Home Politik Ikadin Kota Mataram Gelar Dialog Khilafah vs Nation State

Ikadin Kota Mataram Gelar Dialog Khilafah vs Nation State

 

Mataram, Gatra.com-Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Kota Mataram menggelar dialog terbuka dengan tema "Khilafah vs Nation State" di Mataram, Kamis, (25/7).

Dalam dialog tersebut, hadir cendekiawan muslim Indonesia, Ulil Abshar Abdalla. Selain itu, peserta juga berasal dari berbagai lintas organisasi seperti Ahmadiyah, Hizbut Tahrir Indonesia, dan Nahdlatul Ulama. 

Ketua Ikadin Kota Mataram, Irpan Suriadiata mengatakan, dialog terbuka ini merupakan bentuk kontribusi Ikadin untuk memberikan keilmuan tentang paham-paham yang ada di Indonesia.

"Ikadin sebagai organisasi advokat ingin berikan kontribusi melalui kegiatan diskusi. Sampai saat ini di negara muslim dan non-muslim berkembang dan tidak bergesekan," ucapnya.

Dia menekankan, diskusi ini bukan untuk mempertentangkan suatu paham atau ideologi, tapi untuk mengetahui lebih dekat terhadap paham atau ideologi tersebut.

Ketua DPD Ikadin NTB, Suryahadi menjelaskan, diskusi ini bukan saling membenturkan antar-keyakinan, tapi untuk menambah ilmu pengetahuan.

Mubaligh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), H. Saleh Ahmadi Mbsy, menjabarkan tentang Ahmadiyah. Dia menjelaskan, apa yang selama ini ditakuti masyarakat adalah tindakan keliru, karena menurutnya, Ahmadiyah turut membela Islam.

"Semua fitrah manusia, siapapun dia, sejatinya memerlukan kasih sayang. Ini prinsipnya khilafah yang kita tawarkan lahir dari pohon rindang ini. Khilafah yang kita nikmati tidak menjadi momok. Kami menawarkan khilafah Ahmadiyah tanpa batas," tuturnya.

Khilafah yang dimaksud Saleh yakni mampu menembus peradaban umat manusia seperti janji Allah untuk orang beriman dan melakukan amal saleh.

Dikatakan, khilafah pertama Ahmadiyah pada 1889 terjadi di Qadian, India, dengan khilafah Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad. Mirza konsen membela Islam saat Islam diserang dari berbagai penjuru. Aktif membela diri dari belenggu penjajah.

Cendekiawan Muslim Indonesia, Ulil Abshar Abdalla memaparkan secara garis besar, ada tiga jenis khilafah, yakni khilafah politik, khilafah keagamaan, dan khilafah rohani. Namun, dominasi dalam Islam adalah khilafah politik atau yang diistilahkan khilafah sia-sia.

"Dalam Islam yang dominan khilafah sia-sia atau khilafah politik. Khilafah sia-sia berlangsung lama dimulai wafatnya Rasulullah sampai hancurnya khilafah di Turki," ujarnya.

Menurut Ulil Abshar, perubahan karakter khilafah zaman dahulu, saat Muawiyah bin Abu Sofian mendeklarasikan khilafah. Tindakan menimbulkan protes, terutama di Madinah dan Makkah.

"Kemudian muncul perang besar, korbanya tragis sekitar 700 penghapal Al-qur'an sahabat nabi tewas dibunuh," jelasnya.

Ulil juga menjelaskan, sejarah khilafah pascakhulafaur Rasyidin. Dimulai dari Muawiyah bin Abu Sofian, kemudian diteruskan oleh anaknya Yazid bin Abu Sofian. Hingga runtuhnya kekhilafan Utsmani.

"1923 khilafah politik berakhir. Kemudian ada dua gerakan khilafah di India dan di Arab. Saat itu raja Saudi yang sedang kejatuhan Turki Utsmani. Raja-raja Arab kepingin mengganti posisi khilafah. Kemudian di India, tapi pudar," papar Ulil.

Setelah hancurnya khilafah, muncul negara bangsa, dan bentuk lain khilafah yaitu khilafah berbasis persaudaraan agama, seperti Ahmadiyah. "Ini kekuasaan yang tidak mengenal batas bangsa negara, seperti Katolik," ucap Ulil.

Terakhir, khilafah rohani yaitu para pengikut tarekat. Mereka mengenal pemimpin rohani yang menjadi pemandu rohani.

Khilafah politik, kata Ulil, bersebrangan karena bertabrakan dengan negara modern yang diakui bangsa-bangsa. Imbasnya, khilafah ditolak di semua negara modern.

 

410