Home Ekonomi Petani Sawit; Menghitung Hari Untuk Bangkrut

Petani Sawit; Menghitung Hari Untuk Bangkrut

Pekanbaru, Gatra.com - Dua lembar kertas itu akhirnya melayang ke Istana Presiden dan DPR RI pekan lalu. Lembaran itu berisi sederet kegetiran hati para petani kelapa sawit yang ditulis oleh Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo).

Bahwa rancangan Peraturan Presiden (Perpres) yang mewajibkan petani kelapa sawit punya sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), telah menjadi puncak kegetiran itu. Draft itu semakin memperluas ruang penderitaan petani sawit di saat status kawasan hutan sampai sekarang masih terus mendera. Belum lagi harga Tandan Buah Segar (TBS) yang hancur-hancuran membikin petani seperti makan buah simalakama.

"Maaf ya, di saat seperti sekarang kami petani kelapa sawit tidak wajib mengantongi sertifikat ISPO saja, kondisi kami sudah babak belur, apalagi kalau sudah wajib, seperti yang diamanatkan dalam Draft Perpres ISPO itu. "Enggak tahulah apa yang akan terjadi," kata Dorteus Paiki, Ketua DPW Apkasindo Papua Barat.

Dorteus sangat tidak habis pikir kenapa draft Perpres tadi begitu sangat dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 11 tahun 2015 tentang ISPO. Di Permentan petani sawit tidak wajib punya Sertifikat ISPO. "Kalau dikaitkan dengan kondisi petani sawit saat ini, Permentan itu masih sangat relefan. Mestinya pemerintah menjalankan ini Permentan itu dulu sambil menyelesaikan persoalan kawasan hutan tadi. Kalau persoalan status kawasan hutan sudah beres, silahkanlah bikin petani wajib ISPO, enggak jadi soal," kata Dorteus.

Ketua Organisasi, Kader dan Keanggotaan DPP Apkasindo, Amin Nugroho tak menampik kalau tahun 2017 lalu Tim Perancang Perpres ISPO pernah sekali mengundang Apkasindo di acara FGD Draft Perpres ISPO. Tapi lepas itu, cerita ISPO lenyap. "Setelah hampir 3 tahun tak ada kabar, tiba-tiba muncul draft final Perpres. Setelah kamis kaji, draft itu sangat berbeda jauh dengan draft Perpres ISPO di FGD 2017 itu," kata Amin Nugroho, petani kelapa sawit Kalimantan Selatan (Kalsel) ini kepada Gatra.com melalui sambungan telepon.

"Mengadu kepada Presiden Jokowi menjadi pilihan terakhir bagi kami setelah lobi-lobi yang kami lakukan kepada otoritas terkait ISPO itu, mentok ," kata Ketua Umum DPP Apkasindo, Ir.Gulat Medali Emas Manurung, MP kepada Gatra.com melalui sambungan telepon Rabu (28/8).

Lelaki 47 tahun ini mengaku baru saja kembali dari Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) dan Instiper Jogyakarta untuk menyamakan persepsi tentang sawit petani berkelanjutan.

Gulat mengakui kalau petani punya banyak keterbatasan, selain minim modal, juga minim Sumber Daya Manusia (SDM). "Di sinilah semestinya stakeholder, khususnya pemerintah, hadir untuk membantu para petani kelapa sawit, menggiring mereka untuk muncul menjadi petani berkelas dan modern. Ini persis seperti apa yang tertuang dalam program Nawacita Presiden Jokowi dan pendiri Negara ini. Bahwa petani harus berdaulat di Negeri sendiri," ujar Gulat.

Dan walaupun stakeholder nyaris tak hadir di keseharian petani kelapa sawit mengurusi kebunnya, toh para petani tetap berusaha untuk menjadi lebih baik. Tanpa mau memberatkan pemerintah, mereka berusaha terus menyambung hidup. "Tapi yang kemudian terjadi adalah ketika sawit petani tumbuh subur dan bahkan ada yang sudah mau replanting, muncul tudingan kalau kebun mereka berada di kawasan hutan. Kok enggak dari awal membuka kebun tudingan itu nongol," kata Gulat merasa aneh.

Tudingan berada di kawasan hutan tadi langsung membikin petani klenger. Pertama, mereka dikejar-kejar oleh oknum aparat. "Lalu Tandan Buah Segar (TBS) tak laku setelah ada aturan bahwa Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dilarang menerima TBS dari kebun yang ada di kawasan hutan," kata auditor ISPO ini.

Gulat kemudian menyodorkan data bahwa dari sekitar 6 juta hektar kebun kelapa sawit rakyat yang ada saat ini, lebih dari 50 persen kebun itu berada di kawasan hutan, "Apa ini yang mau dihantam untuk wajib Sertifikat ISPO? Apakah Tim Penguatan ISPO sudah siap dengan segala konsukwensinya?" ayah dua anak ini bertanya.

"Bisa kita bayangkan akan seperti apa nasib mereka kalau TBS nya enggak laku di pabrik. Jumlah mereka enggak main-main lho. Ada sekitar 12 juta jiwa yang menggantungkan hidup dari situ," kata Gulat.

Di saat sederet persoalan tadi mendera petani, di saat itu pula pembahasan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang penguatan ISPO semakin kencang.

"Jujur saya jadi bertanya-tanya, siapa sebenarnya dibelakang ini semua? Kok enggak mikir ya, saya Auditor ISPO lho, jadi saya tahu persis kemana sasaran tembak draft Perpres itu," kata Gulat.

