Home Ekonomi Saat Petani Membuka Mata Uni Eropa

Saat Petani Membuka Mata Uni Eropa

Jakarta, Gatra.com - Pertemuan di Menara Astra lantai 38 di kawasan Jalan Sudirman Jakarta Selasa (23/7) itu, nyaris seperti pertemuan dua keluarga yang sudah saling tahu isi hati masing-masing. Bicara lepas dan sesekali diselingi tawa.

Padahal, pertemuan itu sebenarnya sangat resmi. Dua delegasi Uni Eropa untuk Indonesia-Brunai Darussalam, Michael Bucki (Climate Change & Environment Counsellor) dan Charles-Michel Geurts (Deputy Head Of Delegation Charge d'affaires a.i) sedang menjamu tamunya, Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo).

Datang ke sana, Ketua Umum DPP Apkasindo, Ir. Gulat Medali Emas Manurung, MP memboyong pengurus teras (Sekjen DPP Apkasindo Rino Afrino, ST, MM, Ir. Amin Nugroho, Nesto Rico, S.Sos, Djono A Burhan, S.Kom, MMgt (Int. Bus), CC, CL), anggota dewan pakar, Victor Yonathan, SH, M Not dan anggota dewan pembina, Mayjen TNI (Purn) Erro Kusnara, SIP.

Mereka duduk semeja, bicara lepas tentang lika-liku perkelapasawitan di Indonesia dan kaitannya dengan kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II yang bakal diberlakukan pada 2024.

Gulat mulai cerita panjang lebar tentang perkelapasawitan di Indonesia, tentang upaya petani untuk menjadi petani kelapa sawit berkelanjutan berazaskan konsep Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).

"Sejujurnya, kami punya tradisi sejak zaman leluhur, bahwa kami harus bersahabat dengan alam dan menjadi bagian dari alam itu untuk melanjutkan kehidupan kami. Enggak lebih khawatir orang lain tentang kepunahan di Negeri ini dibanding kami sendiri," kata lelaki yang juga auditor resmi ISPO ini kepada Gatra.com, Rabu (24/7).

Kepada dua delegasi tadi, Gulat cerita bahwa kelapa sawit tidak hanya sekadar urusan produksi dan lingkungan, tapi di dalamnya ada sekitar 24 juta jiwa manusia yang menggantungkan hidup. Cukup komplit, lantaran 42 persen kebun kelapa sawit di Indonesia dikelola oleh petani sawit swadaya.

Itulah makanya saat isu RED II menggelinding, sangat berdampak kepada petani. Petani kelapa sawit menderita lantaran oleh isu tadi, harga Tandan Buah Segar (TBS) atau Fruit Fresh Bunches (FFB) jatuh.

Pasar kadung menganggap isu RED II itu sebagai bentuk ketidakpastian masa depan sawit dan cenderung dimanfaatkan para oknum eksportir CPO untuk meraup keuntungan ganda.

Menderitanya petani sawit kata Gulat, sebenarnya juga sangat merugikan UE lantaran oleh penderitaan itu, daya beli masyarakat Indonesia secara makro berkurang, "Seperti itulah adanya," kata Gulat.

Erro mengamini apa yang dikatakan Gulat itu. Bahwa sawit adalah komoditas utama Indonesia. Jutaan petani dan keluarganya bergantung pada sawit itu.

"Saya menyarankan, demi menjaga stabilitas harga TBS sawit dan pendapatan petani sawit, ada baiknya Eropa tidak menyebarkan berita negatif tentang sawit. Sebab banyak sisi positif yang harus dikedepankan juga. Secara tidak langsung berita negatif akan berpengaruh kepada harga TBS," katanya.

Memang kata Gulat, di sisi lain isu RED II itu ada juga dampak positif kepada petani kelapa sawit. Petani menjadi lebih inovatif, petani jadi berusaha untuk mengembangkan kelapa sawit menjadi minyak goreng dan turunan lain.

Meski begitu, sebelum RED II diberlakukan kata Gulat, Apkasindo akan memperlihatkan upaya-upaya nyata yang telah dilakukan kepada petani di seluruh Indonesia terkait prinsip-prinsip pengelolaan perkelapasawitan secara berkelanjutan tadi.

Dan yang jelas kata Gulat, petani sawit Indonesia sudah berupaya dengan sangat serius untuk bisa menjadi petani berkelanjutan sesuai arahan pemerintah melalui konsep ISPO, termasuk DPP Apkasindo juga telah menyurati secara resmi Presiden Uni Eropa dua bulan lalu. "Upaya-upaya tadi suatu keharusan buat kami petani, untuk juga berperan menyelamatkan sawit Indonesia" katanya.

Djono kemudian menimpali bahwa petani sawit saat ini sudah move on, tidak bisa lagi dianggap sebagai petani tradisonal.

"Petani sawit sudah melakukan replanting dengan konsep intensifikasi yang dibantu oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), bukan ekstensifikasi. Ini menjadi pertanda bahwa produktivitas adalah tujuan, bukan luas," katanya.

Bagi Victor Yonathan, salah satu elemen penting dalam pembahasan kebijakan RED II adalah terkait legalitas dan persoalan lingkungan.

