Home Ekonomi ISPO, Racun Sistemik Atau Kontak

ISPO, Racun Sistemik Atau Kontak

Pekanbaru, Gatra.com - Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Begitu sulit lelaki 56 tahun ini mengeja kata-kata itu. Selain panjang, bukan pula bahasa yang akrab di lidahnya.

"Enggak ngertilah saya apa sebenarnya ISPO itu. Kata orang sawit berkelanjutan. Entah apa pula itu. Tadinya saya enggak ambil pusing. Tapi setelah orang bilang tak lama lagi petani harus punya sertifikat ISPO dan kalau tak punya, sawitnya enggak laku, saya jadi kepikiran," kata Imanuddin, salah seorang petani kelapa sawit di kawasan Rakit Kulim Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau kepada Gatra.com, Selasa (20/8).

Ayah empat anak ini jadi risau lantaran kebunnya yang hanya empat hektar, disebut berada di kawasan. "Katanya syarat untuk dapat sertifikat ISPO itu, sawit tak boleh dalam kawasan. Sumpah! Pusing awak jadinya. Banyak betul peraturannya. Belum lagi kobun sawit katanya harus punya Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), ngurusnya saja minta ampun sulitnya," keruh wajah lelaki berkulit gelap ini setengah bergumam. Matanya yang mulai tak awas lagi, menatap jauh.

Belakangan ISPO jadi momok di kalangan petani sawit, khususnya mereka yang disebut berada di kawasan hutan. Momok ini semakin menjadi-jadi setelah ketahuan kalau aturan main soal sawit berkelanjutan ini sudah pula dibikin lebih serius, pakai Peraturan Presiden (Perpres). Rancangan tentang aturan main ini sudah dibikin sejak tahun lalu.

Tapi bagi praktisi perkebunan, Tungkot Sipayung, ISPO itu justru cuma sekadar tata kelola sawit berkelanjutan. Belum bisa dikategorikan sebagai standar atau sertifikasi. "Untuk sertifikasi, ada sederet tahapan yang harus dilewati," kata Doktor Ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) ini saat berbincang dengan Gatra.com, Senin (19/8).

Tungkot kemudian merunut, kalau kelapa sawit mau disertifikasi, musti ada dulu Standar Nasional Indonesia (SNI) nya. Yang mengeluarkan yang beginian adalah Badan Standar Nasional (BSN) dan yang mengurus ya Kementerian Pertanian.

"Kalau sertifikasi ini kemudian mau disebut berlaku di pasar Internasional, tentu harus dinotivikasikan dulu ke World Trade Organization (WTO). Kalau tahapan ini enggak dilewati, enggak bakal bisa lah," ujarnya.

Lantaran ISPO masih hanya sebagai tata kelola kata Tungkot, otomatis sifatnya adalah pembinaan. "Kewajiban pemerintahlah yang kemudian membina para petani tentang tata kelola itu," katanya.

Sebelumnya Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP APKASINDO) uring-uringan setelah membaca lembaran draft Perpres tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat Berkelanjutan Indonesia.

Kebetulan draf itu sudah menyebar dan menjadi omongan di kalangan petani maupun pemerhati kelapa sawit.

"Ini sudah enggak bener namanya. Kalau peraturan ini jadi, sama saja menyengsarakan petani kelapa sawit, tanpa wajib ISPO saja petani sudah babak belur oleh harga sawit saat ini. Selesaikan dulu persoalan inti dari persyaratan ISPO itu, mana yang paling berat bagi Petani, itu dulu yang dituntaskan. Apa itu? Sawit petani dalam kawasan hutan dan tata niaga TBS yang amburadul," katanya.

"Bagi saya Draft ISPO ini sudah kayak racun herbisida sistemik, sedikit disentuh rontok keseluruhan. Kita sudah 74 tahun merdeka, masa urusan hutan-non hutan ini enggak selesai-selesai. Saya yakin Presiden tidak mendapatkan infomasi yang utuh tentang persoalan petani yang masih terjebak dalam kawasan hutan," katanya kesal.

Sunyoto, petani sawit dari Kalimantan Timur lebih enggak habis pikir lagi, apalagi setelah menengok ada paraf Kasdi Subagyono, Dirjend Perkebunan dan sejumlah petinggi lain di draft itu.

