Home Politik Gubri Bikin Tim Terpadu Sawit Ilegal, Ini Kata Pakar

Gubri Bikin Tim Terpadu Sawit Ilegal, Ini Kata Pakar

Pekanbaru, Gatra.com - Rencana Gubernur Riau (Gubri) untuk menertibkan perkebunan kelapa sawit ilegal di Riau telah membikin sejumlah petani resah, khususnya petani yang konon berada di kawasan hutan.

"Banyak yang takutlah, Pak. Takut kebun mereka akan digusur, takut kebun mereka akan diambil," cerita Hendra, salah seorang warga Pangean Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), kepada Gatra.com Senin (12/8).

Tak hanya di Kuansing, keresahan itu juga menjalar hingga ke Indragiri Hulu (Inhu), Kampar dan Rokan Hilir (Rohil). Rata-rata meraka adalah petani kelapa sawit yang selama ini dituding berada di kawasan hutan.

Pada 2 Agustus lalu Gubernur Riau, Syamsuar membikin surat keputusan nomor: Kpts.911/VIII/2019 yang isinya memutuskan untuk membentuk Tim Terpadu Penertiban Penggunaan Kawasan/Lahan Secara Ilegal di Provinsi Riau. Sejumlah stakeholder dilibatkan untuk itu, tak terkecuali aparat penegak hukum.

Dan pada Senin (12/8), Gubernur Riau kemudian menggelar rapat tertutup terkait Tim Terpadu itu di ruang kenanga kantor Gubernur Riau di kawasan jalan Sudirman Pekanbaru. "Iya, kami akan menertibkan perkebunan yang ilegal, tak ada izin dan sebagainya. Hari ini kita rapat," kata Syamsuar di kantor Gubernur Riau.

Inilah yang kemudian membikin kontroversi itu. Sebab dalam Instruksi Presiden nomor 18 tahun 2018 tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit disebutkan bahwa para gubernur di Indonesia hanya diinstruksikan oleh presiden untuk melakukan penundaan penerbitan rekomendasi/izin usaha perkebunan kelapa sawit dan izin pembukaan lahan kelapa sawit baru yang berada di kawasan hutan.

Melakukan pengumpulan dan verifikasi atas data dan peta izin lokasi dan izin usaha perkebunan atau Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan. Lalu menyampaikan hasil pengumpulan dan verifikasi kepada Menteri Pertanian dan Menteri Agraria.

Berikutnya, menindaklanjuti rekomendasi hasil rapat koordinasi dan menyampaikan usulan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk penetapan areal yang berasal dari pengembalian tanah dari pelepasan atau tukar menukar.

Di sisi lain, Presiden Jokowi juga sudah membikin sederet regulasi tentang penyelesaian persoalan tanah di kawasan hutan. Mulai dari Perpres 88 tahun 2017 hingga Permenko No 3 Tahun 2018 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Tim dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.

"Mestinya pelaksanaan sederet regulasi ini yang digencarkan oleh Gubernur Riau di daerahnya, bukan malah membentuk Tim Penertiban. Yang menjadi pertanyaan, legal dan ilegal itu versi siapa? Kalau versi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum tentu," kata Pakar Hukum Kehutanan, DR. Sadino kepada Gatra.com Senin (12/8).

Lalu kalau mau ditertibkan, itu untuk siapa, "Apa mau dihutankan? Dananya dari mana? Wong konsesi (izin Hutan Tanaman Industri) saja masih banyak yang tak terurus," Direktur Eksekutif Biro Konsultasi Hukum & Kebijakan Kehutanan ini bertanya.

Mestinya kata Sadino, pemerintah melakukan dulu apa yang disebut dengan ketelusuran regulasi. "Ricek dulu sejak kapan kebun itu ada dan regulasi seperti apa yang ada di saat itu. Jangan malah langsung mengorbankan kebun yang sudah ada. Sebab yang salah bukan hanya mereka, tapi juga pemerintah yang melakukan pembiaran. Ini setelah jadi kebun dan menghasilkan, dibilang ilegal," ujar Sadino.

Dosen Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Sudarsono Soedomo, PhD mengamini apa yang dikatakan Sadino tadi. "Yang ilegal yang mana? Ilegal itu pasti ada dasar hukumnya toh? Kalau ilegal lantaran kebun berada di kawasan hutan, bagi saya, kawasan hutan itu yang justru ilegal. Sebab kawasan hutan itu masih penunjukan. Penunjukan masih hanya satu dari empat poin yang musti dilakukan oleh otoritas kehutanan sesuai pasal 15 Undang-Undang 41 tahun 1999. Tiganya lagi belum, inilah makanya saya bilang ilegal," terang Sudarsono kepada Gatra.com.

Lantas kata Sudarsono, kalau kebun kelapa sawit tadi dibilang ilegal, mana yang lebih berdosa, mereka yang memanfaatkan lahan dengan baik untuk kemaslahatannya dibanding mereka yang menelantarkan lahan? "Menelantarkan lahan, itu kejahatan kemanusiaan lho. Sebab ada lahan yang ditelantarkan disaat manusia butuh lahan," ujarnya.

Sudarsono maupun Sadino berharap, ada baiknya Gubernur Riau tidak gegabah dalam penggunaan kata ilegal. "Pembinaan wajib dilakukan oleh pemerintah, bukan langsung memberikan punishment," kata Sadino.

Pendekatan pemanfaatan akan lebih baik dilakukan. "Ini sesuai dengan tujuan konstitusi Negara, sebesa-besarnya kemakmuran rakyat," kata Sudarsono pula.

Sama seperti yang dikatakan Sadino dan Sudarsono, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo), Rino Afrino, berharap, pemerintah justru mengedepankan pembinaan terhadap petani kelapa sawit maupun perusahaan perkebunan.

Sebab dengan pembinaan itu justru akan berdampak positif bagi kelangsungan ekonomi multi efek dan berdampak positif pula bagi citra negara di mata asing. "Saya pikir sudah cukup banyak solusi yang diberikan oleh Presiden Jokowi terhadap persoalan lahan ini. Ini barang kali yang justru lebih penting segera digeber, biar persoalan yang ada terurai dengan baik tanpa ada pihak yang dirugikan," pintanya.

 

1495