya menjadi hak masyarakat miskin. Potensi kebocoran yang mirip juga terjadi di subsidi pupuk, benih, bantuan alat dan mesin pertanian serta berbagai program yang ada.

Keenam, diversifikasi pangan selalu menjadi jargon yang selalu muncul di setiap program terkait pertanian dan pangan. Kenyataan yang ada politik pangan mengerucut ke politik beras dan berakhir di gandum. Proporsi gandum sebagai pangan pokok meningkat tajam dari 21,0 persen (2015) menjadi 25,4 persen (2017). Perlu upaya luar biasa untuk menuntaskan masalah dan kemudian mewujudkan diversifikasi pangan.

Ketujuh adalah meningkatkan kedaulatan petani. Hak dan kedaulatan petani saat ini mencapai titik nadir ketika berbagai aturan dan undang-undang membatasi gerak dan langkah mereka. Perlindungan dan pemberdayaan petani terlalu indah untuk diucapkan saat belasan petani pemulia jagung dihadapkan dengan masalah hukum di tahun 2005 - 2010 di Kediri. Kejadian berulang saat ini ketika petani dari Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Aceh menjadi tersangka karena mengembangkan dan mengedarkan benih padi IF8 karya petani kecil AB2TI Karanganyar yang jelas mampu meningkatkan produksi dan pendapatan petani kecil 50 hingga 100 persen.

Sudah saatnya kita muliakan petani, dan berupaya keras untuk meningkatan kedaulatan dan kesejahteraan mereka. Karena itulah syarat perludalam upaya besar untuk meningkatkan produksi dan mewujudkan kedaulatan pangan, bukan melalui konsep, jargon dan retorika kosong.


Dwi Andreas Santosa

Guru Besar IPB, Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) dan Associate Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia

161