"Saya hanya kenal nama Pak Kasdi. Apa benar Pak Kasdi sudah siap dengan segala resiko yang akan menimpa petani sawit Indonesia jika draf Perpres itu disahkan? Jangan main-main lah dengan peraturan, apalagi terkait 46 persen petani sawit Indonesia. Pak Kasdi tidak selamanya Dirjen, tapi kamilah yang selamanya jadi Petani, jadi jangan meninggalkan yang enggak baik bagi petani sawit Indonesia," ujar Sunyoto kesal.

Pakar Perhutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Sudarsono Soedomo, PhD malah geleng-geleng kepala terkait sertifikat ISPO itu. "Sampai hari ini Kawasan Hutan masih menjadi persoalan. Kalau persoalan ini enggak diselesaikan, sama saja aturan itu menyengsarakan petani. Sebab Tandan Buah Segar (TBS) petani kelapa sawit di kawasan hutan enggak akan laku lantaran tak mengantongi sertifikat ISPO. Yang menjadi pertanyaan kemudian, apa manfaat yang didapat pemerintah dari aturan semacam itu?" kata Sudarsono kepada Gatra.com.

Mantan Direktur Jenderal Perkebunan, Pro.Dr. Agus Pakpahan, tak menampik apa yang dikatakan Sudarsono tadi. Dia menyebut bahwa filosofi ISPO adalah guide line, standar perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.

Dalam ISPO itu ada norma yang musti dijalankan; kebun petani tidak boleh di kawasan hutan. "Tapi persoalannya adalah, kawasan hutannya bermasalah. Lalu ada norma di UUD 45 bahwa kekayaan yang ada di negara ini dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat," kata Agus.

Kalau kemudian norma di UUD 45 itu begitu adanya, apakah kemudian bisa dikalahkan oleh peraturan menteri yang hanya lokal teknis? "Enggak mungkin. Jadi, jangan memaksakan aturanlah," pintanya.

Kalau pemerintah berpihak kepada petani kata Agus, tidak perlu ada syarat kebun di kawasan hutan atau tidak di kawasan hutan. "Apalagi kawasan hutan nya belum ditetapkan. Akan lebih baik selesaikan dulu persoalan intinya," pinta mantan Dirjenbun ini.

Yang membikin Agus menjadi heran, kenapa hanya kelapa sawit yang musti ada sertifikat berkelanjutan? Kenapa karet, kopi, coklat, kelapa tidak dibikin sustainable? "Ada apa ini? Kok tanaman paling memberi devisa malah yang diobok-obok?" katanya.

Lalu soal status tanaman. "Apa bedanya sawit dan karet? Toh dua tanaman ini sama-sama bukan tanaman asli Indonesia. Karet ditetapkan oleh menteri sebagai tanaman hutan, kenapa kelapa sawit tidak? Tetapkan saja kelapa sawit jadi tanaman hutan, beres. Yang penting tidak bertentangan dengan tujuan produksi," pintanya.

Biar persoalan ini tidak berlarut-larut kata Sudarsono, Presiden Jokowi musti tegas. "Presiden musti paham betul tentang apa yang terjadi dengan perhutanan di Negeri ini. Sebab kalau dibiarkan berlarut-larut, ini akan menjadi masalah besar," Sudarsono mengingatkan.

Lalu Tungkot punya usul, kalau masih ngotot juga membikin aturan main supaya petani punya sertifikat ISPO, ada baiknya Presiden Jokowi perintahkan Menteri Pertanian untuk membikin draft Peraturan Pemerintah (PP) terkait Undang-Undang 39 tahun 2014 tentang perkebunan lalu PP itu disahkan.

"Sampai sekarang PP tentang itu kan belum ada. Jelaskanlah di PP itu tentang aturan main ISPO tadi. Jangan malah presiden diseret-seret supaya membikin Peraturan Presiden (Perpres). Sebab enggak ada kaitannnya itu dengan Perpres," katanya.

Kalau PP sudah beres, Menteri Pertanian susun standar dan sertifikasi berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian lalu notivikasi ke WTO. "Beres," katanya.


Abdul Aziz

1078