Home Ekonomi INDEF Nilai Target Penerimaan Pajak 2020 Terlalu OptImistis

INDEF Nilai Target Penerimaan Pajak 2020 Terlalu OptImistis

Jakarta, Gatra.com - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda berpendapat bahwa target pertumbuhan penerimaan perpajakan dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) sebesar 13,31% terlalu optimistis.

"Padahal pada outlook (pandangan APBN) 2019 tahun ini target pertumbuhan penerimaan perpajakan hanya tumbuh 8,18 persen atau sesuai dengan pertumbuhan natural perpajakan," jelasnya dalam Diskusi Online : Membedah Target Penerimaan Negara dalam RAPBN 2020, Kamis (22/8).

Huda mencatat, seringkali realisasi penerimaan pajak tidak mencapai target yang ditetapkan. "Terakhir penerimaan perpajakan mencapai target adalah tahun 2008 dimana artinya itu terjadi 10 tahun yang lalu," terangnya.

Kemudian, Ia menyebut lima permasalahan dl dalam mencapai target penerimaan perpajakan RAPBN 2020.

Permaaalahan pertama adalah program perpajakan tahunan semakin tidak efektif. Huda mencatat pertumbuhan penerimaan hingga masa pelaporan SPT (Surat Pemberitahuam Tahunan) bulan April melambat sejak 2017.

Pada tahun 2017, pertumbuhannya mencapai 19,22%. Kemudian, tahun 2018 menurun jadi 10,81% dan anjlok kembali menjadi 1,02,% pada tahun 2019.

"Selain itu, SPT tahunan kali ini hanya menghasilkan 24,53 persen dari target tahun 2019, menurun dari tahun lalu yang mencapai 26,91 persen. Ini menandakan pesta pelaporan pajak tahunan tahun ini kurang berhasil," terangnya.

Permasalahan kedua dalah rasio SDM perpajakan terhadap jumlah penduduk yang masih sangat rendah di Indonesia. Rasionya adalah 1:5,293 penduduk. Jika dihitung berdasarkan jumlah Wajib Pajak (WP), rasionya juga masih 1:936 WP. "Artinya beban SDM perpajakan masih sangat tinggi," tegasnya.

Huda membandingkan dengan negara lain seperti Malaysia (1:2.863), Jepang (1:2.269), Argentina (1:1851), Kanada (1:860), dan Jerman (1:742).

Permasalahan ketiga adalah tingkat kepatuhan perpajakan menurun drastis. Hingga Juni 2019, tingkat kepatuhan hanya 67,4 persen. Turun dari angka 72,6 persen pada tahun 2017. "Padahal jumlah WP terus bertambah. Ini menunjukkan basis data yang kurang bagus dari Otoritas Perpajakan," katanya.

Permasalahan keempat adalah kebijakan yang pro pebisnis. Menurutnya, Tax Amnesty jilid I tidak efektif dalam mendongkrak penerimaan pajak. "Maka tax amnesty jilid II kali ini perlu dipertanyakan terlebih usulan ini datang dari pengusaha yang memang mengincar pengampunan pajak lagi," ungkapnya.

Huda menambahkan penurunan tarif perpajakan juga tidak terlalu efektif karena hubungan dengan penerimaan pajak yang inselastis. "Artinya penurunan Tarif tidak serta merta efektif meningkatkan penerimaan perpajakan," sambungnya.

Permasalahan kelima adalah inefisiensi dan tidak efektifnya relaksasi fiskal. Huda menjelaskan belanja pajak (sebuah proksi untuk mengukur besaran biaya insentif fiskal) dari tahun 2016 ke 2018 selalu meningkat. Terakhir pada tahun 2018, belanja pajak sebesar Rp221,3 triliun.

"Namun yang terjadi adalah pertumbuhan ekonomi stagnan di angka 5 persen dan sektor industri manufaktur yang terus melambat pertumbuhannya. Artinya insentif fiskal yang sebegitu besar tidak efektif dan cenderung dinikmati golongan tertentu," tuturnya.

Selain itu, Huda berpendapat target penerimaan pajak sebesar 13,31% akan terke]ndala lesunya perekonomian global. Hal ini berdasarkan pada capaian penerimaan pada semester 1 2019 ini yang cenderung memburuk dari capaian semester tahun 2018. "Jadi sangat mungkin kondisi serupa terjadi pada tahun 2020," tegasnya.

Oleh karena itu, Huda menawarkan terobosan kebijakan perpajakan seperti :

1. Pajak Warisan. Pajak ini disamping akan menambah penerimaan negara juga akan mengurangi tingkat ketimpangan.

2. Kaji ulang pemberian insentif fiskal ke dunia usaha dan kaji ulang wacana penurunan tarif pajak badan usaha.

 

313