Di rancangan yang konon akan diteken oleh Presiden Jokowi sebelum Oktober 2019 itu disebutkan bahwa petani kelapa sawit wajib mengantongi Sertifikat ISPO. "Lagi-lagi saya bilang, saya bisa pastikan bahwa semua petani akan mau punya sertifikat apapun, demi kebaikan kebunnya. Sebab muaranya kan petani pengen harga TBS lebih mahal. Tapi di saat sertifikasi ISPO tadi mensyarakatkan bahwa kebun petani kelapa sawit tidak boleh di kawasan hutan, nyali petani langsung ciutlah," ujar Gulat.

"Beda kalau masalah pokok --- status kawasan hutan tadi --- beres, saya jamin, apapun sertifikasi yang disodorkan kepada petani, mereka akan mau menjalankan," kata Gulat.

Tapi kalau persoalan kawasan hutan ini enggak selesai dan kemudian petani dipaksa punya sertifikat ISPO, ini sama saja dengan membunuh petani. "Sekalipun petani sawit diberi rentang waktu 5 tahun atau bahkan 10 tahun baru wajib punya sertidikat ISPO, enggak akan ada artinya jika persoalan pokok tadi tidak diselesaikan. Sebab rentang waktu tadi enggak akan pernah menyelesaikan persoalan pokok petani. Dan ini artinya, petani cuma menghitung hari saja untuk bangkrut," tegas Gulat.

Beda kalau Pemerintah menyebut," Oke, 1 tahun kedepan semua kebun sawit petani sudah dikeluarkan dari kawasan hutan. Ini baru ada kepastian, enggak perlu repot-repot memberi rentang waktu hingga 5 tahun lah," katanya.

Nah, mumpung Perpres tadi belum diteken oleh Presiden Jokowi lah makanya DPP Apkasindo kata Gulat menceritakan keadaan petani yang sebenarnya lewat surat. Keadaan yang membikin mengapa petani sawit belum siap di-ISPO-kan. "Sangat besar harapan dari 116 DPD Apkasindo kabupaten kota se Indonesia, Presiden Jokowi mau menunda Perpres ISPO itu," Gulat berharap.

"Saya enggak berani membayangkan seperti apa nasib para petani kalau Perpres itu dipaksakan. Dan jujur, saya enggak yakin Presiden Jokowi mau menzolimi rakyatnya. Makanya saya curiga, ada sesuatu dibalik upaya 'pemaksaan' Perpres ini," tuding Gulat.

Di sisi lain, Pakar Perhutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Sudarsono Soedomo, PhD malah mempertanyakan apa manfaat yang didapat pemerintah dari 'pemaksaan' sertifikat ISPO tadi di saat petani sedang dirundung masalah besar.

"Sampai hari ini kawasan hutan masih menjadi persoalan. Kalau persoalan ini enggak diselesaikan, aturan itu sama saja dengan upaya membunuh petani. Sebab TBS petani kelapa sawit di kawasan hutan enggak akan laku lantaran tak mengantongi sertifikat ISPO," katanya.

Mantan Direktur Jenderal Perkebunan, Pro.Dr. Agus Pakpahan, tak menampik apa yang dikatakan Sudarsono tadi. Dia menyebut bahwa filosofi ISPO adalah guide line, standar perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.

Kalau pemerintah berpihak kepada petani kata Agus, tidak perlu ada syarat kebun di kawasan hutan atau tidak di kawasan hutan. "Sebab, kawasan hutan yang ada kan belum ditetapkan. Akan lebih baik selesaikan dulu persoalan intinya," ujarnya.

Bagi praktisi perkebunan, Tungkot Sipayung, ISPO itu justru cuma sekadar tata kelola sawit berkelanjutan. Belum bisa dikategorikan sebagai standar atau sertifikasi. "Membikin sertifikasi itu musti melewati sederet tahapan," kata doktor ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor ini.

Lelaki 53 tahun merunut, kalau kelapa sawit mau disertifikasi, musti ada dulu Standar Nasional Indonesia (SNI) nya. Yang mengeluarkan yang beginian adalah Badan Standar Nasional (BSN).

"Kalau sertifikasi ini mau berlaku di pasar Internasional, tentu harus dinotivikasikan dulu ke World Trade Organization (WTO). Kalau tahapan ini enggak dilewati, enggak bakal bisa lah," ujarnya.

Lantaran ISPO masih hanya sebagai tata kelola kata Tungkot, otomatis sifatnya adalah pembinaan. "Kewajiban pemerintahlah yang kemudian membina para petani tentang tata kelola itu, bukan malah menyusahkan," katanya.

Anggota DPR RI, Effendi Sianipar mengingatkan pemerintah untuk tetap membikin regulasi yang pro rakyat. "Apa yang menjadi masalah pokok mereka, akan lebih baik itu dulu yang diberesi. Kalau semua udah clear and clean, barulah regulasi baru tadi diterap. Menurut saya, Permentan 11 tahun 2015 tentang ISPO itu masih relevan dipakai, sembari memberesi masalah petani yang ada," katanya.

Memang kata kader PDI Perjuangan ini, DPR tidak wajib terlibat dalam penyusunan Perpres, tapi DPR wajib memberikan masukan kepada eksekutif terkait apapun yang berhubungan dengan kepentingan publik.


Abdul Aziz

48228