Jakarta, Gatra.com - Ahli Ekonomi Kultural Macquarie University, David Throsby mengatakan bahwa kultural ekonomi dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara luas, dan tidak hanya semata bertumpu pada aspek ekonomi. Hal itu disampaikan pada diskusi publik bertajuk "Cultural Economy Forum" di Jakarta, Kamis (5/8).
Ekonomi kultural yang dimaksud ialah dalam konteks seni dan budaya. Pemerintah, pada periode mendatang, telah resmi menggelontorkan dana sebesar Rp5 triliun untuk dana abadi kebudayaan untuk satu periode.
Jika sebelumnya pemerintah menggenjot sektor ekonomi kreatif, periode mendatang membawa mandat baru untuk membangun ekosistem kebudayaan yang lebih estetis lewat ekonomi kultural yang akan dijalankan Kemendikbud.
Demikian, ekonomi kultural yang diperkenalkan Throsby pada dasarnya sangat berbeda dengan apa yang diemban oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf).
"Jika tujuan ekonomi kreatif adalah meningkatkan keuntungan melalui nilai tambah, yang diukur berdasarkan perkembangan ekonomi, maka ekonomi kultural bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat luas," ujar Throsby kepada wartawan usai acara, Kamis (5/9).
Meski tampak bertentangan, lanjutnya, kedua jenis pandangan ekonomi ini justru saling mendukung. Kreativitas yang menghasilkan nilai tambah, dalam hal ini adalah ekonomi kreatif, justru akan lahir dari banyaknya produk budaya yang bisa menginspirasi masyarakat (ekonomi kultural).
Sebuah lagu, Throsby mencontohkan, bisa menjadi objek ekonomi kreatif karena ia merupakan bentuk ekspresi yang orisinil. Tapi sebuah lagu juga bisa menjadi objek ekonomi kultural karena ia memenuhi kebutuhan masyarakat atas estetika, makna, dan rasa.
"Bukan berarti bahwa ekonomi kultural tidak membawa keuntungan finansial, namun ia memberikan manfaat sosial-budaya yang jauh lebih luas sehingga hanya bisa diukur di luar kategori ekonomi," tambahnya.
