Home Ekonomi Harga Lada Jatuh, Hilirisasi jadi Kunci

Harga Lada Jatuh, Hilirisasi jadi Kunci

Jakarta, Gatra.com - Direktur Pengembangan Produk Ekspor, Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN), Kementerian Perdagangan (Kemendag), Ari Satria, mengungkapkan, nilai ekspor lada turun dari US$235,96 juta pada 2017 menjadi US$152,47 juta pada 2018. Pada periode yang sama, volume ekspor naik dari 42.691 ton menjadi 47.620 ton.

Ari mengakui, salah satu kendala pengembangan lada adalah harganya yang fluktuatif. Pihaknya bersama International Pepper Community (IPC) tengah berupaya melakukan stabilisasi harga lada dunia.

"Oleh karena itu, IPC coba membahas bagaimana meng-create demand [menciptakan permintaan] lada ini. Tidak hanya sebagai bumbu masak. Hilirisasi produk sebuah keharusan," ujarnya dalam Forum Diskusi Hari Lada 2019 di Hotel Akmani, Jakarta, Selasa (17/9).

Kemudian, ia mencontohkan manfaat lada di bidang kesehatan seperti melawan obesitas, memperkuat tulang, menjaga kebalan tubuh, mengatasi masalah pencernaan, dan membunuh sel kanker yang belum termanfaatkan karena kurangnya sosialisasi.

"Mungkin kalau kita bekerja sama dengan akademesi, banyak manfaat bagi kita. Kita bisa meng-create demand tersebut," katanya.

Ari menekankan, pentingnya mempromosikan lada Indonesia di kuar negari. Ia mencontohkan, lada putih muntok Bangka dan lada hitam Lampung yang memiliki nilai tambah lebih karena memiliki indikasi geografis. Ia juga mendorong adanya edukasi bagi konsumen untuk menggunakan produk-produk berbasis laba.

"Perlu ada upaya untuk menyosialisasikan kelebihan-kelebihan lada di Indonesia. Kita dari Kemendag mencoba untuk bisa hilirisasi," katanya.

Ari mengharapkan adanya koordinasi dengan Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan akademisi dalam upaya hilirisasi lada.

Ari mengaku siap mendunkung pengurusan sertifikasi produk hak kekayaan intelektual bagi pelaku usaha yang mengekspor produk berbasis lada.

"Kami dari dirjen PEN bisa membantu dari market intelligence [kecerdasan pasar]. Kadang-kadang pihak petani atau produsen yang menjadi masalah dari sisi informasi," terangnya.

Sementara itu, Staf Ahli Menteri Perdagangan Bidang Perdagangan Internasional, Arlinda, mengungkapkan, rendahnya harga lada dunia saat ini disebabkan oleh suplai yang lebih tinggi dibandingkan konsumsi, sehingga terjadi ekses (kelebihan) produksi.

Arlinda mengungkapkan, harga lada putih dan lada hitam pernah mencapai Rp157 ribu per kikogram dan Rp121 ribu per kilogram untuk lada hitam pada 2016. Saat ini, harganya Rp37 ribu per kilogram untuk lada putih dan Rp22 ribu per kilogram untuk lada hitam.

Kemudian, ia mengungkapkan, Indonesia kerap saling ekspor dan impor lada dan produk turunannya dari negara-negara produsen lada seperti India, Vietnam, dan Malaysia.

"Apakah kita mengekspor selama ini dalam bentuk mentah diolah mereka, kemudian masuk ke kita dalam bentuk terolah dan memiliki nilai tamba tinggi?" ujarnya.

Arlinda menekankan pentingnya penguatan kelembagaan atau inovasi-inovasi diversifikasi produk berbasis lada yang dihasilkan.

Kepala Subdirektorat Lada, Pala, dan Cengkeh, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Galih Surti Solihin, mengatakan, pihaknya mendorong adanya korporasi petani untuk menguatkan kelembagaan petani lada.

"Kelembagaan ekonomi juga tak dapat dilepaskan. Kami ingin petani-petani membentuk kelompok. Dari kelompok tani menjadi gapoktan, dari gapoktan menjadi koperasi, sehingga bargaining position [posisi tawar] lebih tinggi. Kita harus lebih jeli apa yang dikerjasamakan," ujarnya.

1878