Home Politik SDM Unggul Melalui Vokasi Belum Menjawab Persoalan

SDM Unggul Melalui Vokasi Belum Menjawab Persoalan

Jakarta, Gatra.com - Presiden Joko Widodo berkeinginan mewujudkan sumber daya manusia (SDM) unggul. Peneliti Pendidikan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Anggi Afriansyah menuturkan, ini merupakan langkah tepat menghadapi bonus demografi 2020-2030. 
 
"Tapi perlu diperhatikan juga dalam berbagai aspek pendidikan vokasi, belum menjawab kebutuhan dunia kerja," ujarnya kepada Gatra.com, Jumat (13/9).
 
Menurutnya, praktik riil yang dilakukan pemerintah masih jauh dari harapan. Terutama untuk menciptakan SDM unggul demi menyongsong Industri 4.0. Sampai saat ini, program vokasi merupakan salah satu yang menjadi program unggulan pemerintah untuk pengembangan keterampilan tenaga kerja.
 
Kajian LIPI tahun 2018 berjudul 'Strategi Menyiapkan Sumber Daya Manusia Di Era Digital', memetakan sejumlah persoalan mengenai pengembangan kompetensi vokasi. Pertama perihal Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan sumber daya manusia (SDM) lulusan SMK.
 
Instruksi Presiden itu ditujukan untuk dua belas kementerian, satu lembaga pemerintah nonkementerian, dan 34 gubernur. Namun, beleid itu tidak cukup memayungi kebutuhan pengembangan vokasi di Indonesia. Pasalnya, peraturan itu hanya memberikan aturan bagi pengelolaan SMK.
 
Persoaan berikutnya mengenai kurangnya sinergi antarkementerian atau lembaga di level pusat maupun daerah. Pada tingkat pusat ada MoU antar beberapa kementerian yang bertujuan untuk mensinkronkan pengembangan vokasi di Indonesia. 
 
Namun, penyamaan visi dan operasionalisasi itu belum berjalan optimal. Dalam implementasinya, setiap kementerian atau lembaga kemudian lebih fokus pada peta jalannya masing-masing. Nantinya, arah prioritas pengembangan vokasinya menjadi berbeda. "Kebijakan vokasi membutuhkan kolaborasi dan sinergi seluruh stakeholder di pusat maupun daerah," tambahjya. 
 
Sejauh ini pengembangan keterampilan tenaga kerja didorong oleh Balai Latihan Kerja (BLK) dan Badan Latihan Kerja Daerah (BLKD). Namun, dari segi anggaran LIPI ditemukan sekitar 23% pengeluaran rutin BLKD berasal dari pemerintah pusat. Pengeluaran sekitar 60% berasal dari pemerintah pusat dan hanya 40% yang berasal dari pemerintah daerah. Hal ini berdampak pada terbatasnya jumlah peserta pelatihan yang dapat dilakukan oleh BLKD.
 
Kemudian ditemukan juga masalah perihal pimpinan BLKD ditunjuk oleh pemerintah daerah melalui rotasi jabatan tanpa memperhatikan kompetensi yang 
dibutuhkan untuk mengembangkan BLKD di era digital. Hal itu berdampak terhadap kinerja BLKD dalam mengelola program terutama pelatihan di daerah. 
 
Apalagi sebagian besar pelatih di daerah sudah berusia lanjut yaitu diatas 51 tahun dan kurang mendapatkan pembaharuan dalam program-program yang dibutuhkan oleh dunia industri di era revolusi 4.0.
176