Home Ekonomi Asosiasi Tolak Kenaikan Cukai Rokok Sebesar 23%

Asosiasi Tolak Kenaikan Cukai Rokok Sebesar 23%

 

Jakarta, Gatra.com -Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono mengatakan, sektor industri hasil tembakau merupakan industri legal. Hal ini masih menjadi tumpuan hidup lebih dari 6 juta orang.

Setiap tahun, pemerintah mengandalkan produk hasil tembakau (HT) untuk memenuhi target penerimaan perpajakan. "Rata-rata setiap tahun, cukai hasil tembakau berkontribusi sebesar 10% dari penerimaan perpajakan," kata Hananto ketika dihubungi Gatra.com, Senin (16/9).

Malahan, kata Hananto, kontribusi rokok secara keseluruhan (cukai, PPN HT, pajak rokok) terhadap penerimaan pajak rata-rata setiap tahun mencapai 13,1% .

Pada 2018, terjadi pengendalian konsumsi. Penurunan produksi selaras dengan tingkat prevalensi merokok pada usia dewasa, atau mengalami penurunan sekitar 9,6% dari prevalensi nasional.

"Hingga saat ini terdapat berbagai regulasi baik di tingkat nasional maupun daerah, yang mempengaruhi keberlangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT)," ujarnya.

Oleh sebab itu, menurutnya, wacana kenaikan tarif cukai hasil tembakau rata-rata 23% dan harga jual eceran rokok naik rata-rata 35% oleh pemerintah. Kondisi itu bisa berakibat pada maraknya rokok ilegal yang berpengaruh pada target penerimaan dari cukai hasil tembakau sebesar Rp171,9 triliun di tahun 2020.

Kenaikan cukai hasil tembakau terlampau jauh dari angka inflasi dan asumsi pertumbuhan ekonomi. Tentunya ini akan berakibat pada industri hasil tembakau sebagai industri yang menyerap tenaga kerja, pendapatan negara, penyerapan bahan baku, dan maraknya rokok ilegal.

Menurutnya, terlepas dari alasan utama menaikkan cukai rokok, maka dampak langsung dari kenaikan tarif cukai rokok pada konsumen. Dalam hal ini konsumen rokok.

"Konsumen adalah di ujung mata rantai stakeholders yang mau tak mau akan terimbas harga rokok. Meski dimungkinkan untuk melirik alternatif lain dalam mengkonsumsi rokok pascakenaikan cukai rokok," tuturnya.

Apalagi, Hananto melanjutkan, dikaitkan pula dari kemampuan daya beli masyarakat. Semakin tinggi persentase kenaikan cukai, maka semakin less affordability, maka akan berdampak terhadap target penerimaan negara dari cukai hasil tembakau.

"Faktanya sampai dengan hari ini kenaikan cukai yang berlebihan menjadi stimulant pertumbuhan rokok ilegal," ungkapnya.

Maka dari itu, Hananto mengatakan, jika rokok ilegal semakin marajalela, maka semua pihak akan dirugikan, yaitu pabrikan rokok legal, pekerjanya, serta para petani tembaku dan cengkeh. Pemerintah juga akan dirugikan karena rokok ilegal tidak membayar cukai.

"Kenaikan yang sangat drastis tersebut akan berdampak kepada berkurangnya lapangan pekerjaan, dan menurunnya produksi rokok," imbuhnya.

Sehubungan dengan itu, tambahnya, AMTI meminta pemerintah untuk mempertimbangkan keberlangsungan para pemangku kepentingan Industri Hasil Tembakau (IHT). Terutama dalam melaksanakan kebijakan maupun membuat peraturan yang dapat berpengaruh kepada petani, pekerja, dan pelaku usaha.

"Di samping itu, AMTI juga meminta pemerintah melibatkan para pemangku kepentingan IHT. [Khususnya] dalam perumusan kebijakan dan perundang-undangan yang mempengaruhi keberlangsungan IHT," pungkasnya.

438