Home Ekonomi Kakao Indonesia Siap Mendunia

Kakao Indonesia Siap Mendunia

Jakarta, GATRAreview.com - Sebagai negara pengolah produk kakao terbesar ke-3 dunia, Indonesia berpeluang meningkatkan ekspornya. Beragam upaya perbaikian dikaji dari hulu hingga hilir.

Pada 2018, sekitar 328.329 ton, atau setara 85% produk pengolahan kakao merupakan komoditi ekspor. Bahkan, ekspor komoditi kakao ini berhasil menyumbang devisa negara hingga US$1,13 miliar. Sedangkan produk kakao olahan yang dipaasarkan didalam negeri sebesar 58.341 ton atau sekitar 15%.

“Sekarang, industri pengolahan kakao menghasilkan produk cocoa liquor/massa, cocoa butter, cocoa cake dan cocoa powder,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, Jakarta, Selasa (17/9) seperti dilaporkan Ryan Puspa dari Gatra.

Sayangnya, Airlangga mengakui, saat ini produk kakao olahan yang dihasilkan umumnya masih dalam bentuk setengah jadi. Akibatnya, banyak produk makanan berbasis kakao yang diproduksi oleh negara yang bukan produsen biji kakao seperti Belgia, Belanda, Perancis, dan Jepang. Sehingga nilai tambah produk olahan kakai lebih banyak dinikmati negara lain daripada di dalam negeri.

“Sehingga nilai tambah produk olahan kakao lebih banyak dinikmati oleh negara lain dari pada di dalam negeri,” tuturnya.

Oleh karena itu, pemerintah mendorong pengembangan industri hilir kakao yakni makanan coklat. Upaya yang dilakukan, mendorong promosi produk olahan kakao dan cokelat Indonesia dalam rangka meningkatkan konsumsi dalam negeri.

Data peningkatan ekspor tentu menjadi pemacu pemerintah dalam memaksimalkan potensi industry kakao. Seakan tak ingin kehilangan momentum, industri kakao ini termasuk dalam industri prioritas Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035.

Airlangga menyebut, pengembangan hilirisasi industri pengolahan kakao diarahkan untuk menghasilkan bubuk kakao, lemak kakao, makanan dan minuman dari cokelat, suplemen dan pangan fungsional berbasis kakao, kosmetik, dan farmasi. Saat ini, Indonesia memiliki 20 perusahaan industri pengolahan kakao dengan kapasitas 747 ribu ton per tahun. Namun, pencapaian utilisasinya hanya mencapai 59%.

Selain industri hilir, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendorong pelaku industri kakao juga masuk sektor hulu. Tujuannya, meningkatkan kualitas komoditas kakao dalam negeri, untuk meningkatkan ekspor.

"Menurut saya memang harus ada investasi. Kalau pemerintah melakukan replanting, tetapi mungkin dari sisi angggaran sulit. Jadi mestinya industri masuk ke hulu," kata Wakil Ketua Umum Kadin bidang Makanan Olahan dan Industri Peternakan, Juan Permata Adoe saat ditemui Qanita Azzahra di Menara Kadin, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (4/9).

Lebih lanjut, Juan menuturkan, saat ini industri kakao Indonesia masih lemah di sektor hulu. Hal itu terlihat, dari masih banyaknya impor kakao Indonesia. Hingga saat ini, pelaku industri yang tertarik untuk fokus pada pengelolaan hulu di komoditas Kakao masih sangat sedikit. Menurut Juan, hal itu terjadi karena masih banyak pelaku industri yang menilai, produk olahan kakao memiliki nilai jual rendah.

"Masih kecil investasinya. Dia [ada investasi] membina petani bahan baik yang bagus, dia bisa ekspor ke Swiss," ujarnya.

kakao
Petani menjemur biji Kakao. (ANTARA Foto/Basri Marzuki/ft)

Komoditas Perkebunan Andal di Pasar Eropa

Neraca perdagangan Indonesia untuk produk kakao dan turunannya selalu menunjukkan trend positif dari tahun ke tahun. Tahun 2018 ekspor kakao Indonesia ke Uni Eropa mencapai US$215.2 juta. Naik sebanyak 22% dibandingkan nilai ekspor di tahun 2017 yakni sebesar US$201.7 juta,” ujar Atase Pertanian Indonesia (ATANI) untuk Belgia di Kota Brussel, Wahida.

Angka ini baru ± 1% dari total nilai impor Uni Eropa (UE) untuk produk kakao dan turunannya, yang mencapai US$27.4 miliar. Negara importir kakao ke UE terbesar adalah Pantai Gading senilai US$4 miliar, Ghana US$1.5 milar, dan Nigeria US$672 juta. Berdasarkan data yang dilansi oleh Eurostat, Uni Eropa merupakan negara pengonsumsi kakao terbesar di dunia, yakni sebesar 8-9 kg/kapita/tahun.