"Saat ini, dalam diri petani sudah tumbuh kesadaran dan kemudian melakukan berbagai upaya untuk memenuhi segala aspek legalitas (perizinan, sertifikasi dan lainnya). Mereka juga makin konsen memperhatikan dampak lingkungan saat mengelola kebun kelapa sawitnya," ujar Victor.

Jadi,"Perlu kami sampaikan bahwa isu kelapa sawit yang menjadi penyebab deforestasi di Indonesia, dengan tegas kami bantah. Revisi terhadap RED II memang telah dilakukan, namun kami meminta agar tetap dibuka ruang dialog hingga tercapai sebuah kebijakan yang memuaskan semua pihak," pintanya.

Setelah mendengar sederet paparan tadi, Michael mengatakan bahwa Uni Eropa (UE) paham kalau sawit memberikan dampak positif bagi perekonomian Bangsa Indonesia, sawit telah muncul sebagai komoditi yang bisa mengentaskan kemiskinan dan menjaga kestabilan sosial.

UE kata Michael tidak membuat peraturan khusus untuk Indonesia, "Kami membuat peraturan untuk memastikan bahwa bahan bakar biofuel yang digunakan oleh orang-orang di Eropa terbarukan, tidak membunuh monyet dan tidak mengakibatkan deforestasi," ujarnya.

Sebab masyarakan Eropa kata Michael sangat peduli dengan penggunaan energi terbarukan yang tidak merusak lingkungan.

"Jadi Eropa hanya ingin memastikan bahwa bahan bakar yang digunakan berasal dari sawit yang dikelola secara berkelanjutan," tegasnya.

Nah, sebelum peraturan RED II diberlakukan, Eropa kata Charles membuka diri untuk diskusi dan berdialog dengan Apkasindo sebagai organisasi Petani Sawit.

Tujuannya tentu untuk mendapatkan informasi lebih presisi dan akurat sebagai bahan revisi RED II nanti. UE juga kata Charles sedang menelaah dan mematangkan definisi "renewable" untuk meminimalisir kesalahpahaman terkait apa yang dimaksud dengan energi terbarukan itu.

Kemudian UE juga akan menilai kriteria komoditas sawit high-risk atau low-risk terhadap deforestasi. Namun satu hal yang perlu diingat kata Charles, UE akan memperlakukan sawit petani secara khusus.

"Lalu, gimana caranya mendata para petani sawit ini? Tidak mungkin kan kita mendatangi para petani satu persatu," Michael bertanya.

Rino yang mendengar pertanyaan itu spontan memperlihatkan Kartu Tanda Anggota (KTA) Apkasindo kepada Michael.

"KTA ini adalah cara kami untuk mendata para petani sawit yang ada diseluruh Indonesia dan ini sedang kami kebut," terang Rino.

Menengok KTA itu, Michael sedikit kaget dan manggut-manggut. "Ini adalah sebuah game changer, sesuatu yang luar biasa yang dilakukan untuk mendata para petani kelapa sawit dan KTA ini akan meningkatkan transparansi," katanya.

Singkat cerita, Charles dan Michael akhirnya berharap bisa berkomunikasi intens dengan Apkasindo,"Pintu kami selalu terbuka untuk Apkasindo berdikusi, berkoloborasi untuk mencari solusi," kata Michael.

Dan UE kata Michael sangat berharap bisa bekerjasama dengan Apkasindo demi memantapkan aturan RED II supaya tidak merugikan petani sawit di Indonesia.

"Ada 2 studi yang sedang dikerjakan oleh UE; TRUST dan Value Chain for Agriculture and Development. TRUST adalah sebuah penelitian mengenai performa kebun sawit. Di sini akan dicari tahu sederet hal yang antara lain; apakah kebun sawit sudah dikelolah secara berkelanjutan atau tidak. Lalu apakah petani sudah mendapatkan training sustainable atau belum," rinci Michael.

Performa tadi kata Michael akan dinilai menggunakan indikator dan hasil akhirnya adalah peta berwarna (hijau, kuning dan merah). Kalau kebun milik petani ini sudah dikelola secara berkelanjutan maka warnanya hijau dan jika belum sama sekali, warnanya merah. Data ini akan dispesifikasi berdasarkan kabupaten," ujar Michael.

Lantas studi kedua adalah mencari tahu seberapa bermanfaat kebun kelapa sawit bagi petani. Apakah meningkatkan perekonomian petani atau menurunkankan atau hanya dinikmati oleh segelintir korporasi.

"Saat ini kami memantau perkembangan seluruh aspek tentang sawit, tapi bisa jadi di masa depan kami juga akan memantau biofuel yang berasal dari minyak kedelai. Seperti yang di Brazil misalnya," kata Michael.

Michale menyebut, dengan komunikasi aktif, perbaikan tata kelola sawit berkelanjutan, pengolahan data dan informasi secara lebih luas dan transparan akan membikin sawit sudah low risk sebelum 2024.

"Saya mengajak Mr.Michael dan Mr.Charles untuk menghadiri groundbreaking peletakan batu pertama pabrik CPO pertama milik petani sawit di Kalimantan Selatan pada 5 Agustus mendatang," ajak Gulat.

Yang diajak pun langsung tersenyum mengangguk antusias sambil menyampaikan dengan senang hati mendengar kabar baik ini. Kabar baik yang dinanti oleh kalangan internasional.


Abdul Aziz

897