“Indonesia berkomitmen untuk meningkatkan volume ekspor kakao dan produk turunannya yang berkualitas dan sustainable,” sambung Wahida dalam keterangan tertulis.

Atase Perdagangan KBRI di Brussel, Merry Astrid Indriasari menambahkan, pengamanan akses pasar komoditi strategis melalui liberalisasi tarif menjadi kunci dalam perundingan IEU CEPA.

Menurut Astrid, hal ini diyakini juga bisa mendorong laju ekspor komoditi kakao dan produk turunannya ke pasar UE. Hingga saat ini, Indonesia telah mengusulkan initial offer untuk lebih dari 10 ribu pos tarif, termasuk di dalamnya kakao dan produk turunannya.

“Kita harapkan ini bisa mempercepat proses negosiasi untuk mengejar ketertinggalan dengan negara ASEAN lainnya yang sudah memiliki FTA dengan UE,” ujar Astrid.

Di dalam negeri permintaan akan biji kakao sebenarnya juga meningkat. Atase Pertanian KBRI Brussel, Wahida menyebutkan, selain mengekspor biji kakao, saat ini industri pengolahan biji kakao untuk re-ekspor juga sedang berkembang di dalam negeri. Sebagai catatan, lanjut Wahida, di tahun 2018 Indonesia mengimpor biji kakao sebanyak 240 ribu ton dengan nilai impor mencapai US$528 juta. Supply biji kakao nasional yang tersedia masih belum mampu mencukupi kapasitas terpasang industri olahan kakao.

“Pabrik-pabrik pengolahan kakao mengolah biji kakao menjadi intermediate goods untuk selanjutnya diekspor ke negara-negara konsumen utama seperti Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang,” jelas Wahida. Menurut catatan Astrid, hingga saat ini cacao butter masih menjadi produk unggulan ekspor Indonesia dengan volume ekspor mencapai 24.6 ribu ton di tahun 2018.

Sejumlah langkah pun dilakukan untuk mengembalikan kejayaan kakao di Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian, menurut Wahida melakukan sejumlah upaya. Salah satunya dengan transfer teknologi untuk pengendalian pengakit vaskular-streak dieback (VSD) dan Phytopthora Pod Rot Disesase pada tanaman coklat. Selain dana pemerintah, industri kakao terkemuka di Eropa, Mondelez menyatakan ketertarikannya untuk mendanai proyek ini. Proyeknya akan melibatkan para peneliti dari Pusat Penelitian Tanaman Kakao dan Kopi (Puslitkoka) di Jember dan diharapkan akan dapat dilaksanakan dalam 1-2 tahun mendatang.

Peluang ini muncul setelah pemerintah berhasil menegosiasi pada pertemuan International Cacao Council ke-99 di Abudjan, Pantai Gading pada tanggal 8-13 April 2019. Upaya menghadirkan produk kakao yang berkualitas dan berkelanjutan menjadi tanggung jawab bersama pemangku kepentingan di sepanjang rantai supply chain dari komoditas kakao di Tanah Air.

Selain itu, kolaborasi dengan asosiasi industri (ECA), global inisiatif seperti World Cacao Foundation, serta inisiatif lokal seperti “Beyond Chocolate Partnership”, akan menjadi faktor pendorong bagi negara-negara produsen untuk mengakselerasi kemampuannya menghadirkan produk kakao bermutu tinggi, berkelanjutan dan sesuai dengan permintaan pasar.

Beyond Chocolate Partnership adalah kesepakatan yang dibangun antara Deputi Perdana Menteri Belgia Alexander De Croo bersama-sama dengan pelaku industri, retail coklat di Belgia yang berkomitmen untuk menghasilkan produk coklat yang berkelanjutan. Akses pasar untuk produk coklat yang berasal dari biji kakao yang berasal dari perkebunan yang tidak melibatkan pekerja anak (child labor), bukan hasil deforestasi (combating deforestation) dan mampu menghasilkan pendapatan yang memadai bagi petaninya (ensuring a livable income for local cocoa producers) terbuka sangat lebar untuk pasar Belgia.

“Indonesia harus mampu memanfaatkan akses pasar yang sangat menjanjikan ini melalui revitalisasi kebun-kebun coklat, penggunaan bibit berkualitas serta penguasaan teknik budidaya mengikuti konsep Good Agriculture Practice serta peningkatan pemahaman akan konsep keberlanjutan (sustainability) dari tanaman kakao yang diusahakan,” kata Wahida.

Kasubdit Tanaman Penyegar Kementerian Pertanian, Hendratmojo Bagus Hudoro mengatakan, sebesar 97% pengelolaan kakao masih dilakukan oleh petani. Sedangkan pemerintah hanya 1% dan swasta 2%.

"Nah, 97% sektor hulu kita ini dipegang oleh petani rakyat. Sedangkan pemerintah dan swasta cuman 1% dan 2% saja," imbuh Bagus.

544